18 Desember 2009

» Home » Solo Pos » Menyatukan industri kreatif Yogya-Solo

Menyatukan industri kreatif Yogya-Solo

Diakui atau tidak, masa lalu hubungan batin dan budaya masyarakat Yogyakarta dan Solo kurang begitu cair. Berkat dinamika yang terjadi di dunia pendidikan (akademik) dan bisnis, secara perlahan-lahan tapi pasti, sekat-sekat yang mengganggu hubungan kedua wilayah bekas kerajaan itu semakin hilang dan cair.

Telah lama, banyak wong Solo yang hijrah dan mengasah potensi SDM-nya di Yogyakarta, sehingga menjadi orang besar melalui Yogyakarta. Misalnya Prof Bakdi Soemanto, Prof Koento Wibisono, Prof Soekanto Reksohadiprodjo, WS Rendra (alm), Prof Sapardi Djoko Damono, Prof Gunawan Sumodiningrat, Prof Umar Kayam (alm) dan ratusan profesor doktor lain yang menjadi orang penting di Indonesia.
Dengan mengamati penumpang KA Prameks saja, siapa pun dapat menyimpulkan bahwa setiap hari banyak orang Yogyakarta yang bekerja di Solo, dan juga banyak orang Solo yang bekerja di Yogyakarta. Jadi, di tingkat masyarakat biasa, tidak ada lagi pemisahan antara keduanya. Bahwa kemungkinan masih ada sekat batin dan budaya di antara Yogyakarta dan Solo, terbatas di lingkungan elitenya, dan jumlahnya sangat terbatas.


Perjanjian Giyanti (1755) yang membagi dua wilayah Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, diyakini menjadi babak awal keretakan hubungan batin dan budaya Yogyakarta dan Solo. Pecahnya kesatuan dua pusat budaya Jawa itu semakin menjadi-jadi pasca proklamasi Kemerdekaan.
Berdasarkan alur sejarah Mataram, Solo dan Yogyakarta sesungguhnya merupakan suatu kesatuan tak terpisahkan. Embrio Kerajaan Mataram adalah Pajang. Dari Pajang berpindah ke Kotagede, selanjutnya ke Kerta (Pleret). Dari Pleret ke Kartasura, dan kemudian ke Solo. Saat pusat kerajaan berada di Solo inilah terjadi perpecahan. Pangeran Mangkubumi, yang tiada lain adik Paku Buwana II, diberi tugas untuk mengenyahkan pemberontak yang dipimpin RM Said dari Bumi Sukawati. PB II berjanji memberikan wilayah Sukawati kepada Mangkubumi bila bisa memenangkan perang. Ketika Mangkubumi berhasil mengalahkan RM Said, PB II ingkar janji. Mangkubumi berbalik, bersatu dengan RM Said melawan PB II yang didukung VOC. PB II dan VOC kewalahan menghadapi Mangkubumi-RM Said. Guna mengakhiri pemberontakan, diadakanlah Perjanjian Giyanti.
Saat ini, zaman sudah jauh berubah. Retaknya hubungan batin dan budaya Solo dan Yogyakarta telah disembuhkan oleh waktu. Sebagai pusat budaya Jawa, Solo dan Yogyakarta saatnya menjalin persatuan dan kesatuan, tanpa menghilangkan identitas khas masing-masing.
Miskin SDA
Baik Yogyakarta maupun Solo, termasuk wilayah yang sama-sama miskin sumber daya alam (SDA) bahan tambang. Yang mereka miliki hanya SDA berupa lahan pertanian subur. Yogyakarta subur karena berada di lembah Sungai Progo dan Opak. Solo berada di lembah Bengawan Solo.
Yogyakarta berada di lereng Merapi, Solo di lereng Gunung Lawu. Sumber daya lain yang dimiliki keduanya adalah SDM yang terdidik dan sumber daya sosial-budaya. Sumber daya sosial-budaya itu terbentuk oleh proses sejarah panjang. Karena itu sarat nilai positif yang dapat dijadikan modal pengembangan kehidupan manusia di era global.
Dalam konteks pengembangan ekonomi, kedua daerah ini memiliki spesifikasi industri andalan. Di bidang pariwisata, Yogyakarta sedikit diuntungkan karena diapit oleh dua candi besar, Prambanan dan Borobudur. Di bidang manufaktur, Solo jauh lebih unggul. Pabrik-pabrik besar, banyak berdiri di Solo dan sekitarnya, khususnya di kota, dan di kawasan Sukoharjo dan Karanganyar. Sedangkan di bidang industri jasa berbasis pendidikan, Yogyakarta biangnya.
Di era tampilnya industri kreatif sebagai jenis industri yang ikut menggerakkan dinamika perekonomian, Solo dan Yogyakarta sama-sama punya potensi sangat besar. Di bidang industri tekstil, mode dan fesyen, Solo telah teruji oleh zaman.
Pasar Klewer telah berkembang menjadi pusat perdagangan batik dan tekstil terbesar di Jawa. Pabrik-pabrik besar batik yang kesohor juga berpusat di Solo. Di bidang industri percetakan dan penerbitan, Yogyakarta kini sedang berjaya. Demikian juga di bidang periklanan, barang seni (lukisan dan patung), serta riset dan pengembangan, Yogyakarta mulai menjadi barometer. Sementara untuk bidang kerajinan, musik, dan seni pertunjukan, baik Solo maupun Yogyakarta posisinya fifty-fifty. Dengan dukungan institusi pendidikan berbasis teknologi informasi (TI), kedua kota sedang giat-giatnya memoles bidang layanan komputer dan peranti lunak, radio dan televisi serta film-video-fotografi.
Persoalannya sekarang, bagaimana membangun sinergi yang baik antara kedua daerah dalam mengembangkan industri kreatif. Kedua Pemkot perlu menjalin kerja sama dan menjadi pionir pengembangan. Pemerintah setempat dituntut peran riilnya dalam menciptakan kebijakan yang kondusif bagi pengembangan industri kreatif. Sesungguhnya selama ini pihak-pihak di luar pemerintah sudah bersinergi. Akibat belum adanya cetak biru pengembangan industri kreatif, perkembangannya masih alamiah dan kurang terarah.
Daripada masing-masing sibuk menjalin kerja sama dengan kota-kota lain di mancanegara, dalam rangka menciptakan sister-city, lebih baik Yogyakarta dan Solo bekerja sama dalam mengembangkan industri kreatif. Dengan dukungan lembaga-lembaga pendidikannya, kedua kota budaya ini akan menjadi kekuatan besar industri kreatif di Indonesia. -

Oleh : Kristiana Sumarsih Peminat masalah seni budaya, alumnus FIB UGM/JIBI/Harian Jogja
Opini Solo Pos 19 Desember 2009