DALAM tradisi NU jabatan Rais Aam Syuriah PB NU adalah posisi sentral dan sakral. Hanya kiai atau ulama yang punya maqam tinggi: faqih, zuhud, punya muru'ah, derajat dan akhlak mulya, yang pantas menduduki posisi rais aam.
Karena itu, mudah dipahami jika para kiai NU umumnya menolak dicalonkan sebagai rais aam. Mereka selain "tahu diri" dan merasa "tak pantas", juga karena faktor watak kultural NU, yaitu rasa tawaddlu' (rendah hati) yang tinggi. Sepanjang sejarah NU belum pernah ada kiai yang mencalonkan diri sebagai kandidat rais aam.
Semula pimpinan puncak Syuriah NU dinamakan rais akbar yang dijabat pendiri NU Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari. Namun, ketika Kiai Hasyim Asy'ari wafat, generasi kiai berikutnya merasa tak pantas menduduki posisi rais akbar. Alasannya, tak ada kiai sekaliber Mbah Hasyim, baik dari segi ilmu, karisma, muru'ah, kezuhudan, maupun derajat dan akhlaknya. Para kiai akhirnya sepakat mendegradasi atau menurunkan posisi pimpinan puncak Syuriah menjadi rais aam -dan itu terjadi hingga sekarang. Jabatan rais akbar -dengan demikian- hanya terjadi sekali dalam sejarah NU, yaitu saat dijabat Mbah Hasyim Asy'ari.
Peristiwa ini kemudian menjadi tradisi dalam suksesi kepimpinan syuriah. Artinya, suksesi kepemimpinan syuriah identik dengan rasa tawaddlu' dan bersih dari ambisi. Sejarah mencatat bahwa figur yang menduduki posisi rais aam selalu identik dengan "kiai tak bersedia" dan bahkan "tak pernah bermimpi" -apalagi ambisi- untuk menjadi Rrais aam. Kalau mereka kemudian terpilih, itu semata karena dipaksa para kiai dan muktamirin.
Umumnya, mereka terpilih sebagai rais aam selain karena faqih dan zuhud, juga punya akhlak mulia dan muru'ah tinggi. Jadi, mereka terpilih sebagai rais aam bukan karena maju sendiri sebagai kandidat, apalagi menggalang dukungan ke cabang-cabang. Mereka terpilih karena didorong -bahkan dipaksa- oleh kiai-kiai lain dan para muktamirin.
***
Ketika Muktamar Ke-27 NU di Situbondo 1984, sebenarnya yang paling punya peluang menjadi rais aam adalah KHR As'ad Syamsul Arifin. Sebab, saat itu Kiai As'ad, selain punya otoritas tinggi, juga didaulat sebagai komandan Ahlul halli wal-aqdi, lembaga yang diberi mandat penuh untuk menentukan rais aam dan ketua umum Tanfidziyah PB NU. Bahkan, koran-koran saat itu menulis bahwa Kiai As'ad kandidat terkuat rais aam. Namun, Kiai As'ad tak punya ambisi. Kiai As'ad selain sangat tawaddlu' juga sangat menghormati gurunya, Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari. Kiai As'ad bersama enam kiai lain yang duduk dalam tim Ahlul halli wal-aqdi malah memilih KH Ahmad Shidiq sebagai rais aam.
Tradisi mulia ini tidak hanya terjadi pada Rais Aam PB NU, tapi juga rais syuriah di tingkat wilayah dan seterusnya. Kita bisa menyimak kasus KH Mahrus Ali (almarhum) dari Pesantren Lirboyo. Saat itu KH Imron Hamzah (almarhum) -atas kesepakatan kiai-kiai- sowan ke Lirboyo minta kesediaan Kiai Mahrus Ali menjadi Rais Syuriah PW NU Jawa Timur. Namun, seperti bisa ditebak Kiai Mahrus menolak keras dengan berbagai alasan.
Kiai Imron tak putus asa. Beberapa hari kemudian Kiai Imron sowan lagi ke Lirboyo. Apa yang terjadi? Begitu mendengar Kiai Imron datang lagi, Kiai Mahrus langsung sakit dan mencret-mencret. Bahkan, istri Kiai Mahrus mohon kepada Kiai Imron agar tak datang lagi ke Lirboyo. Sebab, setiap mendengar Kiai Imron sowan ke Lirboyo, Kiai Mahrus langsung jatuh sakit. Artinya, saking tak bersedianya menjabat rais syuriah, Kiai Mahrus sampai trauma mendengar Kiai Imron. Namun, Kiai Mahrus tak bisa mengelak ketika para kiai dan peserta Konrferwil NU Jatim memberi amanah untuk duduk sebagai Rais Syuriah PW NU Jatim.
Alhasil, posisi rais aam identik dengan "kiai tak bersedia". Dan, memang sikap tawaddlu' dan tidak ambisi inilah tradisi dan watak atau jati diri NU yang asli. Karena itu, kalau dalam Muktamar NU di Makassar ada tokoh NU yang berambisi dan menggalang dukungan untuk memilih dirinya jadi rais aam, berati dia bukan saja telah melanggar tradisi dan merusak jati diri NU, tapi juga telah terjadi "tragedi budaya" dalam NU. Paling tidak, telah terjadi pergeseran tata nilai luar biasa dalam NU. Padahal, tradisi syuriah inilah benteng terakhir yang bisa menyelamatkan NU.
Sejarah juga mencatat bahwa kiai-kiai yang menjabat rais aam tak pernah bermasalah dalam kepemimpinannya, terutama secara moral. Kalau mereka terlibat konflik, umumnya bukan karena faktor kepentingan pribadi, tapi akibat doktrin keagamaan yang berbeda dengan kelompok lain.
Jadi, semua rais aam belum pernah cacat secara moral. Dan, itu terjadi mulai Rais Akbar Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari sampai Rais Aam PB NU KH Ahmad Sahal Mahfudz.
Memang tingkat akhlak, muru'ah, karisma, dan kezuhudannya jelas jauh berbeda pada masing-masing rais aam. Apalagi, jika dibandingkan dengan Mbah Hasyim. Bahkan, ada kritik terhadap Kiai Sahal sebagai rais aam karena dianggap tak tegas dalam menggunakan otoritasnya sebagai rais aam untuk mengontrol tanfidziyah. Tapi, secara moralitas dan muru'ah hingga sekarang Kiai Sahal tetap terjaga dan tak pernah tercela.
Terjaganya akhlak dan muru'ah para rais aam itu tak lepas dari proses terpilihnya mereka yang bersih dari vested interest. Mereka memahami jabatan rais aam itu sebagai amanah, bukan dalam arti jabatan sekuler yang mendatangkan prestise sosial, material, dan politik. Mereka bersedia menjadi rais aam atau memimpin NU semata karena niat ibadah, bukan karena syahwat politik yang meledak-ledak. Wallahua'lam bisshawab.(*)
*). M. Mas'ud Adnan, Dirut Harian Bangsa, Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Keluarga Alumni Pesantren Tebuireng.
Opini Jawa Pos 18 November 2009
18 November 2009
Menjaga Tradisi Mulia di NU
Thank You!