18 November 2009

» Home » Media Indonesia » Daya Saing Ekonomi, Investasi, Kisruh Hukum & Masalah Listrik

Daya Saing Ekonomi, Investasi, Kisruh Hukum & Masalah Listrik

Daya saing ekonomi sebuah negara biasanya dilihat dari keunggulan sektor industri di pentas internasional, baik sisi perdagangan maupun investasi. Daya saing membutuhkan dukungan infrastruktur seperti pelabuhan dan jalan raya, kelayakan sarana transportasi, ketersediaan utilitas (listrik, gas dan air), kepastian hukum dan kebijakan pemerintah yang tidak distortif terhadap pasar. Kekurangan pada salah satu unsur ini bisa menurunkan daya saing tersebut.


Daya saing ekonomi
Pada Opini Media Indonesia 29 September, penulis pernah menunjukkan indeks daya saing perdagangan (RCA, CMSA & G-H) dengan data HS-2 bahwa Indonesia masih bergantung pada hasil alam seperti nikel, tembaga, timah, karet dan sawit. Hasil pengolahan data industri berdasarkan indeks export oriented & labor intensive industry juga menunjukkan hal yang sama, Indonesia masih mengandalkan produk pertanian, pertambangan, dan makanan olahan sementara industri masih padat karya, yaitu tekstil dan alas kaki. Memang pada periode 2004-2008, Indonesia unggul pada industri otomotif.

Namun bila dilihat lebih rinci (SITC - 4), keunggulan itu masih seputar komponen yang bernilai tambah rendah seperti bodi sepeda motor, sepeda, dan kontainer. Di samping itu, mayoritas produk otomotif nasional yang diekspor bukan merupakan produk utuh, melainkan berupa komponen yang tergabung dalam jaringan produksi otomotif kawasan yang dipimpin Jepang. Indonesia harus bisa unggul di sektor industri manufaktur karena lebih dari 70% nilai tambah perdagangan dunia dihasilkan oleh sektor ini.

Kenyataannya, daya saing industri Indonesia masih tertinggal, bahkan bila dibandingkan dengan negara tetangga yang memiliki karakter ekonomi serupa seperti Malaysia dan Thailand. Kedua negara itu berhasil unggul di sektor industri dengan tidak meninggalkan keunggulan di sektor pertanian. Hasil perhitungan penulis menggunakan RCA dan CMSA pada data HS-1 menunjukkan Malaysia unggul pada industri electronic data processing & office equipment sementara Thailand unggul pada electronic data processing & office equipment, telecom equipment, machinery & transport equipment, and textiles. Sayangnya penulis menemukan Indonesia belum memiliki industri dengan keunggulan komprehensif (RCA dan CMSA). Indonesia hanya unggul secara komprehensif di sektor pertanian.

Tingginya daya saing sektor industri Malaysia dan Thailand jika dibandingkan dengan Indonesia juga terlihat pada tingkat kesejahteraannya. Data ADB menunjukkan pada 2008, GDP per kapita per tahun harga berlaku dalam US$ untuk Malaysia dan Thailand, masing-masing adalah US$7.985 dan US$4.108. Kedua negara ini sudah masuk kategori upper middle income (UMI). Sementara itu, Indonesia dengan US$2.235 masih masuk kategori lower middle income (LMI). Indonesia harus berjuang keras untuk mengejar ketertinggalan.

Kebutuhan investasi
Menurut perhitungan penulis, Indonesia bisa masuk kategori UMI dengan US$4.002 pada 2014. Untuk itu, Indonesia membutuhkan investasi yang memadai agar bisa 'naik kelas' dari kategori LMI ke UMI. Mungkinkah dalam lima tahun sebuah negara dengan pendapatan per kapita sekitar US$2.000 seperti Indonesia naik dari LMI ke UMI? Jepang dan Korea berhasil membuktikannya, bahkan lebih cepat. Jepang berhasil 'naik kelas' dari LMI ke UMI hanya dalam tiga tahun. Pendapatan per kapita Jepang naik dari US$2.421 (1971) menjadi US$4.044 (1974). Korea Selatan juga berhasil 'naik kelas' hanya dalam waktu empat tahun. Pendapatan per kapita Korea naik dari US$2.210 (1984) menjadi US$4.587 (1988). Tentu saja ini tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin. Syarat pentingnya adalah investasi.

Data ADB menunjukkan pada 2008, total investasi (PMTDB) Indonesia sebesar Rp1.377 triliun. Menurut perhitungan penulis, jumlah ini baru memenuhi 82% dari total kebutuhan investasi ideal sekitar Rp1.666 triliun. Untuk 2010, berdasarkan perhitungan yang sama, dengan asumsi ICOR 3,3-3,5 dibutuhkan total investasi ideal sebesar Rp2.103 triliun. Secara umum diharapkan terjadi peningkatan total investasi minimal tiga kali lipat. Bila pada periode 2004-2009 rata-rata nilai investasi per tahun adalah Rp954 triliun, untuk lima tahun ke depan (2009-2014) diharapkan bisa mencapai Rp2.710 triliun. Upaya untuk meningkatkan rata-rata investasi sebesar ini tentu bukan hal yang mudah. Periode pemerintahan saat ini (2009-2014) adalah 'periode kunci' yang sangat menentukan apakah kita bisa 'naik kelas' atau tidak, diukur dari kemampuan pemerintah menarik investasi, baik dari dalam maupun luar negeri. Terkait dengan investasi, saat ini setidaknya ada dua isu penting yang harus diperhatikan: (1) good governance dan (2) good performance.

Good governance
Berdasarkan persentase jumlah responden yang memilih: Survei Bank Dunia di 69 negara anggota OECD pada 2005 menunjukkan regulasi pemerintah yang bersifat distortif adalah hambatan yang paling banyak dihadapi dunia usaha. Survei GTZ pada 2005 juga menemukan hal yang sama, kebijakan pemerintah dan aspek hukum adalah kendala yang paling banyak ditemukan oleh dunia usaha. Dari dalam negeri, survei Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) 2005 menunjukkan kondisi kelembagaan seperti penegakan hukum, pelayanan birokrasi dan peraturan pusat-daerah sebagai kendala yang paling banyak ditemukan ketimbang kondisi sosial politik dan ketersediaan infrastruktur. Seluruh survei dilakukan oleh lembaga yang berbeda dengan responden berbeda, tetapi memberikan hasil yang sama, yaitu pentingnya kepastian hukum, kebijakan yang tidak distortif terhadap pasar, dan pelayanan publik yang baik. Itulah sebabnya mengapa negara-negara dengan tingkat kepastian hukum yang tinggi menjadi primadona investor. Bagaimana dengan kita? Pemerintah harus hati-hati menyelesaikan kisruh antarlembaga penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan KPK) yang saat ini terjadi. Ketiga institusi tersebut merupakan simbol kepastian hukum Indonesia dan sangat penting bagi dunia usaha. Penyelesaian yang tidak tanggap dan representatif tidak hanya berdampak pada bidang hukum, tetapi akan merembet pada performa ekonomi nasional. Indonesia akan semakin sulit 'naik kelas'.

Good performance
Berdasarkan skala tingkat kesulitan yang dihadapi responden: Studi LPEM FEUI 2006 tentang faktor penghambat daya saing perdagangan Indonesia menunjukkan fasilitas telekomunikasi, daya dukung listrik, ketersediaan transportasi, dan produktivitas pekerja adalah faktor-faktor yang sangat pelik bagi dunia usaha. Tidak seperti kepastian hukum yang umum ditemui, masalah infrastruktur termasuk jarang ditemui, tetapi bila ada, sangat sulit diatasi. Negara dengan daya dukung infrastruktur dan utilitas (listrik, gas, dan air) yang baik adalah primadona bagi para investor. Bagaimana dengan kita? Saat ini Indonesia tengah menghadapi krisis listrik yang sangat serius. Pada 9 November lalu diberitakan bahwa Kelompok Pengusaha Jepang yang tergabung dalam Kansai Economic Federation (Kankeiren) yang dipimpin oleh Hiroshi Shimozuma didampingi oleh Dubes Jepang untuk Indonesia Kojiro Shiojiri menyampaikan keluhan masalah listrik, langsung kepada Menteri Perindustrian MS Hidayat. Keluhan ini harus diselesaikan dengan cepat dan komprehensif. Pemerintah harus mencari tahu faktor apa saja yang memicu krisis listrik seperti efektivitas monopoli PLN, kelayakan subsidi listrik, ketersediaan sumber energi pembangkit, dan efisiensi PLN sebagai unit usaha penyedia jasa publik. Bila masalah listrik tidak dapat diselesaikan, tidak hanya investasi masuk yang akan berkurang, investasi yang sudah ada pun bisa ikut hengkang.

Penutup
Strategi pembangunan ekonomi yang 'mumpuni' dari program 100 hari kabinet SBY dan rencana pembangunan lima tahun ke depan yang sudah dilengkapi dengan partisipasi publik melalui The National Summit 2009 bisa jadi tidak efektif mendorong daya saing ekonomi bila kisruh hukum dan masalah listrik ini tidak segera diselesaikan. Alih-alih mendorong ekonomi Indonesia 'naik kelas', kedua masalah dasar tersebut berpotensi membuat ekonomi Indonesia stagnan atau bahkan 'tinggal kelas'.

Oleh Kiki Verico, Mahasiswa di PhD Program of GSAPS - Waseda University Tokyo & dosen FEUI

Opini Media Indonesia 19 November 2009