18 November 2009

» Home » Jawa Pos » Menguji Keampuhan Tim Delapan

Menguji Keampuhan Tim Delapan

SETELAH dua minggu melakukan verifikasi fakta dan proses hukum terhadap kasus yang menimpa dua petinggi KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, tim verifikasi fakta dan proses hukum bentukan presiden yang lebih populer dengan sebutan Tim Delapan secara resmi menyerahkan laporan final berikut rekomendasinya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Selasa (17/11).


Anggota Tim Delapan Anies Baswedan menjelaskan, laporan setebal 26 halaman tersebut setidaknya memuat tiga intisari permasalahan. Yang pertama, Tim Delapan menyimpulkan bahwa kasus yang menimpa Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah tidak layak untuk diteruskan ke meja hijau.

Kesimpulan kedua adalah pentingnya dilakukan reformasi di lingkungan kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kesimpulan terakhir adalah membongkar habis para mafia peradilan atau makelar kasus yang selama ini tak pernah tersentuh.

Tentu langkah bijak sang kepala negara sangat dibutuhkan dalam mengurai permasalahan yang sedang melilit bangsa ini. Persoalan yang dihadapi Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah yang belakangan telah berkembang dan menjalar menjadi persoalan antarlembaga pendekar hukum sangat banyak menyita energi bangsa ini. Hampir semua program dan agenda pemerintah kali ini tertimbun oleh tingginya gunung es perseteruan KPK versus Polri.

Sistem Hukum

Dalam negara yang menganut sistem civil law atau Eropa continental seperti Indonesia, penanganan setiap perkara atau persoalan hukum bisa dipastikan mengedepankan prinsip adanya kepastian hukum. Selanjutnya, dalam mewujudkan kepastian hukum tersebut, dasar pijakannya selalu mengarah pada ketentuan hukum formal. Baik peradilan sebagai benteng terakhir pencarian keadilan maupun lembaga-lembaga penegak hukum lainnya yang akan mendasarkan setiap tindakannya pada hukum tertulis. Ketentuan undang-undang seolah menjadi satu-satunya jawaban atas setiap rentetan persoalan yang hendak diselesaikan.

Bila ternyata terdapat oknum yang berusaha keluar dari rel tersebut, reaksi yang akan timbul adalah lahirnya polemik baru berupa kontroversi di kalangan publik.

Sementara itu, dalam negara yang menganut sistem common law atau anglo saxon, penanganan perkara justru sangat kontras dengan sistem dan pola yang diterapkan dalam sistem civil law. Dalam sistem anglo saxon, katentuan dalam perundang-undangan bukanlah harga mati dalam memutus setiap persoalan yang muncul. Artinya, sangat terbuka peluang untuk keluar dari sistem dalam mengambil setiap keputusan.

Hal itu sangat mungkin terjadi mengingat tujuan utama proses peradilan adalah adanya keadilan sebagai tujuan akhir yang hendak dicapai. Dalam sistem tersebut, peradilan lebih menitikberatkan pada kekuatan hukum materiil jika dibandingkan dengan formal. Di sinilah kemudian dikenal istilah atau sistem juri untuk memberi pandangan dan pertimbangan dalam memutus setiap persoalan hukum.

Dalam dinamika berikutnya, di berbagai negara yang menerapkan sistem anglo saxon, istilah yurisprudensi menjadi bahasa yang teramat populer dalam dunia peradilan. Tidak jarang ditemukan dalam memutus suatu perkara hukum, para hakim lebih banyak berpedoman pada yurisprudensi (pendapat para hakim sebelumnya terhadap perkara yang sama) jika dibandingkan dengan pada ketentuan hukum formal.

Di sinilah kebebasan hakim dalam menimbang rasa keadilan yang hendak diputusnya menjadi amat terasa. Tangan mereka benar-benar menjadi perpanjangan tangan Yang Mahakuasa dalam memberi keadilan bagi yang sedang mencarinya. Sedangkan, ketentuan hukum formal tidak jarang diabaikan karena memang disadari betul bahwa kepastian hukum bukanlah segalanya. Kepastian hukum hanyalah suatu jalan menuju terciptanya keadilan.

Kondisi Riil

Apa yang hendak penulis sampaikan dengan uraian singkat di atas adalah bahwa itulah kondisi riil yang saat ini dihadapi bangsa kita. Ketika kepolisian dan kejaksaan ngotot untuk terus menindaklanjuti proses hukum terhadap dua petinggi KPK nonaktif yang telah diyakni oleh banyak pihak (termasuk Tim Delapan) sebagai upaya kriminalisasi terhadap KPK, hal itu cukup membuktikan bahwa baik kepolisian maupun kejaksaan, tampaknya, berpegang pada prinsip rechtstaat. Dua lembaga itu, tampaknya, lebih mengedepankan prinsip kepastian hukum dan mengedepankan penerapan hukum formal sebagaimana yang dianut oleh berbagai negara dengan sistem civil law.

Sementara itu, Tim Delapan yang dibentuk Presiden SBY untuk mencari akar persoalan dan menemukan solusi kasus tersebut justru memandangnya dari sisi yang berbeda. Prinsip rule of law yang sering ditemukan di negara-negara anglo saxon dengan mengedepankan implementasi hukum materiil lebih mendominasi alur pikiran anggota Tim Dlapan, termasuk masyarakat yang menjadi facebooker untuk KPK.

Lantas, bagaimanakah Presiden SBY menyikapi problematika penegakan hukum kali ini? Akankah sang kepala negara menjadikan rekomendasi Tim Delapan sebagai bahan pertimbangan atau justru hanya mengarsipkannya?

Atau, jangan-jangan presiden justru lebih merapatkan telinga dengan suara-suara dari pakar ketatanegaraan negeri ini. Apalagi isu menjadikan abolisi sebagai senjata pemungkas presiden dalam mengubur perkara itu sudah mulai menggelinding.

Kalau hal itu yang terjadi, rekomenasi Tim Delapan tidak akan seampuh kapasitas para personelnya. Meski demikian, tentu menjadi harapan kita bersama agar kepala negara dapat mengambil langkah bijak. Menyelamatkan institusi kepolisian dan kejaksaan dari rasa kebencian yang mendalam di kalangan publik serta di sisi lain mengakomodasi jerih payah Tim Delapan.

*) Janpatar Simamora SH, dosen Fakultas Hukum UHN, mahasiswa Pascasarjana Program Magister Hukum UGM Jogjakarta

Opini Jawa POs 19 November 2009