11 Mei 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Mafia Pajak Daerah, Mungkinkah?

Mafia Pajak Daerah, Mungkinkah?

Oleh Endrizal Nazar
Banyak pihak terenyak dengan terbongkarnya kasus Gayus Tambunan. Bagaimana tidak, seorang karyawan Direktorat Jendral Pajak (bukan pejabat yang punya eselonering) punya kekayaan yang fantastis, 25 miliar rupiah. Dengan penghasilan 12 juta rupiah per bulan, paling tidak Gayus membutuhkan waktu 2.084 bulan (174 tahun) untuk mengumpulkan uang sebanyak itu dengan asumsi seluruh penghasilannya ditabung dan biaya hidup dari penghasilan istrinya yang PNS di Pemprov DKI. Lantas apakah hanya Gayus pegawai di Ditjen Pajak yang punya kekayaan sedemikian besar yang diduga dari hasil penggelapan pajak?
Kalau terbukti kasus Gayus ini melibatkan banyak orang dan tidak hanya di Jakarta tetapi juga di kantor-kantor cabang pelayanan pajak seluruh Indonesia (seperti yang juga terungkap di Surabaya), sangat besar potensi kerugian negara dari kasus pajak saja. Lantas apakah hanya pajak pusat yang menjadi sasaran para mafia pajak? Bagaimana dengan pajak daerah yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah daerah menetapkan dan memungutnya? Apakah tidak ada penggelapan sehingga data pajak daerah yang dilaporkan merupakan data riil dari potensi yang ada?
Pajak memang menjadi darah kehidupan berbangsa dan bernegara agar roda pemerintahan dan pembangunan dapat berjalan. Pada APBN murni 2010, prediksi penerimaan pajak mencapai 77 persen (Rp 729,165 triliun) dari total pendapatan negara (Rp 911,476 triliun). Di daerah, pajak daerah juga merupakan penyumbang terbesar komponen pendapatan asli daerah (PAD). Sebagai contoh, prediksi pajak daerah Kota Bandung dalam APBD 2010 mencapai 70 persen (Rp 290,264 miliar) dari total PAD (Rp 412,184 miiar). Tanpa penerimaan pajak roda pemerintahan bisa lumpuh karena pendapatan negara di luar pajak tinggal Rp 182,311 triliun yang cukup hanya untuk pembayaran cicilan bunga utang (Rp 115,6 triliun) dan 42 persen gaji pegawai pemerintah pusat (Rp 66,711 triliun dari kebutuhan Rp 158,1 triliun). Dengan APBN yang selalu mengalami defisit setiap tahun dan sebagiannya harus ditutup dengan utang luar negeri, ironis sekali pajak yang menjadi penyumbang terbesar pendapatan negara ternyata sebagian menguap lewat pat gulipat oknum pegawai pajak dengan wajib pajak. Padahal berdasarkan analisis mantan dirjen pajak yang juga mantan menteri keuangan di era Orde Baru, Fuad Bawazir, penerimaan pajak saat ini bisa meningkat 50 persen dari realisasi penerimaan yang masuk kas negara. Jika pajak pusat menguap disinyalir melalui rekayasa pada saat pengadilan banding pajak, bagaimana dengan potensi menguapnya sebagian penerimaan pajak daerah ?
Pertama dengan hitung-hitungan sederhana kita sebenarnya bisa menilai apakah target PAD khususnya pajak daerah sesuai dengan potensinya atau tidak. Pajak restoran contohnya, berdasarkan rata-rata pengunjung restoran perhari dikalikan rata-rata pengeluaran per pengunjung dikali 30 hari, sepuluh persen dari hasil perkalian tersebut merupakan pajak yang harus dibayar pengelola/pemilik restoran setiap bulan. Target pajak restoran tahun anggaran 2010 untuk Kota Bandung Rp 49,840 miliar (Rp 4,153 miliar sebulan). Dengan jumlah sekitar 440 restoran (data LKPJ Akhir Masa Jabatan Wali Kota Bandung 2003-2008 ada 432 restoran) berarti pajak rata-rata setiap restoran Rp 9,439 juta per bulan atau setara dengan omzet Rp 3,146 juta per hari. Apakah angka tersebut wajar? Mungkin wajar untuk restoran kelas menengah ke bawah dengan pengunjung rata-rata 150 orang per hari dengan uang yang dibelanjakan berkisar Rp 20.000 per pengunjung. Bagaimana dengan restoran kelas atas yang pengunjungnya kesulitan mencari tempat parkir sehingga harus memenuhi badan jalan karena restoran tersebut tidak pernah sepi pengunjung? Harus diingat kategori restoran yang dipungut pajak ini bukan warteg atau warung padang yang menjamur di pelosok kota, tetapi restoran yang punya izin usaha, berada di tempat yang memiliki IMB, dan terdaftar di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Daerah. Berdasarkan hitung-hitungan memang sulit diyakini pajak restoran yang ditargetkan selama ini mencerminkan potensi sesungguhnya. Hitungan ini baru dari dari satu sektor pajak padahal di Kota Bandung ada lima jenis pajak daerah lagi, yaitu pajak hotel, pajak penerangan jalan, pajak reklame, pajak hiburan, dan pajak parkir.
Kedua, gaya hidup pegawai dinas pendapatan daerah dapat menunjukkan indikasi apakah yang bersangkutan benar-benar mendapatkan penghasilan berdasarkan haknya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) daerah atau dari penggelapan pajak? Berdasarkan Permendagri 13/2006 yang direvisi dengan Permendagri 59/2007, Pemerintah daerah dapat memberikan tambahan penghasilan kepada PNS berdasarkan pertimbangan objektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan memperoleh persetujuan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan pemerintah pusat khususnya kementerian keuangan yang memberlakukan remunerasi cukup besar, tambahan penghasilan untuk PNS pelaksana di daerah masih kecil (di bawah Rp 1 juta per bulan). Dengan tambahan upah pungut pajak 5 persen dari pajak daerah, tetap saja tambahan penghasilan di luar penghasilan tetap yang diterima belum memadai untuk hidup mewah. Jika ada pegawai dinas pendapatan daerah punya rumah mewah dan mobil mewah sementara yang bersangkutan atau istrinya tidak punya usaha lain, pantas dicurigai posisinya dimanfaatkan untuk melakukan penggelapan pajak. Gaya hidup inilah yang kita bisa lihat pada kasus Gayus.
Lantas bagaimana peluang penggelapan pajak daerah bisa terjadi? Bila penggelapan pajak pusat terjadi melalui pengadilan banding pajak yang melibatkan pegawai Ditjen Pajak dan wajib pajak, keberatan wajib pajak di daerah tidak melalui pengadilan tetapi cukup keberatan kepada kepala daerah. Selama ini jarang terdengar wajib pajak daerah mengajukan keberatan kepada kepala daerah. Peluang terbesar penggelapan pajak daerah terjadi melalui penetapan surat ketetapan pajak daerah (SKPD) yang rentan dimanipulasi. Penetapan SKPD masih berdasarkan taksiran (taksasi) petugas pajak (pegawai dinas pendapatan) walaupun wajib pajak sudah menggunakan komputerisasi. Di sinilah integritas petugas pajak dan wajib pajak menjadi taruhannya. Di sini pula peluang kongkalingkong petugas dan wajib pajak terbuka lebar. Apakah betul besaran SKPD yang ditetapkan sudah sesuai dengan kondisi riil?
Penulis pernah mendapatkan informasi cara kongkalingkong sebagai berikut: besaran pajak seharusnya X tetapi yang dicantumkan dalam SKPD cuma 1/3 X dan yang dibayarkan 2/3 X. Wajib pajak merasa diuntungkan karena cukup membayar 2/3 dari tagihan sementara petugas diuntungkan karena dapat tambahan penghasilan 1/3 dari tagihan. Ini baru dari satu wajib pajak, bagaimana kalau wajib pajaknya puluhan, ratusan, atau ribuan?
Bagaimana upaya mengantisipasi penggelapan pajak daerah? Pertama, melalui fungsi anggaran dan pengawasan DPRD. Sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah, DPRD punya kewenangan membahas dan menetapkan besaran pajak daerah melalui pembahasan RAPBD. DPRD seharusnya punya data dan potensi pajak berdasarkan kajian ilmiah dan lapangan yang objektif. Tidak seharusnya DPRD menerima begitu saja target yang diusulkan pemerintah daerah, atau minta kenaikan pajak berdasarkan pola dagang sapi. Dengan kajian tersendiri oleh tim independen yang bekerja secara profesional, DPRD bisa memiliki data potensi pajak yang cukup akurat sehingga dapat menjadi alat kontrol proyeksi pajak daerah yang diajukan pemerintah daerah. Hal ini pernah dilakukan DPRD Kota Bandung sehingga tergambar proyeksi pajak yang diajukan pemkot berada pada potensi minimum. Sayangnya DPRD sepertinya cukup puas dengan sebatas data potensi tanpa berupaya mempertahankan proyeksi pajak pada potensi rata-rata apalagi maksimal ketika beradu argumentasi dengan pemkot (dinas pendapatan daerah).
Kedua, memperbaiki sistem pemungutan pajak daerah. Proyeksi pajak daerah melalui taksasi harus diminimalisasi. Setidaknya ada dua metoda yang bisa diterapkan, yaitu melalui online system dan perforasi. Dengan online system setiap transaksi keuangan wajib pajak dengan costumer bisa diketahui (diperoleh datanya). Namun, tidak semua wajib pajak punya sarana dan prasarana yang mendukung penerapan online system ini. Untuk mengantisipasi wajib pajak yang belum bisa menggunakan online system, metoda perforasi (legalisasi struk pembayaran/tagihan oleh pemda) dapat diterapkan. Dengan cara ini akan diketahui berapa jumlah dan besaran transaksi yang terjadi sehingga pajaknya akan lebih mudah dihitung. Tentu metoda perforasi memerlukan pengawasan agar struk yang sudah diperforasi digunakan dalam setiap transaksi/pembayaran. Untuk itu peran masyarakat khususnya costumer dari wajib pajak sangat dibutuhkan dengan meminta struk pembayaran dan dipastikan yang sudah diperforasi.
Penggelapan pajak daerah jauh lebih jahat dibandingkan dengan pajak pusat. Berbeda dengan pajak pusat khususnya PPh badan yang memang berasal dari keuntungan usaha wajib pajak, pajak daerah khususnya pajak hotel dan restoran merupakan titipan masyarakat kepada wajib pajak. Setiap penggelapan baik oleh petugas pajak maupun wajib pajak hakikatnya memakan uang masyarakat yang dititipkan kepada wajib pajak untuk disetorkan ke kas daerah. Di tengah keterbatasan keuangan daerah sementara kondisi infrastruktur daerah begitu memprihatinkan, sangat menyakitkan jika ada pajak daerah yang dititipkan masyarakat untuk membangun daerah digelapkan oknum petugas pajak yang berkongkalingkong dengan wajib pajak.***
Penulis, pemerhati anggaran dan tata kelola pemerintahan (mantan Ketua Komisi B DPRD Kota Bandung periode 2004 -2009).
opini pikiran rakyat 12 mei 2010