11 Mei 2010

» Home » Media Indonesia » Menggantang Asap Korupsi

Menggantang Asap Korupsi

Media Indonesia (7/5) menurunkan Editorial penting berhubungan dengan Kasus Bank Century. Penyelundupan Berkas Century, demikian judul Editorial, memperlihatkan kompleksitas persoalan politik nasional. Hal itu memendam banyak soal berkaitan dengan kinerja maupun pola kepentingan politik yang mendominasi ruang kekuasaan. Kasus Century, sesuatu yang kelihatan begitu genting dalam keseluruhan proses, menebarkan kecemasan kepada publik, akhirnya menepi pada titik apatisme politik para elite di negeri ini.

Situasi politik kita pada hari ini tampil dengan wajah yang berbeda jika dibandingkan dengan euforia awal Pansus Century. Di awal Pansus bergerak, publik memberikan dukungan luar biasa agar kinerja mereka memiliki efektivitas membongkar kejahatan politik yang sudah menjadi dugaan umum sebelumnya. Sekarang heroisme publik seolah sirna. Kepedulian masyarakat tidak terlihat garang seperti sebelumnya. Sebaliknya, hasil akhir Pansus Century terpenjara dalam pusaran tata krama politik yang cenderung mengebiri keadilan.
Sejumlah kekuatan politik yang menempatkan Sri Mulyani Indrawati sebagai salah satu simpul penting tragedi Century justru berbalik berada di belakang dukungan pengangkatan sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia dalam bulan depan ini. Dengan alasan, substansi persoalan berbeda. Agak lucu juga ketika mendengar bagaimana KPK menyikapi pertanyaan publik seputar masa depan kasus Century berkaitan dengan hengkangnya Sri Mulyani Indrawati ke Bank Dunia. "Yang penting tetap berada di dunia, jadi masih bisa diperiksa kapan pun!" Demikian jawaban salah seorang anggota KPK. Tidak terpikirkan kesulitan praktis untuk menyelesaikan persoalan ini. Dan berapa banyak dana yang dibutuhkan untuk hal itu. Dan tidak terbantahkan, itu akan menjadi catatan buruk untuk penegakan hukum di Indonesia.

Keteladanan
Mattei Dagon (2003) mengajukkan analisis menarik bahwa sirkulasi elite pada akhirnya akan merujuk pada posisi piramidal kekuasaan. Tetap ada sentrum yang mengendalikan arah politik maupun di mana posisi publik akan ditaruh dalam kepentingan para elite. Banyak penguasa sekarang ini tanpa malu menunjukkan diri sebagai titik akhir dari demokrasi piramidal itu. Secara terbuka, mereka menunjukkan perilaku destruktif itu meskipun sama sekali tidak bersentuhan dengan kepentingan publik.
Karakter piramidal merujuk pada keperluan politik sempit dan jangka pendek para penguasa. Terutama, berhubungan dengan usaha menjaga persamaan perasaan politik untuk menjamin keberlangsungan kekuasaan. Bukan keberhasilan kekuasaan mewujudkan kebaikan bersama (publik). Yang dibutuhkan dalam kerangka ini sebatas kesatuan pemahaman untuk menjaga dan mempertahankan kontinuitas hidup para elite politik. Maka, dua kecenderungan kekuasaan, korup dan resisten, mendapatkan basis strategik dalam kondisi semacam ini.
Demokrasi harus bermartabat. Itu tesis yang sudah jadi. Namun, tesis itu harus dinyatakan dalam perilaku politik. Diutarakan sejelas-jelasnya. Dengan ukuran yang dapat dimengerti. Mengatakan usaha membangun pemerintahan bersih melalui pelaporan pejabat publik yang diduga korupsi sebagai tindakan tidak bermartabat di tengah korupsi yang menjerat institusi pemerintah sungguh merupakan ringkasan dari kisah kekerdilan cara berpikir kekuasaan. Demokrasi bermartabat seharusnya dibangun di atas keberanian masyarakat sipil mengawal proses pembangunan.
Harus disadari pula bahwa kerusakan moral politik dalam kancah kekuasaan biasanya berawal dari kegagapan para pemimpin politik menghadapi risiko, ketegangan dan tekanan. Tom Baker (1996) menegaskan bahwa keteladanan pemimpin di tengah tantangan amat diperlukan sebagai panduan moral langsung untuk publik. Bukan penguasa yang pandai mengaduk emosi publik untuk meraup dukungan politik belaka. Saat berkuasa, mereka menjauh dari rakyat. Saat menghadapi ketegangan, mereka mencari perlindungan publik. Kita butuh para pemimpin politik yang memiliki, mengutip pendapat Jonathan Simon (2007) dalam buku Governing Through Crime, kemampuan mengelola politik dari kejahatan (korupsi). Hasrat menegakkan peradaban demokrasi. Bangsa yang sedang menderita ini tidak memerlukan tipikal penguasa eskapis secara sosial! Ini akan menjadi rumah tinggal para penggarong uang rakyat.

Sempit
Kita bisa membaca arah politik kekuasaan dengan basis praktik demokrasi garis piramidal. Penguasaan dominan kelompok politik tertentu akan memuluskan operasi sesat dunia kejahatan korupsi. Pembagian posisi dan kedudukan politik selalu mempertimbangkan ruang bergerak para koruptor. Bukan hanya kompromi politik yang berlangsung di sana, melainkan juga kompromi kejahatan politik. Ungkapan konkret muncul dalam istilah seperti makelar kasus dan mafia hukum.
Merujuk pada pandangan Terry Karl (2006), perjalanan demokratisasi selalu dibebani dengan sisa-sisa hasrat otoritarian para penguasa. Fenomena itu semakin menguat dengan para penguasa terus memperluas medan dominasi sekaligus mempersempit ruang gerak publik. Lebih mengutamakan keselamatan diri ketimbang membuka keadilan kepada publik menjadi ciri perilaku otoritarian yang terus mengental dan mengendap dalam kesadaran kekuasaan. Ini memang harus dikerjakan dengan giat dalam ranah kekuasaan agar mereka tetap memiliki klaim utama atas semua sumber daya ekonomi-politik. Dapat dibayangkan masa depan demokrasi dengan acuan utama pada kecenderungan kepentingan politik para penguasa semata. Banyak gaya bahasa dan penuturan politik dipergunakan untuk meredam perlawanan masyarakat sipil. Para penguasa yang suka mencari aman akan membangun solidaritas semu dengan rakyat. Ujung-ujungnya, ini menjadi bagian skema politik mempersempit kontrol publik atas kekuasaan

Ambruk
Saat kekuasaan bermuara pada kepentingan sempit sekelompok orang, permusuhan dan dendam akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan di dalamnya. Dalam perspektif ini, benar apa yang dikemukakan Bruce Shapiro (1997) bahwa politik akan memperpanjang 'balas dendam' dan memperbanyak 'korban̢۪z. Biasanya, rakyat menjadi korban abadi di sana! Kebutuhan akan hadirnya instrumen-instrumen sosial, politik, kekuasaan, ekonomi yang mampu mendongkrak perbaikan kehidupan yang manusiawi adalah sebuah keniscayaan. Kita harus menakar keseriusan kita dalam meniti jalan menuju era demokrasi yang lebih baik. Kita membutuhkan energi yang lebih segar untuk menyelesaikan rencana-rencana paling mendasar dalam kehidupan bersama sebagai komunitas politik beradab dan demokratik.
Sebuah tesis penting diajukkan Eduardo Canel (1997) bahwa kebutuhan akan integrasi dari semua gerakan sosial baru harus merupakan reaksi langsung terhadap kebuntuan yang dibangun para penguasa dan wakil publik di level negara. Dengan bahasa lain, kita membutuhkan konsolidasi demokrasi dengan tingkatan lebih serius daripada sebelumnya. Para pegiat demokrasi harus melakukan mobilisasi sumber-sumber politik publik untuk mendobrak stagnasi yang dihadiahkan para penguasa negeri ini. Ini bertujuan agar kekuasaan dapat menjadi persambungan antara realitas kemiskinan menuju kemakmuran. Tanpa kontrol publik atau penguasa yang tidak mau dikontrol, korupsi menjadi bagian dari perilaku kekuasaan. Usaha melawan kejahatan korupsi bagaikan 'menggantang asap'! Jalan lebar menuju keambrukan demokrasi dan keadilan.

Oleh Max Regus, Alumnus Pascasarjana Departemen Sosiologi UI, Direktur Parrhesia Institute Jakarta
opini media indonesia 12 mei  2010