11 Mei 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Kekosongan Menkeu

Kekosongan Menkeu

Oleh Susidarto
Pascapengumuman pengunduran diri Sri Mulyani Indrawati dari jabatan prestisius sebagai Menteri Keuangan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II pekan lalu, reaksi pasar sangat beragam. Banyak kalangan menyayangkan kepergian Menkeu ke Bank Dunia (World Bank) sebagai kerugian bangsa ini. Selama dua hari indeks saham dan nilai tukar rupiah yang beberapa bulan terakhir menunjukkan penguatan, kembali melorot. Pasar khawatir dengan sosok kebijakan ekonomi Indonesia sepeninggal Sri Mulyani. Psikologi pasar memang seringkali irasional dan sulit untuk dijelaskan.
Perhatian publik seolah terhisap dengan masalah pengunduran diri sang Menkeu. Maklum, momentumnya bersamaan dengan mencuatnya skandal Bank Century di mana Sri mulyani memegang peranan penting di dalamnya sebagai sang eksekutor dalam kapasitasnya sebagai Ketua Komite Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK). Sebelum pengumuman pengunduran diri ini, perhatian publik sudah tertuju pada penuntasan secara hukum ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memeriksa Menkeu di Kantor Kementerian Keuangan RI (di mana persoalan tempat pemeriksaaan pun sempat menjadi polemik politik berkepanjangan).
Bangsa ini sering kali sentimental kalau ditinggalkan oleh seseorang yang dianggap sudah berjasa meletakkan fondasi reformasi birokrasi (yang perlu diuji ulang keberhasilannya) dan juga keberhasilan dalam mengawal krisis ekonomi 2008/2009 lalu. Mundurnya Sri Mulyani sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan. Perekonomian Indonesia tak akan ambruk dan tak boleh terpuruk hanya karena ditinggalkan salah seorang menteri. Presiden bisa meredam kekhawatiran pasar dan publik dengan segera menunjuk pengganti yang diharapkan juga memiliki kapabilitas, kompetensi, dan kredibilitas sekelas Sri Mulyani.
Jangan berlama-lama
Kekosongan Menkeu harus segera diisi oleh pejabat yang baru. Seperti usulan banyak kalangan, sebaiknya jabatan ini tidak hanya diisi oleh pejabat sementara, tetapi dengan hak prerogatifnya, presiden bisa menunjuk calon Menkeu dari kalangan profesional (jangan dari kalangan politisi atau aktivis parpol tertentu). Presiden Yudhoyono hendaknya jangan berlama-lama dalam menunjuk pejabat pengganti Sri Mulyani. Pengalaman BI yang sembilan bulan tanpa gubernur sebaiknya tidak perlu diulang dalam masalah ini. Akan lebih baik jika pejabat pengganti memiliki bobot plus yang tidak dimiliki oleh Sri Mulyani.
Jika kita mau jujur, kepemimpinan Sri Mulyani selama ini juga juga tak bebas dari kritik dan kelemahan. Salah satunya kebijakan yang dinilai cenderung elitis dan kurang peka pada kepentingan rakyat banyak. Masyarakat ekonomi bawah misalnya, selama ini tidak pernah bisa merasakan dampak langsung dari kebijakan yang sudah ditelurkan Kementerian Keuangan. Yang justru banyak disorot adalah kegagalan dari reformasi birokrasi yang melahirkan banyak " Gayus " serta makelar pajak dan pabean. Reformasi birokrasi yang hanya sekadar menaikkan gaji pegawai negeri sipil (PNS) Kementerian Keuangan justru menjadikan adanya pengelompokan (penciptaan kasta) PNS.
Reformasi birokrasi ternyata tidak menunjukkan tajinya. Dengan demikian, program ini jelas memerlukan kajian ulang dan kalau perlu ditinjau ulang. Pertanyaan kritisnya, apa sih bedanya PNS yang bekerja sebagai guru atau dokter di pedalaman (yang selama ini tidak menerima paket program reformasi birokrasi) dengan PNS di Depkeu? Kalau kita mau melakukan program ini, ada baiknya diseragamkan saja untuk semua PNS sehingga tidak menciptakan kelas-kelas PNS dan akhirnya menciptakan adanya kasta tertentu di kalangan PNS. Ada anak emas, ada anak tiri.
Bagaimanapun juga, perekonomian RI harus dibangun dengan serius. Maklum, negara tetangga lain seperti Cina misalnya, sudah jauh lebih maju. Padahal sekitar 13 tahun lalu, cadangan devisa Cina hampir sama besarnya dengan Indonesia, yakni sekitar 60 miliar dolar AS. Namun kini, cadangan devisa Cina sudah melampui angka 2.000 miliar dolar AS (hampir 30 kalinya Indonesia). Dengan demikian, pasti ada yang salah dengan perekonomian Indonesia yang terkesan jalan di tempat. Posisi terakhir cadangan devisa Indonesia mencapai 74 miliar dolar AS. Pertumbuhan ekonomi Cina juga mencapai rata-rata 10 persen, sementara Indonesia maksimal hanya 5,5 persen.
Angka korupsi bisa ditekan sekecil mungkin karena hukuman mati yang diberlakukan di negeri tirai bambu ini. Sementara Indonesia, indeks korupsi tidak jauh beranjak sejak zaman Orde Baru lalu, masih cenderung tinggi. Hal lain, Cina kini sudah menjadi negara kreditur (memberi pinjaman ke negara lain), sementara Indonesia masih saja menjadi negara pengutang (debitur), bahkan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Bukankah ini akan membebani anak cucu kita kelak? Ini merupakan konsekuensi dari program anggaran defisit yang ditutup dengan utang (baik utang luar negeri maupun domestik/obligasi/surat utang negara).
Padahal dari segi kekayaan sumber daya alam dan manusia, negeri ini tidak kalah jauh dibandingkan dengan Cina. Lalu, apa yang salah dengan program pembangunan ekonomi Indonesia? Nah, hal inilah yang justru urgen untuk dibahas ke depan, bukan berputar pada persoalan pengunduran diri Sri Mulyani dan pernik-perniknya. Inilah pekerjaan rumah sekaligus agenda kerja yang harus dituntaskan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, yang di dalamnya Kementerian Keuangan memegang peranan yang penting, termasuk pembangunan manusia Indonesia dan kesejahteraan ekonomi wong cilik.
Keterbatasan waktu
Oleh karena itu, perdebatan mengenai siapa yang bakal mengisi pos penting nomor satu di Kementerian Keuangan, tidaklah menjadi penting. Kalau perdebatan kita belakangan ini hanya seputar masalah kandidat Menkeu, sangat berbahaya. Kita tidak lagi memiliki kemewahan untuk bermain-main dalam situasi seperti ini. Ke depan, tantangan yang kita hadapi, baik terkait dengan kondisi ekonomi domestik maupun global, semakin serius. Seperti diuraikan tadi, banyak program ekonomi yang belum tuntas dan menuntut dukungan alokasi anggaran yang lebih efektif.
Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana menjembatani dan menerjemahkan solidnya capaian dalam indikator makro dan keuangan ke dalam indikator sektor riil sehingga benar-benar bisa dirasakan oleh rakyat luas. Jelas di sini, keberhasilan Menkeu yang baru kelak tidak hanya tergantung pada sosok pengisi pos tersebut, tetapi juga sangat tergantung pada dukungan dari lingkungannya, termasuk dari kalangan partai politik. Jangan sampai Menkeu seolah harus berjalan sendiri tanpa mendapat dukungan dari para atasannya, sementara yang ditelurkan adalah kebijakan negara yang berdampak luas.***

Penulis, praktisi perbankan di Yogyakarta.
opini pikiran rakyat 12 mei 2010