11 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Netralitas Birokrasi

Netralitas Birokrasi

CERITA tentang PNS (birokrasi) yang menjadi objek tarik-menarik dalam politik praktis dari dulu hingga kini seolah tidak ada habisnya. Kita masih ingat, para era sistem parlementer birokrasi pemerintah dipenuhi oleh  berbagai macam kekuatan politik. Keberpihakan pegawai terhadap kepentingan-kepentingan politik tertentu menggerogoti independensi birokrasi. Adanya kepentingan politik tiap departemen yang berbeda-beda menyebabkan pemerintahan tidak solid. Di tingkat lokal, struktur birokrasi pemerintah daerah juga cenderung mengikuti afiliasi politik pimpinan.

Cerita masih berlanjut. Intervensi politik terhadap birokrasi berlangsung pula di era Orde Baru. Bedanya, kekuatan politik penguasa dan pihak yang berkesempatan untuk menanamkan pengaruh di birokrasi hanya satu, yaitu Golongan Karya (Golkar).


Slogan monoloyalitas menjadi alat menekan gejolak politik birokrasi. Setiap pegawai wajib loyal pada penguasa (Golkar). Seperti halnya era parlementer, era Orba birokrasi juga tidak netral karena melayani kepentingan politik tertentu. Meski tidak separah dibanding masa lalu, birokrasi sekarang ini belum bisa dikatakan terbebas 100 persen dari kepentingan politik praktis. Dalam beberapa kasus, upaya politisasi birokrasi masih terjadi. Birokrasi dibawa-bawa ke dalam pusaran politik kekuasaan.

Sekarang ini, isu mengenai pelibatan birokrasi dalam politik praktis kembali mengemuka. Keterlibatan pegawai dalam politik praktis ”diformalkan”. Melalui tampilan yang lebih ”elegan”, PNS diberi ruang terlibat politik dengan diperbolehkannya mereka mengikuti kampanye pilkada.Aturan yang memperbolehkan PNS mengikuti kegiatan kampanye sebagai peserta itu kini menjadi pertentangan antara Kementerian Dalam Negeri dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang mengeluarkan kebijakan tersebut.

Kemendagri mengkhawatirkan surat edaran BKN Nomor K.26-30/V.31-3/99 bisa menimbulkan keresahan di lingkungan kerja. Selain itu, PNS dapat terpecah dalam kubu-kubu calon kepala daerah tertentu sehingga mengganggu pelayanan terhadap masyarakat (SM, 01/05/10). Kekhawatiran Kemendagri tersebut cukup beralasan. Dalam sejumlah pemilihan kepala daerah, keterlibatan aparat birokrasi untuk menyukseskan salah satu calon seringkali terlihat jelas.

Dampak lain, kepercayaan publik kepada penyelenggara negara (birokrasi) bisa terancam. Persepsi publik memandang negatif PNS yang terlibat kampanye salah satu calon, khususnya dari pandangan warga yang berbeda aliran politik.
PNS dan Kampanye Lantas bagaimana dengan pelibatan PNS dalam kampanye ? Kampanye pilkada dimaknai sebagai kegiatan calon untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan program-programnya. Artinya, tahap kampanye merupakan saat penting bagi setiap pemilih untuk ”mempelajari” kualitas masing-masing calon.
Sebagai pemilih, setiap orang berhak, bahkan harus  tahu profil, visi, misi, dan program dari calon yang disampaikan dalam kampanye. Dengan harapan,  ibaratnya mereka tidak memilih kucing dalam karung. Mereka harus tahu kredibilitas dan apa yang akan diperbuat calon bila terpilih.

Siapa yang bisa menjamin atribut sebagai PNS dilepaskan ketika mereka mengikuti kampanye?  Juga, siapa yang bisa menjamin fasilitas/aset pemerintah tidak disalahgunakan dalam kampanye?  Siapa pula yang bisa menjamin tidak terjadi pengkavelingan-pengkavelingan dalam birokrasi?  Dan siapa yang bisa menjamin PNS tidak menjadi alat kekuasaan?

Harus diakui, sistem (dan aparat) dalam birokrasi kita masih sulit memisahkan antara kepemilikan pribadi dan publik. Budaya dalam sistem birokrasi yang pekat nuansa patrimonial governance cenderung mendorong birokrat untuk mengeksploitasi kekuasaan selayaknya kekayaan pribadi. 

Kesimpulannya, ketika aparat birokrasi belum profesional atau belum mampu membedakan peran sebagai individu dan pegawai pemerintah, serta secara umum masyarakat belum dewasa dalam berdemokrasi maka belum saatnya PNS dibebaskan terlibat dalam kampanye.

Posisi PNS yang netral dan tidak diperbolehkan mengikuti kampanye merupakan pilihan tepat. Kebijakan seperti Pemilu 1999, 2004, dan 2009 yang memberikan jarak antara PNS dan politik praktis terbukti positif untuk menumbuhkan iklim yang kondusif. Demokrasi juga relatif berjalan baik.
Kebutuhan PNS sebagai konsekuensi warga yang mempunyai hak memilih dan dipilih untuk mendapatkan informasi mengenai profil, visi, misi, dan program dari parpol atau calon tidak harus diperoleh dengan mengikuti kampanye langsung. (10)

— Didik G Suharto, dosen FISIP UNS, mahasiswa S3 ilmu administrasi Unibraw

Wacana Suara Merdeka 12 Mei 2010