11 Mei 2010

» Home » Kompas » Meretas Kekerasan Primordial

Meretas Kekerasan Primordial

Kerusuhan Mei 1998, selain klimaks krisis ekonomi yang menghantam Indonesia sejak Agustus 1997, juga merupakan akumulasi politik primordialisme. Itu terjadi karena pemerintah tidak menuntaskan akar kesenjangan sosial dan ekonomi, membiarkannya menjadi kecemburuan sosial.
Komunitas Tionghoa dipagari dengan politik diskriminatif. Mereka dijadikan bemper pemerintah saat protes sosial berujung vandalisme. Syukurlah chaos sosial itu melahirkan kosmos relasi sosial yang positif.
Jalan panjang masih ditempuh relasi sosial terkait sentimen keagamaan. Berulang kali terjadi tindak kekerasan yang masif terhadap komunitas minoritas, tetapi belum terlihat tanda-tanda arus balik yang menguatkan ikatan kebangsaan. Komunitas tertentu rentan jadi target intimidasi dan kekerasan massa. Gelombang massa tanpa karakter kebangsaan cenderung menguat pada era reformasi, seiring melemahnya otoritarianisme negara dan menguatnya elemen sipil.


Dalam insiden kekerasan horizontal yang melibatkan dua pihak, penegak hukum cenderung tak berdaya melindungi korban kekerasan. Setelah terjadi kerugian psikologis (ketakutan) dan fisik (penganiayaan) ataupun material (kerusakan gedung), pemerintah mengimbau pihak-pihak yang bertikai menahan diri. Sebenarnya, satu pihak memaksakan kehendaknya dengan menyerang pihak lain.
Penegak hukum cenderung tunduk pada tuntutan massa untuk menekan komunitas korban, dengan alasan meredam keresahan warga. Keresahan pihak penyerang diakomodasi di atas kerugian pihak yang diserang. Aparat tampak terlalu berhati-hati, untuk tidak mengatakannya sebagai bagian dari politik pembiaran. Pemerintah merasa berhasil dengan vandalisme yang tak berlanjut, bukan mengukur prestasi penegakan hukum dari mencegahnya.
Alasan jumlah aparat tak sebanding dengan massa hanya sebuah pengelakan tanggung jawab. Sebagai institusi penjamin tertib sipil, aparat penegak hukum memiliki pilihan tindakan yang luas dari persuasif hingga koersif. Penegak hukum memilih untuk cari aman. Vandalisme terhadap kelompok lemah diperlakukan sebagai force majeure (di luar kendali).
Namun, penanganan yang berulang-ulang seperti ini membuat wibawa (penegak) hukum merosot di hadapan histeri massa yang mengangkat isu primordial dan terang-terangan melecehkan hukum. Penegak hukum tidak tegas meski kewenangan konstitusionalnya jelas. Lalu, vandalisme begitu saja disimpulkan sebagai salah paham. Kasus hukum dipetieskan atau diselesaikan dengan jalan damai. Pelaku tindakan kriminal tak diproses hukum. Dengan mengorbankan penegakan hukum dan membiarkan pelaku vandalisme melenggang dari jerat hukum, negara terperangkap dalam politik mayoritas-minoritas yang mencederai solidaritas kebangsaan.
Agama modal sosial
Begitu lemah perlindungan pemerintah bagi warga minoritas terkait kebebasan beragama dan rasa aman yang dijamin konstitusi. Pelanggaran hak asasi dengan melawan wibawa (penegak) hukum berbahaya bagi solidaritas bangsa. Penyelesaian perkara yang tak mendidik telah jadi preseden bagi gerakan vandalisme. Warga menjadi lebih berani melakukannya lagi. Psikologi massa yang berkembang adalah rusak dulu, baru musyawarah.
Di sana-sini intoleransi antarumat beragama jadi duri dalam daging terkait kehidupan berbangsa. Tertib sipil dipertentangkan dengan tertib (versi) agama. Perilaku terkait agama seolah berada di luar hukum sekuler. Ambiguitas penjamin tertib sipil turut menyuburkan watak primordial bangsa. Eksklusivisme dan intoleransi agama telah mengorbankan tertib sipil.
Padahal, sila ketuhanan menjadi dasar negara sebagai ”salah satu elemen yang bisa mempersatukan batin bangsa Indonesia dengan cara semesra-mesranya” dalam rangka ”menjadi bangsa yang mengejar kebajikan” (Sukarno, Pancasila sebagai Dasar Negara, 63). Kemajemukan agama tidak dimaknai sebagai alasan berkompetisi atau saling mengecilkan, tetapi sebagai unsur pemersatu bangsa dengan cara semesra-mesranya.
Pemahaman bapak pendiri bangsa itu bertentangan dengan politik pemerintah yang menjadikan agama sebagai isu sensitif. Malah, bertumbuh subur sikap penolakan yang berujung hambatan beribadah bagi umat lain. Mestinya itu terjadi di negara komunis, tidak di negeri yang menjunjung ketuhanan. Karena itu, negara wajib mendisiplinkan warga agar tidak membiasakan diri menebar kebencian primordial. Tidak ada yang suci dalam primordialisme. Indonesia adalah negara hukum, bukan republik agama. Sentimen kekamian tidak boleh menggerus kekitaan. Sebaliknya, kekitaan harus dikelola menjadi sebuah modal sosial untuk menjadi bangsa yang maju dan terhormat.
Jika umat mampu keluar dari kesempitan kelompok dan menghargai kemajemukan dalam masyarakat, agama dapat menjadi sebuah faktor transformasi peradaban. Umat mampu berdialog dengan modernitas secara kritis. Keberagamaan jadinya mencerdaskan, membebaskan, dan memartabatkan umat.
Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

Opini Kompas 12 Mei 2010