11 Mei 2010

» Home » Kompas » Luka Belum Mengering

Luka Belum Mengering

'The name that they gave me the fighting name, is ’Blood Never Dry’ (Dee, Child Soldier, Sierra Leone).”
Harian Kompas (10/5) menurunkan tulisan ”Korban Ingin Bertemu Yudhoyono” sebagai rekaman perjuangan para korban kekerasan politik 12 tahun lalu. Sesuatu yang tak pernah jelas hingga kini. Namun, ada alasan yang lucu terkait ketidakjelasan penyelesaian persoalan kemanusiaan ini. Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy meluncurkan argumentasi menggelikan bahwa ”beda tafsir” dalam antara Kejaksaan dan Komnas HAM soal penyelidikan kasus Mei 1998 menyebabkan keterlambatan penyelesaian pelanggaran HAM ini.
Bayangkan, ”beda tafsir” itu sudah berlangsung selama 12 tahun. Tidak pernah selesai. Di sini, muncul sebuah pertanyaan penting. Bagaimana institusi politik yang melayani publik dalam semangat reformasi justru tidak mampu menuntaskan sekadar persoalan ”beda tafsir” untuk masalah HAM yang sangat serius. Tentu, jika ini menjadi alasan paling fundamental. Sekali lagi, tidak terbantahkan, persoalan artifisial-formalistik dengan mudah melumpuhkan kedalaman persoalan yang tersembunyi di dalamnya: kemanusiaan yang kian tercabik dalam diri para korban politik dan keluarga mereka. Ini mempresentasikan ”peringai” politik negara ini saat memperlakukan golongan lemah dan tidak berdaya.
Blood Never Dry, demikian judul sebuah film spesial yang melukiskan kekerasan di Afrika. Ini merujuk pada catatan harian seorang bocah tentara yang terlibat dalam peperangan di Sierra Leone (Wikia Entertainment, 2010). Film ini merefleksikan kehidupan lebih kurang 250.000 anak yang harus berada di barisan depan pertempuran. Jarak yang terlalu dekat dengan peluru dan kematian! Kiefer Sutherland menyebutkan pesan sentral film ini bahwa darah dan kematian tak pernah berhenti mengalir di sebuah komunitas politik yang sarat kekerasan. Bukan saja kekerasan fisik, melainkan juga politik, ekonomi, dan kultural.


Dua belas tahun lalu, empat mahasiswa Universitas Trisakti harus menumpahkan darah untuk membuka jalan menuju perubahan radikal kehidupan politik Indonesia. Ini menjadi salah satu titik balik terpenting nasib demokrasi di negeri ini. Para pahlawan reformasi meninggal sebagai ”martir demokrasi” di sebuah negeri yang sarat kekerasan, kerakusan, dan keserakahan. Seterusnya akan selalu berkibar kebenaran ini. Bahwa komunitas paling lemah dalam konstelasi sosial politik akan selalu ”dikorbankan” untuk misi politik kekuasaan anti-kemanusiaan. Darah kemanusiaan terus mengalir karena politik dan kekuasaan hanya berisi nafsu keserakahan.
Sebuah garis lurus mutlak ditarik dalam keseluruhan perubahan radikal yang membawa efek dramatis dalam peta kehidupan politik. Ada hal utama yang mau diungkapkan dalam pengorbanan yang kian sempurna ini. Usaha mengorbankan diri dengan segala kegagahan. Sebuah usaha tanpa pamrih untuk—meminjam gagasan John Lloyd (2000) dalam New York Times Magazine—merontokkan kerakusan oligarki politik. Sistem politik kekuasaan yang mengunggulkan monopoli, dominasi, dan represi terhadap publik dan hasrat demokrasi.
Substansi perjuangan ”politik kemanusiaan” pahlawan reformasi semestinya mengalami transformasi fundamental dalam bentuk sistem dan kultur kekuasaan demokratik. Politik dan kekuasaan niscaya melakukan internalisasi atas kemartiran politik para mahasiswa Trisakti dan korban lain. Ini akan jadi basis tumbuhnya konstruksi kekuasaan yang selalu mengutamakan kehidupan rakyat (publik).
”Political-Crashing”
Namun, persoalan sesungguhnya ternyata tidak semudah apa yang terbayangkan dalam benak dan ingatan publik Indonesia. Apa yang dipikirkan rakyat tidak selalu sama seperti apa yang diperhitungkan kekuasaan. Tidak terbantahkan betapa politik era Reformasi pada bagian-bagian lain justru tidak memperlihatkan apresiasi tinggi terhadap semangat pengorbanan para mahasiswa yang melahirkan reformasi politik demokratik.
Lihatlah laporan Freedom House (FH) edisi 2010 ini. Ada empat elemen utama yang dinilai FH dalam kehidupan kenegaraan, dengan skor 0 (terburuk) hingga 7 (sempurna). Kita mungkin akan memperdebatkan metode apa yang dipergunakan hingga angka-angka ini mengidentifikasikan prestasi demokrasi di Indonesia. Namun, lebih penting bagaimana penilaian seperti ini dipergunakan untuk melesakkan perubahan signifikan demi kebaikan bersama.
Setelah 12 tahun kita menyebut era Reformasi yang menandai kebangkitan politik dan demokrasi, prestasi kita dalam bidang vital kehidupan masih merayap dalam ruang ketidakberdayaan.
Kristalisasi reformasi yang terfokus dalam bidang politik telah meninggalkan ”lubang kelalaian” kekuasaan untuk menyelesaikan perkara kemanusiaan dalam diri para korban politik masa lalu. Keruntuhan politik memuncak dalam bentuk pengentalan egoisme kekuasaan. Fenomena yang terus menguat hari-hari terakhir ini. Ini yang menyebabkan kekuasaan hanya pandai memproduksi ”kemasan” politik yang menyilaukan nurani publik. Selebihnya, terus tercecer dalam urusan-urusan terpenting dalam konteks demokratisasi, keadilan, dan kemanusiaan.
Restorasi
Selanjutnya, FH menyoroti Indonesia sebagai salah satu dari tiga negara yang dianalisis secara khusus dalam Freedom House’s Crossroad Analysis. Meski ada hal positif yang dianggap sebagai pencapaian politik penting, secara keseluruhan dari penilaian yang ada, ditarik kesimpulan mengejutkan bahwa korupsi adalah endemik yang menghancurkan prospek demokrasi di Indonesia (Asia Tenggara). Analisis ini menjustifikasi kenyataan yang sedang dihadapi Indonesia dalam hari-hari muram belakangan ini.
Restorasi politik demokratik adalah persoalan paling mendesak yang harus dikerjakan. Restorasi yang diletakkan di atas refleksi terhadap ”kemartiran” suci para korban politik masa lalu. Kiprah para penguasa saat ini tak dapat dilepaskan dari keseluruhan kisah pengorbanan pahlawan reformasi 12 tahun lalu. Sesudah 12 tahun berlalu, kini, tanpa keseriusan memperbaiki problematik politik di negeri ini, darah para martir demokrasi tak pernah mengering, jiwa mereka terus berteriak menuntut keadilan dan kebenaran.
Max Regus Direktur Parrhesia Institute, Alumnus Pascasarjana Departemen Sosiologi UI

Opini Kompas 12 Mei 2010