11 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Rezim Penanggulangan Bencana

Rezim Penanggulangan Bencana

Persoalannya, kapasitas negara berkembang untuk melakukan duplikasi terhadap infrastruktur vital perekonomian semacam ini masih sangat terbatas

DUNIA tengah memasuki era krisis baru, di mana bencana alam (natural disaster) memunculkan dampak yang serius bagi kehidupan seluruh bangsa. Abu letusan Gunung Eyjafjallajokull yang menunda ratusan ribu penerbangan dari dan ke Eropa, menjadi rangkaian terbaru dari berbagai bencana alam sejak terjadinya tsunami 2004 di Lautan Hindia dalam dekade terakhir.

Dalam banyak studi, telah dibuktikan bahwa perubahan iklim dan pemanasan global menjadi penyebab utama meningkatnya sensitivitas perubahan struktur bumi. Dalam kacamata manusia, fenomena ini tidak semudah tergambarkan sebagai hal yang alamiah (natural). Ada dua penyebab utama terkait dengan tanggung jawab sosial manusia dan negara atas peningkatan intensitas bencana  yang terjadi di bumi ini.


Pertama, globalisasi pasar, aktivitas bisnis, dan besarnya konsumsi minyak dunia menyumbangkan tingginya emisi yang dihasilkan. Padahal, data pertumbuhan penduduk menunjukkan peningkatan 1,5 triliun jiwa di seluruh dunia setiap dekadenya.

Jumlah ini akan memengaruhi besarnya permintaan terhadap berbagai produk dan konsumsi atas minyak yang keduanya berdampak pada peningkatan emisi. Kini, pertambahan emisi setiap tahunnya mencapai 8 miliar metrik ton (www.onlyzerocarbon.org) dengan eskalasi peningkatan yang tajam mulai dekade 1970-an.

Kedua, besarnya emisi karbon ini menjadi bukti atas kegagalan negara dalam mengimplementasikan Protokol Kyoto 1997 yang pada 2012 nanti telah kedaluwarsa. Negara justru terbelenggu dalam perdagangan karbon dan sibuk merumuskan regulasi pengganti pada 2012 nanti melalui United Nations Conference on Climate Change (UNCCC/COP-18), tanpa diiringi komitmen terhadap perlunya indikator yang terukur dan tepat sasaran dalam pengurangan emisi.
Politisasi Bencana Sepertihalnya krisis ekonomi dan keamanan, krisis yang disebabkan oleh bencana alam memiliki dampak ekonomi, sosial, politik, bahkan psikososial yang kompleks. Kompleksitas ini mulai ditunjukkan dari peristiwa gempa di Haiti dan Chile beberapa waktu yang lalu.

Berbeda dari  bencana sebelumnya, gempa di kedua negara ini terjadi langsung di ibu kota negara. Akibatnya, kehidupan politik terganggu dan upaya darurat yang dikendalikan oleh negara terhenti. Negara seolah kehilangan kedaulatan ekonomi dan politik atas kehancuran yang menimpa.

Dari letupan Gunung Eyjafjallajokull di Islandia beberapa waktu lalu, kerugian di sektor penerbangan saja telah mencapai 200 juta dolar AS setiap harinya. Secara umum, kerugian material (ekonomi) atas bencana terhitung meningkat sangat pesat sejak 2001.

Tahun 2008, lebih dari 235.000 jiwa tewas akibat bencana alam, sekitar 2,14 juta jiwa menderita, dan kerugian yang harus ditanggung mencapai 190 triliun dolar AS (Center for Research in the Epidemiology of Disaster, 2010). Dalam perhitungan sejak 1991 hingga 2005, kerugian total tercatat 1.192 triliun dolar AS atau sepadan dengan GDP tahunan Meksiko pada 2008.

Langkah preventif telah dilakukan di berbagai negara maju dalam mengamankan objek vital seperti infrastruktur vital perekonomian utama. Di Amerika Serikat, misalnya, mekanisme ini dilakukan oleh Bank Sentral AS (The Federal Reserve) dalam membangun sejumlah besar duplikat fasilitas komunikasi dan komputer yang mengoperasikan sistem keuangan negara, di kawasan yang cukup terpencil (Alan Greenspan, 2007).

Namun mekanisme ini dilakukan terlebih untuk menghindarkan diri dari gangguan kemanan yang serius, bukan bencana alam yang tidak dapat diprediksi dengan akurat dan datang kapan pun dan di mana saja.

Persoalannya, kapasitas negara berkembang untuk melakukan duplikasi terhadap infrastruktur vital perekonomian semacam ini masih sangat terbatas. Di sisi lain, kehancuran zona ekonomi utama menyebabkan kehancuran total bagi sistem kenegaraan secara menyeluruh (collateral damage).

Ketika dalam hubungan keamanan, perasaan terancam (threat perception) yang dihasilkan dari dilema keamanan (security dillema) berkutat pada persoalan ancaman peperangan atau konflik bersenjata, kini negara harus memunculkan sensitivitas dilema keamanan terhadap isu bencana alam.

Solusi yang dirumuskan harus berdasar pada studi empiris bersama dengan kelompok-kelompok bisnis dalam mengatasi dampak bencana, sehingga meminimalisasi dampak ekonomi (contagious effect) domestik lebih lanjut. Tentunya, seruan ini menjadi wake-up call yang berpijak pada perlunya jaring pengaman terhadap datangnya era bencana. (10)

— Pamungkas Ayudhaning Dewanto, Redaktur Pelaksana Global, Jurnal Politik Internasional Departemen Hubungan Internasional FISIP UI

Wacana Suara Merdeka 12 Mei 2010