16 Maret 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Menolak Kedatangan Presiden AS

Menolak Kedatangan Presiden AS

Oleh Luthfi Afandi

Berbeda halnya dengan kedatangan George W. Bush tahun 2006 lalu yang banyak menuai penolakan, rencana kedatangan Obama ke Indonesia pada 20-22 Maret mendatang nyaris tanpa penolakan, bahkan ada upaya penyambutan khusus seperti layaknya menyambut keluarga yang baru pulang dari negeri orang. Untuk itu, patung Obama kecil pun dibuatkan. Di mata publik, Obama yang berasal dari Partai Demokrat memang mencitrakan diri berbeda dengan Bush yang berasal dari Partai Republik. Obama dikesankan lebih mengedepankan jalan soft power daripada cara hard power alias kekuatan senjata yang jadi ciri utama pendahulunya, Bush. Terlebih publik di Indonesia terlanjur menganggap Obama memiliki kedekatan emosional karena pernah tinggal dan sekolah di Jakarta.

Bukan hanya itu, Obama juga dikesankan lebih akomodatif terhadap dunia Islam. Untuk lebih menguatkan kesan tersebut, sekitar empat bulan setelah dilantik, dipilihlah Universitas Al-Azhar, Mesir, sebagai tempatnya berpidato tentang hubungan Islam dan Barat. Pidato tersebut pun seolah ingin meyakinkan masyarakat Muslim bahwa Obama dekat dengan Islam karena nenek moyangnya beragama Islam dan masa kecilnya ada dalam lingkungan Islam.



Itu sekilas tentang citra seorang Obama. Akan tetapi, banyak hal yang dilupakan publik tentang figur seorang Obama. Kedatangannya ke Indonesia tentu bukan sekadar nostalgia. Obama adalah seorang presiden negara kapitalis, Amerika Serikat, yang telah ada jauh sebelum Obama menjadi presiden. Pribadinya tentu tidak bisa dipisahkan dengan jabatan yang ada di pundaknya. Dan perlu diketahui, bahwa hingga kini AS jelas-jelas tengah menjajah negeri Muslim, seperti Irak dan Afghanistan. AS juga terus menyerang wilayah perbatasan Pakistan dan Afghanistan. Akibatnya, negara-negara itu hancur berantakan. Bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Tak terhitung besarnya kerugian yang ditimbulkan. Ratusan ribu bahkan mungkin jutaan rakyat di sana meninggal karenanya. 

Menurut penelitian John Hopkins University, akibat invasi AS ke Irak sejak 2003, lebih dari 1 juta warga sipil Irak tewas. Memang dulu ketika AS menginvasi Irak dan Afghanistan, AS dipimpin oleh Presiden Bush. Akan tetapi, Obama tidak mengubah kebijakan tersebut. Rencana untuk menarik pasukan AS dari Irak hingga sekarang belum diwujudkan. Ia bahkan sudah memutuskan menambah 30 ribu pasukan ke Afghanistan. Itu artinya tingkat kerusakan dan penderitaan rakyat di sana, termasuk yang kemungkinan bakal tewas, akan meningkat.

Sosok presiden seperti itulah yang rencananya akan berkunjung ke Indonsia. Sosok yang tidak berbeda dengan Bush. Obama hingga sekarang juga tidak sedikit pun mengungkapkan rasa simpati terhadap para korban tragedi Gaza setahun lalu. Jangankan simpati terhadap korban atau kutukan terhadap pelaku, menyinggung peristiwa itu saja tidak pernah ia lakukan. Dalam pidato inaugurasi atau pelantikannya sebagai presiden, tak sedikit pun ia menyinggung soal Gaza. Padahal, itu peristiwa besar dengan korban lebih dari 1.300 orang tewas, yang telah menarik perhatian masyarakat dunia. Akan tetapi, bagi Obama, tragedi Gaza itu seolah tidak pernah ada. 

Obama memang tamu. Akan tetapi, tamu itu ada dua macam, tamu yang baik dan tamu yang bermasalah. Obama adalah jenis tamu yang kedua, karena dia hingga sekarang terus menyerang negeri-negeri Muslim dan tentu akibatnya banyak mengorbankan rakyat di sana. Lalu, bagaimana menyikapi tamu semacam itu? Terkait hal tersebut, Ibnu Hisyam dalam As-Sirah An-Nabawiyyah meriwayatkan tentang sikap Rasulullah saw. terhadap Abu Sofyan pemimpin kafir Quraisy. Rasulullah saw. sama sekali tidak menggubris kedatangannya, bahkan beliau siap menyerang Mekah karena pengkhianatan kaum Quraisy terhadap perjanjian Hudaibiyyah. Nabi saw. tidak pernah menerima dan menyambut Abu Sofyan bin Harb dengan penyambutan kenegaraan yang menunjukkan rasa hormat dan belas kasih. Beliau justru memperlakukan Abu Sofyan dengan sangat keras, hingga harga diri dan kesombongan Abu Sofyan luruh bagaikan sekawanan laron yang tersambar api pelita.

Indonesia dalam pembukaan UUD 45 telah menegaskan penentangannya terhadap segala bentuk penjajahan, dan oleh karena itu penjajahan itu harus dihentikan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Bila konsisten dengan prinsip ini, semestinya Indonesia juga harus menentang penjajahan yang dilakukan AS di Irak dan Afghanistan. Dan bentuk paling ringan dari penentangan itu adalah menolak kehadiran presiden dari negara penjajah itu, sehingga menyambutnya tentu sangat melukai hati ummat Islam. 

Wujud pembelaan seorang Muslim terhadap kaum Muslim di Irak, Afghanistan, Pakistan, Palestina yang saat ini tengah menghadapi invasi militer Amerika, adalah menolak kunjungan, kerja sama, ataupun intervensi nonfisik dari penguasa-penguasa imperialis semacam Amerika Serikat, Inggris, dan Israel. Kalau menolak kedatangan Obama tidak bisa kita lakukan, apa yang bisa kita lakukan untuk menunjukkan pembelaan kita terhadap saudara kita?***

Penulis, Humas HTI Jabar.
Opini Pikiran Rakyat 17 Maret 2010