PERAWAT adalah pembantu dokter. Kalimat ini memang tak pernah terucap pada pertemuan resmi atau rakor antartenaga kesehatan di manapun. Juga tidak pernah diakui oleh perawat sendiri. Dokter pun tidak pernah mengungkapkan secara verbal.
Pernyataan ini hanya rekayasa penulis untuk menggambarkan betapa masih kurangnya penghargaan atas profesi perawat di mata sebagian masyarakat. Simak saja adegan di sinetron.
Peran perawat digambarkan masih sebatas ‘’membantu’’ tugas dokter. Berdiri di samping dokter yang memeriksa pasien, sambil memegang kartu data pasien. Kemudian dokter memerintahkan sesuatu kepada perawat, lalu pergi keluar kamar periksa.
Siapa sebenarnya perawat itu? Munas VII Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) di Manado, Juli 2005, mendefinisikan perawat sebagai seorang yang lulus pendidikan formal dalam bidang keperawatan yang program pendidikannya disahkan oleh pemerintah. Sedangkan menurut PP Nomor 32 Tahun 1996, perawat dan bidan adalah tenaga keperawatan yang merupakan salah satu dari 7 tenaga kesehatan yang diakui di Indonesia.
Perawat yang diakui sebagai salah satu tenaga kesehatan, harus memenuhi syarat pendidikan formal untuk bekal merawat pasien. Keterampilan yang tampak dari luar merupakan aplikasi ilmu pengetahuan dan latihan yang diperoleh selama pendidikan. Dengan bekal ilmu dan keterampilan, perawat harus mampu memberikan asuhan keperawatan terhadap pasiennya tanpa intervensi pihak manapun.
Kemandirian seorang perawat akan nampak dari seberapa besar ia mampu mengelola masalah pasiennya, membuat rasa nyaman, dan damai, serta memfasilitasi pasien mengenal masalahnya sendiri. Output itu mustahil bisa berhasil tanpa pengetahuan dan skillyang memadai, kesediaan melayani dengan hati, serta kemampuan komunikasi yang baik dengan pasien.
Tugas Managerial Pendidikan formal perawat cukup beragam. Mulai sekolah perawat kesehatan (SPK) setingkat SMK, D3, bahkan sampai S3 (doktoral bidang keperawatan). Lingkup kerjanya pun tidak hanya di rumah sakit tetapi juga di masyarakat atau tugas nonklinis seperti tugas managerial di kantor Dinkes.
Selain sebagai profesional klinis, perawat memiliki keahlian sebagai pengajar, manager, dan peneliti. Di rumah sakit besar, perawat klinis memiliki keahlian spesialisasi seperti bedah, penyakit dalam, penyakit jiwa dan sebagainya.
Seragam perawat kini sudah tidak lagi putih-putih dengan cap di kepalanya yang merupakan trade mark profesi selama ini. Performancefisiknya pun makin menarik. Perawat bukan hanya wanita yang sering disapa suster melainkan juga pria.
Citra perawat masih jauh dari harapan insan perawat sendiri. Di mata sebagian masyarakat, perawat masih sering dinilai tidak memiliki ilmu dan tidak mandiri. Penilaian semacam ini bisa disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena ketidaktahuan masyarakat akan tugas perawat. Tugas perawat yang langsung bersentuhan dengan pasien memengaruhi gambaran tugas secara keseluruhan.
Kebutuhan pasien, terlebih dengan tingkat ketergantungan yang tinggi, sangat membutuhkan bantuan perawat. Peran perawat masih sering nampak dalam kegiatan pasien sehari-hari seperti makan, minum, mandi, buang air besar/kecil.
Agaknya, tugas keseharian perawat semacam ini yang membentuk pandangan masyarakat menilai tugas seorang perawat tidak lebih dari pembantu rumah tangga.
Masyarakat tidak mengetahui keahlian perawat yang sesungguhnya. Pada saat perawat melakukan tindakan terhadap pasien yang menuntut keahlian, misalnya melakukan tindakan life saving di IGD atau ICU, pihak pasien selalu diminta keluar kamar.
Kedua, tingkat pendidikan perawat yang heterogen ditambah latar belakang seseorang memilih profesi sebagai perawat, sangat menentukan output . Lulusan SPK pasti berbeda dari lulusan program diploma atau sarjana, baik dari sudut pandang ilmu maupun daya pikir serta sikap.
Motivasi seseorang untuk memutuskan masuk ke sekolah perawat juga sangat berpengaruh pada kinerjanya kelak setelah lulus. Cukup banyak perawat yang ‘’terpaksa’’ masuk pendidikan keperawatan karena alasan ekonomi atau karena tidak lolos seleksi di fakultas atau jurusan favorit pilihannya.
Ketiga, batas kewenangan perawat sebagai bagian dari tim kesehatan di lapangan, tidak jelas. Gesekan, terutama dengan profesi dokter, acapkali terjadi. Grey area tugas dan kewenangan dokter dan perawat, sangatlah lebar.
Contohnya tugas mengobati pasien seperti menyuntik dan memasang infus sebenarnya menjadi area tugas dokter. Namun, di lapangan, hampir selalu dilakukan oleh perawat. Bahkan pada situasi darurat yang memerlukan kecepatan penanganan, seperti di IGD, ICU, daerah terpencil atau di lokasi bencana, perawat selalu menjadi andalan.
UU Keperawatan seharusnya bisa mengatur standar kompetensi, peran, dan fungsi perawat dalam tim kesehatan serta hubungan perawat dengan institusi atau pihak lain. Dengan UU ini perawat juga akan dilindungi dari tuntutan hukum. Perawat dalam kasus emergency harus melakukan tindakan yang bukan tanggung jawabnya.
Jika hasilnya tidak seperti yang diharapkan maka tudingan malpraktik bisa-bisa tertuju kepada perawat. Sayangnya, sampai ulang tahunnya yang ke-36 pada 17 Maret 2010 ini, PPNI sebagai satu-satunya organisasi perawat di Indonesia, belum memiliki UU yang mengatur profesi perawat.
Perawat sebagai tenaga kesehatan yang paling dekat dan paling lama berinteraksi dengan pasien adalah tenaga yang paling berisiko tertular penyakit. Ironisnya, kompensasi atas risiko ini belum diterapkan oleh semua institusi kesehatan. (10)
— YB Hendro Priyono AMK SKM, Kabag Litbang Rumah Sakit Emanuel, Purwareja, Klampok, Banjarnegara
Wacana Suara Merdeka 17 Maret 2010