Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya, Presiden selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan harus mengambil alih tanggung jawab dan tidak malah membiarkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Wakil Presiden (mantan Gubernur Bank Indonesia) Boediono menjadi sasaran dan bulan-bulanan Pansus.
Belakangan, menjelang keputusan Rapat Paripurna DPR, Presiden akhirnya menyatakan mengambil alih pertanggungjawaban atas kebijakan itu. Amat disayangkan, keputusan politik Presiden itu telat, ketika segalanya menjadi semakin runyam. Kerumitan itu juga disebabkan oleh sikap DPR yang tak mampu mengambil sikap secara tegas
Lewat tulisan ini saya bertujuan menjelaskan pandangan saya secara lebih rinci, dengan disertai argumentasi yang lebih lengkap. Hal ini, dalam hemat saya, juga tidak lepas dari upaya kita bersama untuk terus melakukan proses pembelajaran dan pencerahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terkait penanganan terhadap Bank Century, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang menetapkan Bank Century sebagai bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik harus dipandang sebagai suatu kebijakan yang pada saat itu dibuat dengan segala pertimbangannya—terlepas dari kesetujuan atau ketidaksetujuan dari masyarakat, elite politik, ataupun cendekiawan. Keputusan KSSK merupakan suatu kebijakan pemerintahan negara. Dengan demikian,
Dari alur pikir di atas yang berdasarkan sistem pemerintahan presidensial, Pansus Angket Bank Century semestinya melakukan pemeriksaan terhadap kebijakan pemerintahan, bukan pemeriksaan terhadap kebijakan para pembantu Presiden semata, atau dalam hal ini kebijakan
Lebih lanjut, konsekuensi sistem pemerintahan presidensial, andai kata pun ada perbedaan pendapat ataupun penilaian mengenai ketepatan kebijakan (judgement) pemerintah cq. Menkeu di dalam keputusan KKSK, hal itu tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya pada menteri yang bersangkutan semata. Di sinilah perbedaan utama dari sistem pemerintahan presidensial dengan sistem pemerintahan parlementer.
Lain halnya jika dalam temuan Pansus Century terdapat adanya bukti-bukti permulaan perbuatan pidana. Jika demikian halnya, terhadap kasus itu perlu dilakukan penyelidikan dan penyidikan pidana (pro-justitia) yang dalam hal ini sudah di luar batas kewenangan Pansus, dan merupakan kewenangan kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Rapat Paripurna DPR atas Hak Angket DPR melalui voting telah memutuskan bahwa kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang dilaksanakan Menkeu Sri Mulyani dan Direktur BI Boediono dalam lembaga KKSK yang memberikan bail out Rp 6,7 triliun kepada Bank Century sebagai kebijakan yang salah dan merupakan pelanggaran hukum di bidang administrasi, perbankan, dan tindak pidana korupsi. Sebagian kalangan yang berpandangan pragmatis berpendapat bahwa dengan adanya keputusan politik melalui Rapat Pleno DPR, kasus ini selesai atau tidak perlu diperpanjang lagi.
Sementara itu, pemerintah melalui pidato Presiden SBY dan Wapres Boediono justru kukuh berpendapat bahwa kebijakan yang telah diambil pemerintah itu tak mengandung unsur kesalahan baik secara politik maupun secara hukum, dengan alasan momen pengambilan kebijakan dalam situasi krisis. Respons seperti itu jelas menggambarkan sikap pemerintah yang arogan dengan menafikan vonis politik Rapat Pleno DPR sehingga semakin mempertajam konflik di antara kedua lembaga negara.
Dalam situasi ini jelas terdapat kondisi deadlock DPR dengan pemerintah. Padahal, masalah Bank Century amat penting dan prinsipiil sehingga penyelesaiannya memerlukan koordinasi yang baik di antara lembaga-lembaga negara. Di samping itu, penyelesaian masalah Bank Century harus secara tuntas, baik dari dimensi politik maupun dimensi hukum.
Dari segi prosedural, jalan menuju penyelesaian masalah Bank Century secara tuntas sebenarnya sudah lebih dimungkinkan, apalagi sejak amandemen UUD 1945 telah tersedia mekanisme politik dan hukum. Dalam ranah politik, keputusan dijatuhkan oleh DPR dan MPR, sedangkan yang masuk dalam ranah hukum diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Mengingat kondisi deadlock antara Presiden dan DPR saat ini, perlu dipikirkan secara serius mekanisme politik dan hukum yang mesti dilaksanakan.Untuk itu, menindaklanjuti keputusan politik yang dihasilkan melalui Rapat Paripurna DPR, mesti ada mekanisme politik lanjutan lewat penggunaan hak menyatakan pendapat oleh DPR (Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009, Pasal 184-189). Secara teknis, proses ini bisa diinisiasi oleh paling kurang 25 anggota DPR yang mengajukan usul kepada pimpinan DPR untuk diputuskan dalam rapat paripurna. Apabila mayoritas anggota DPR dalam rapat paripurna tidak menyetujui penggunaan hak menyatakan pendapat, hal tersebut otomatis telah menjadi vonis politik yang sekaligus mengakhiri proses politik terhadap kasus Bank Century.
Akan tetapi, jika dalam hal rapat paripurna menyetujui usul hak menyatakan pendapat, maka dibentuklah Pansus Hak Menyatakan Pendapat. Selanjutnya, pembahasan dalam Pansus Hak Menyatakan Pendapat dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk mendapatkan keputusan diterima atau ditolak. Jika rapat paripurna menolak, proses politik tersebut dengan sendirinya berakhir. Akan tetapi, jika paripurna menyetujui, proses politik berlanjut pada proses hukum di MK.
Pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wapres diajukan dalam bentuk permohonan ke MK. Persidangan di MK merupakan persidangan tingkat pertama sekaligus yang terakhir (final and binding). Apabila keputusan MK menolak permohonan DPR, seluruh proses politik berdasarkan hak angket dan hak menyatakan pendapat DPR menjadi gugur.
Namun, apabila MK dalam putusannya menyatakan membenarkan pendapat DPR, selanjutnya dikembalikan pada proses politik di MPR. Pada tahap ini ada dua kemungkinan, yaitu pertama, MPR menyetujui dugaan DPR yang telah dikuatkan oleh MK yang konsekuensinya ada-
Dari uraian saya di atas, ada dua masalah yang perlu disorot dari mekanisme penyelesaian kasus Bank Century. Pertama, kewenangan MK untuk memeriksa presiden dan wapres dari segi hukum pidana menunjukkan bahwa presiden dan wapres mendapat hak istimewa (privilege), diperiksa langsung oleh MK. Hal ini tidak sesuai dengan asas the rule of law dan equality before the law yang menyatakan bahwa setiap orang bersamaan kedudukannya di hadapan hukum.
Kedua, tanpa mengurangi rasa hormat, MK dengan format dan komposisi sumber daya manusia yang kurang memadai seperti sekarang ini, akan mengalami berbagai permasalahan untuk mengadili perkara pidana yang dituduhkan DPR. Risikonya, keputusan yang diambil MK bisa menimbulkan keraguan mengenai kualitas dan validitasnya.
Kelak perlu adanya review dalam hal kewenangan MK ini yang menurut saya lebih tepat diserahkan kepada Mahkamah Agung (MA). Kewenangan itu mestinya tidak terbatas pada memeriksa perkara pidana terhadap presiden dan wapres, tetapi juga semua menteri dan pejabat tinggi negara setingkat menteri. Model pengadilan khusus semacam itu disebut forum privilegiatum, yang sebenarnya telah diatur dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Kasus-kasus yang terjadi pada tahun 1950-an yang diadili MA mungkin bisa kita jadikan pelajaran, di antaranya adalah kasus Wakil Perdana Menteri Sultan Hamid, Menpen Sjamsuddin Sutan Makmur, dan Menkeh Djodi Gondokusumo. Meskipun mengandung unsur privilege, mekanisme tersebut semata-mata bukan untuk mengistimewakan para pejabat tinggi, tetapi justru dengan alasan mempertimbangkan urgensi penyelesaian kasus-kasus yang berdampak besar pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, timbul masalah jika dalam sidang pleno di MPR diputuskan untuk menolak proses di DPR yang dikuatkan oleh proses hukum di MK. Dari situ terbuka jalan bagi kekuasaan politik (power) untuk menganulir proses hukum. Apakah hal tersebut dapat dibenarkan? Tentu saja ini adalah masalah besar dalam suatu ideal negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Hal inilah yang barangkali perlu kita pikirkan bersama.
Opini Kompas 17 Maret 2010