Pengajar STAIN Metro
Menyoal birokrasi dalam momentum pilkada, bukan cuma tentang netralitas aparatur negara. Lebih esensi adalah menjadikan pilkada bisa bermanfaat mengeliminasi kecenderungan hasrat kekuasaan untuk korupsi, mementingkan diri sendiri, dan abai terhadap persoalan rakyat. Pilkada tanpa kemampuan membuat birokrasi lebih efisien dan rasional, adalah bentuk kegagalan tujuan demokrastisasi lokal yang substansial.
Di tengah ramainya skandal Century--yang divonis Dewan Perwakilan Rakyat terindikasi salah kebijakan, tetapi menurut pemerintah adalah satu kebijakan tepat dalam rangka menangkal krisis ekonomi--kembali bangsa ini mendapat "kado yang tak istimewa" dari lembaga survei berbasis di Hong Kong, yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup dari 16 negara tujuan investasi di Asia Pasifik.
Political and Economic Risk Consultancy (PERC) merilis hasil survei bahwa selama 2010, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara terkorup. Korupsi, menurut survei tersebut, berdampak pada berbagai tingkat kepemimpinan politik dan pamong praja serta lembaga-lembaga utama. Korupsi sudah merajalela di semua level, dan upaya pemberantasannya terhambat politisasi isu yang dilakukan pihak yang merasa terancam oleh agenda pemberantasan korupsi (kompas.com, 8 Maret 2010).
Korupsi telah menjadi penyakit kronis bangsa ini. Birokrasi merupakan entitas pertama dan utama yang disorot publik terkait agenda pemberantasan korupsi. Meski, penyakit moral ini bukan monopoli birokrat, melainkan semua profesi di dalam maupun luar pemerintahan. Birokrasi menjadi lokus pemberantasan korupsi utama, sebab eksistensinya secara langsung menyentuh hajat hidup masyarakat terkait pelayanan dan pelaksanaan program-program pembangunan.
Gaung reformasi birokrasi pun sudah lama kita dengar. Pemberantasan korupsi menjadi satu agenda penting, di samping upaya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, efektivitas program dan pengawasan, kualitas pelayanan publik, serta disiplin, dan etos kerja pegawai sebagai penggerak birokrasi. Karena urgensinya, reformasi birokrasi menjadi kebutuhan bersama untuk membangun kelembagaan, ketatalaksanaan, serta kualitas aparatur negara yang lebih baik dan responsif terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat.
Pemberantasan korupsi sebagai salah satu agenda utama reformasi birokrasi, ternyata semakin kehilangan elan dalam mewujudkan clean goverment. Lihatlah, betapa isu antikorupsi tak kuasa membuat koruptor menjadi musuh bersama. Dengan kepiawaian para koruptor memolitisasi isu--seperti dalam lakon Century--publik sulit membedakan mana yang benar dan yang salah. Kecanggihan politisasi isu dan permainan citra telah membuat agenda pemberantasan korupsi menjadi antiklimaks (?).
Publik kehilangan sensitivitas terhadap isu korupsi. Lihatlah dalam pemilu yang lalu, sosok yang tersangkut masalah korupsi pun masih didukung dan menjadi anggota Dewan. Juga dalam pilkada tahun ini, satu survei menunjukkan isu korupsi tak lagi digubris masyarakat sebagai faktor penting dalam menentukan pilihan politiknya. Elektabilitas mayoritas grass root tak bisa digoyahkan dengan isu korupsi; politik pencitraan lebih berperan.
Perkara korupsi dalam skandal Century tersingkir dari ranah publik, dengan lebih mengedepannya konflik politik dan juga soal eksistensi kekuasaan. Toh, kemudian publik segera lupa, begitu media mengabarkan bentrok aparat-mahasiswa, disusul peristiwa tewasnya Dulmatin yang kepalanya berharga sepuluh juta dolar Amerika.
Menjadikan agenda pemberantasan korupsi sebagai titik awal reformasi birokrasi terbukti tidak efektif lagi. Lihat: KPK "dikriminalisasi" dan "dipolitisasi" tiada henti. Menjadi rumit memang, ketika persepsi masyarakat terhadap isu korupsi semakin kabur. Begitu juga terhadap agenda reformasi birokrasi, yang tak kunjung menghadirkan aparatur negara yang profesional bekerja dan tulus melayani, meski sudah diberi otonomi.
Sedikit harapan, pilkada sebagai proses seleksi kepemimpinan politik di daerah, akan bisa menjadi titik penting untuk mendorong terwujudnya agenda reformasi birokrasi dengan aksi yang lebih nyata. Namun, melihat begitu kuatnya peran partai dalam konstelasi politik dan dalam memunculkan kandidat peserta pilkada, lagi-lagi menjauhkan harapan tersebut. Kualitas (kaderisasi) partai masih menjadi problem utama demokratisasi di negeri ini. Alih-alih, pilkada condong menyebabkan terjadinya instabilitas reguler lima tahunan dalam tubuh birokrasi di daerah.
Prinsipnya adalah untuk memformat ulang birokrasi agar lebih efektif dan rasional memerlukan hadirnya keteladanan dan komitmen pemimpin. Hasil seleksi pemimpin politik terkait dengan kualitas sumber daya politisi dan partai yang menyediakan "bahan baku" dalam proses tersebut. Dengan input yang berkualitas, proses seleksi kepemimpinan politik di daerah akan menghasilkan output yang baik: pemimpin yang jujur dan kredibel, yang dipilih langsung oleh rakyat. Pemimpin yang baik akan menjaga komitmen dan keteladanan dalam menata ulang birokrasi dan memberantas korupsi. Tanpa keteladanan, maka tak akan ada kepercayaan. Tanpa kepercayaan, tak akan ada perintah.
Ini harus menjadi concern kita semua, baik kalangan birokrasi maupun rakyat pada umumnya. Meningkatkan nilai guna pilkada untuk mewujudkan masyarakat dan pembangunan yang lebih baik. Maka, keberpihakan tidak selamanya bermakna negatif, jika keberpihakan itu diperlukan untuk kepentingan bersama, untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Meski, saya yakin, itu semua tak semudah menuliskannya. Wallahualam.
Opini Lampung Post 17 Maret 2010