16 Maret 2010

» Home » Media Indonesia » Prospek Penegakan Hukum Skandal Century Pascarekomendasi DPR

Prospek Penegakan Hukum Skandal Century Pascarekomendasi DPR

Kerja Pansus DPR dalam mengusut skandal bailout Bank Century telah berakhir dalam sidang paripurna DPR dengan menghasilkan rekomendasi berupa 'seluruh penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang berindikasi perbuatan melawan hukum yang merupakan tindak pidana korupsi, tindak pidana perbankan, dan tindak pidana umum berikut pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab agar diserahkan kepada lembaga penegak hukum, yaitu kepolisian RI, kejaksaan agung, dan KPK sesuai kewenangannya'.

Dalam waktu dekat DPR akan berkirim surat pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar segera menindaklanjuti proses penegakan hukum dalam skandal ini dengan memberdayakan aparat hukum. Dengan demikian, sesungguhnya rekomendasi DPR dalam skandal ini hanyalah merupakan pandangan politik, bukan pandangan hukum dan tidak cukup mengikat bagi Presiden untuk menindaklanjutinya. Apalagi melihat kemungkinan komposisi penanggung jawab dari skandal ini melibatkan Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati yang merupakan pembantu setia Presiden. Bahkan Presiden Yudhoyono dalam pidato tanggapannya atas hasil rekomendasi Pansus DPR Bank Century mengingatkan bahwa keduanya adalah putra-putri terbaik bangsa yang baik dan jujur.



Rekomendasi DPR mengambang

Keduanya pastilah terlindungi secara politik karena ketika dua pejabat ini terendus oleh hukum, akan turut menggerogoti legitimasi pemerintahan SBY dan cenderung akan kian memantik buyarnya mitra koalisi partai politik baik di DPR maupun di pemerintahan SBY. Bukankah dengan sikap kritis, PPP, PKS, dan Golkar yang merupakan mitra koalisi pemerintahan SBY dalam sidang paripurna DPR cukup mengguncang pemerintahan SBY.

Dengan rekomendasi DPR yang tidak cukup lugas dalam merinci prosedur menindaklanjuti secara hukum skandal Century, termasuk modelnya, tenggat waktu yang diperlukan untuk menuntaskannya. Hanya dengan menggunakan bahasa yang mengambang, yakni menyelesaikan secara hukum dan menyerahkan kepada Presiden. Sulit rasanya rekomendasi DPR ini akan berbuah tuntasnya skandal ini.

Ditambah lagi kinerja semua lembaga hukum teramat buruk dan telah dijangkiti mafia hukum yang tak kunjung sembuh. Karena itu, sulit mengharapkan skandal ini akan diusut secara hukum. Sistem hukum kita yang tak jelas mazhabnya apakah kontinental atau Anglosaxon, membuat prosedur hukum amat positivistik, memakan waktu yang lama, mahal, dan cenderung berbelit-belit. Mengharap KPK untuk mengusut kasus ini pun patut disangsikan mengingat perseteruan antara KPK vs polisi beberapa waktu lalu pastilah berdampak psikologis bagi KPK dan Polisi yang kian tebang pilih dan menjadi ragu dan tak tegas.

Negeri rekomendasi kasus

Ini mengingatkan kita pada hampir semua skandal yang menyangkut elite politik yang memiliki akses uang, jaringan, dan kekuasaan di negeri ini pasti bertele-tele dalam menuntaskannya. Itulah yang kita saksikan dalam kasus pelanggaran HAM sepanjang Orde Baru hingga Orde Reformasi dari sejak peristiwa kerusuhan Juli 1997, pertikaian politik Mei 1998, kasus Semanggi I dan II sampai kasus Munir, tak ada yang tuntas.

Demikian pula skandal Century ini, ia hanya berhenti pada rekomendasi DPR pada pemerintah. Seolah-olah negeri ini hanyalah negeri rekomendasi kasus. Sebuah kerja dianggap selesai saat ditemukan 'siapa' yang bersalah dan tidak melakukan pembenahan secara sistemik untuk bergerak ke arah paradigma 'apa yang salah' melalui aneka pembuatan regulasi yang lebih ketat sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat diminimalkan (Makmur Keliat, 2009).

Salah satu akibat yang amat serius dari tanggapan kebijakan seperti ini adalah cita-cita Indonesia sebagai negara hukum itu hanya hadir 'sesaat' ketika sebuah tim pencari fakta dibentuk. Setelah itu hilang dan kembali seperti biasa sehingga tidak ada bedanya antara Indonesia 'masa lalu', Indonesia 'hari ini', dan Indonesia 'masa depan'.

Masa depan Indonesia telah dipaksa terperangkap oleh 'masa lalu' dan 'hari ini' yang gelap gulita. Cahaya di ujung terowongan hanya muncul sekilas, kemudian Indonesia masuk kembali ke dalam terowongan yang gelap gulita itu (Makmur Keliat, 2009).

Fakta ini mengajarkan pada kita bahwa ketika kasus-kasus hukum yang melibatkan uang, kekuasaan, dan elite politik sengaja dibuat kabur dan berbelit, sedangkan ketika menimpa pada mereka yang miskin, tak berjejaring politik, tak berakses kekuasaan, dan orang biasa, mudah dengan cepat hukum bereaksi menemukan kesalahannya bila perlu mempercepat hukumannya. Itu artinya hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Sebuah fenomena paradoks sebagai negara yang berdasar pada hukum (rechtstaat) bukan negara kekuasaan (machtsaat).

Sederhanakan desain pemakzulan

Dalam kontes ketidaklugasan, rekomendasi-rekomendasi Pansus DPR yang hanya berhenti pada perintah lembaga-lembaga hukum untuk mengusut kasus ini mengajarkan bahwa mekanisme hukum ketatanegaraan kita versi UUD 1945 pascaamendemen sangat sulit dalam memakzulkan presiden dan wakil presiden, di mana model yang diadopsi merupakan kreasi campuran dari berbagai model pemakzulan presiden dalam ketatanegaraan dari berbagai negara. Membuat pemakzulan adalah sesuatu yang nyaris tak mungkin. Karena modelnya yang berbelit dan harus melewati jalur sulit, yakni dari DPR ke MK ke DPR dan ke MPR lagi. Anehnya lagi posisi MK hanyalah pelengkap hukum ketatanegaraan, bukan titik utamanya. Sebab, pada akhirnya yang memakzulkan presiden dan wakil presiden ialah MPR yang lebih didominasi oleh pertimbangan politik ketimbang hukum.

Di titik ini sebenarnya diperlukan desain sistem pemakzulan presiden dan wakil presiden yang lebih sederhana dan menempatkan hukum sebagai alat utamanya dengan mereposisi MK dalam posisi pemutus kesalahan hukum presiden dan wakil presiden, bukan MPR. Cara ini pastilah akan membuat sistem ketatanegaraan kita kian menjadi khas Indonesia, bukan produk impor dari berbagai negara yang terkadang tidak sesuai dengan nafas demokrasi lokal di Indonesia. Seperti dinyatakan oleh Larry Cata Backer, 2007, dalam Harmonization Law in an Era of Globalization, Convergence, Divergence, and Resistence.

Penyelesaian hukum vs politik

Rekomendasi Pansus agar skandal ini diusut secara hukum oleh lembaga hukum melalui presiden ini juga memperlihatkan keinginan untuk menyamakan model penegakan hukum dalam kejahatan biasa dan kejahatan politik. Kejahatan biasa sangat mungkin dapat diusut menggunakan paradigma hukum positif, karena pelakunya orang biasa, pastilah mudah dituntaskan. Sementara kejahatan politik karena melibatkan pelaku berkerah putih (white color crimes) yang cerdas, berakses uang dan kekuasaan, mustahil diusut dengan menggunakan paradigma hukum positif.

Mestinya mengurai benang kejahatan politik juga menggunakan paradigma politik. Dalam sejarah hukum di banyak negara mengusut kejahatan politik tidak menggunakan hukum positif tapi politik. Karena membuktikan kejahatan politik amat sulit, kemudian pilihannya tertuju pada model penyelesaian politik. Lihatlah praktik ketatanegaraan Amerika Serikat dalam mengungkap kejahatan politik yang melibatkan presidennya, mereka memilih pendekatan politik.

Jika saja para politikus kita menyadari bahwa mengusut kejahatan politik sangat sulit, pastilah rekomendasinya dalam skandal Bank Century bukan menyerahkan kepada aparat hukum melainkan diselesaikan dengan model politik yang sederhana dan cepat.

Akhirnya rekomendasi DPR dalam skandal Century ini telah terjadi. Yang tersisa kini ialah memformulasikan secara sistemik model pengawasan DPR terhadap proses penegakan hukum skandal ini oleh aparat hukum. Tanpa formulasi pengawasan yang tepat dan pertanggungjawaban yang kuat, dipastikan skandal Century ini hanya akan bernasib seperti skandal pengucuran dana APBN terhadap BLBI beberapa waktu lalu yang berujung pada ketidakjelasan hingga hari ini.

Oleh Agust Riewanto
Peserta Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta
Opini Media Indonesia 17 Maret 2010