TUGUMUDA sebagai salah satu lambang kota Semarang , merupakan bagian sejarah dari heroisme Pertempuran Lima Hari. Dahulu tugu dan taman itu merupakan taman pasif yang tidak bisa diakses oleh masyarakat.
Keberadaannya sebagai tetenger (landmark) kota hanya bisa dilihat oleh masyarakat yang berkendaraan tanpa bisa berhenti, apalagi memasuki bundaran taman tersebut.
Memotret lingkungan sekitarnya pun sulit karena beberapa gedung masih difungsikan untuk kegiatan militer. Kita harus secara sembunyi-sembunyi bila ingin memotret agar tidak ketahuan penjaga.
Kondisi itu sekarang sudah berubah dan kita bisa memotretnya secara bebas dengan mengambil latar belakang bangunan Lawangsewu, Gedung Pandanaran (bekas kantor BDNI, kini jadi salah satu kantor pemkot), Wisma Perdamaian (rumah dinas gubernur), atau Museum Manggala Bhakti.
Taman Tugumuda yang semula bersifat pasif kini berubah menjadi taman aktif yang dapat diakses masyarakat, termasuk anak-anak atau muda-mudi. Mereka bisa bebas memotret Tugumuda atau objek sekitarnya, berpose sendiri, berdua atau bergerombol bersama teman atau anggota keluarga.
Mereka seolah-olah menemukan ruang publik baru yang nyaman dan menghibur. Hal ini seperti teori Roger Trancik dalam bukunya Finding Lost Space, yakni menemukan fungsi baru tanpa harus melakukan perubahan fisik di lapangan.
Perubahan fungsi tersebut tentunya membutuhkan penambahan elemen aksesori yang dapat memberikan kenyamanan bagi pengunjung, misalnya tempat duduk, tempat sampah, jam , toilet portabel berbentuk estetis dan menyatu dengan penampilan tamannya.
Pada sore hari, tempat ini bisa menjadi area yang nyaman untuk saling berinteraksi, seperti mengobrol dengan teman atau anggota keluarga, sambil menikmati lalu-lalang kendaraan tanpa terganggu oleh arus lalu lintas karena taman itu dikelilingi pagar meskipun rendah.
Pada waktu sore, sewaktu matahari sudah bergeser ke barat, cuaca semakin redup dan semilirnya angin membuat nyaman pengunjung. Semakin malam, tempat ini semakin ramai dikunjungi.
Hanya saja kebutuhan parkir bagi pengunjung yang akan masuk taman Tugumuda, selama ini mengurangi kenyamanan pemakai jalan karena kendaraan yang diparkir itu mengurangi badan jalan, terutama di depan gedung Lawangsewu.
Hal ini sangat terasa, utamanya pada jam orang pulang kantor, sekolah, pulang dari kampus atau gereja mengingat kawasan Tugumuda merupakan titik pertemuan (rendevouz point).
Fasilitas bagi penyeberang jalan berupa zebra cross perlu juga dipikirkan bagi mereka yang akan menyeberang ke taman. Faktor aksesibilitas perlu diperhitungkan bagi setiap orang termasuk mereka yang memiliki kemampuan berbeda (difabel).
Untuk mengatasi masalah ruang parkir, perlu dipikirkan sejak dini, misalnya dengan memanfaatkan halaman kantor atau bangunan di sekitar kawasan itu meskipun lokasinya relatif jauh.
Parkir di tepi jalan atau on street parking memang tidak dilarang, akan tetapi ruang di titik persimpangan jalan perlu ditata rapi dan jangan melebihi kapasitasnya.
Rasa Akrab Keberadaan sejumlah bangunan di sekitarnya memang menyebabkan ruang taman Tugumuda memiliki tingkat keterlingkupan (enclosure) tinggi. Hal tersebut memberikan rasa nyaman dan akrab dengan lingkungan sehingga atmosfernya terasa dekat antara pengunjung satu dan lainnya.
Kesan yang sudah terbentuk dengan baik, seyogianya tetap dijaga agar pengunjung tidak takut dengan kejahatan yang mungkin saja terjadi. Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya menjaga dan merawat keutuhan taman.
Elemen taman kota sering tidak utuh dan rusak karena dibiarkan tidak terawat. Semestinya tanaman yang layu atau tua perlu diganti dengan tanaman baru.
Petugas Dinas Pertamanan sudah seharusnya memberikan perhatian ekstra mengingat startegisnya lokasi taman dan tempat itu landmark kota. Jadi, Tugumuda merupakan elemen kota yang harus dikonservasi, dilindungi dengan baik karena memiliki nilai kesejarahan tinggi.
Penambahan aksesori, termasuk pepohonan, yang bersifat baru seharusnya tetap memperhitungkan keberadaan Tugumuda. Jangan sampai bangunan lama ’’tenggelam’’ oleh kehadiran elemen baru tersebut.
Jadi, jangan sampai menanam pohon yang daunnya bisa menutupi keindahan tugu itu. Tambahan elemen aksesori justru harus mendukung keberadaan tugu itu.
Hal yang perlu diatur lebih baik lagi adalah penataan billboard atau reklame ruang luar di seputar kawasan itu. Pendapatan dari pajak reklame memang diperlukan tapi jangan sampai terjadi kehadiran reklame tersebut merusak estetika kota. (10)
— Prof Ir Edy Darmawan MEng, dosen Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Undip
Wacana Suara Merdeka 17 Maret 2010