14 Desember 2011

» Home » 14 Desember 2011 » Opini » Republika » Melacak Jejak Alien

Melacak Jejak Alien

(Tanggapan untuk 'Keberadaan Alien dalam Alquran')

Arsyad Abrar
Mahasiswa Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah

Ada yang menarik perhatian saya ketika membaca tulisan yang dimuat oleh Republika edisi Sabtu (10/12). Tulisan tersebut dibuat oleh saudara Abdul Kohar Mudzakir. Inti tulisan yang bisa saya tangkap dan menjadi beberapa catatan tersendiri untuk saya adalah sosok penulisnya sangat tertarik pada hal yang berkaitan dengan astronomi meskipun bukan sebagai orang yang ahli dalam hal tersebut.

Agaknya, hal itu jugalah yang memancing penulis untuk memaparkan keberadaan alien dalam Alquran. Sebagai seorang penulis atau orang yang mengamati adalah hal yang sah-sah saja dan sangat wajar bila yang bersangkutan punya anggapan demikian. Kedua adalah dalam pandangan saya, penulisnya juga sangat mempunyai minat dan perhatian yang sama besarnya terhadap Alquran.

Namun, yang menjadi polemik adalah ketika penulis mencoba memaksakan keinginannya (pendapatnya) dan membawa-bawa Alquran sebagai landasan untuk menguatkan pendapatnya. Mungkin sebagian menganggap ini adalah hal sepele yang tidak terlalu penting untuk ditanggapi, namun tidaklah demikian dengan apa yang ada pada tataran disiplin tafsir dan ilmu-ilmunya.

Kaidah penafsiran
Berbicara tentang Alquran, maka pada waktu yang bersamaan kita tidak akan bisa lari dari keterikatan menggunakan kaidah-kaidah penafsiran. Alquran mestilah diperlakukan sesuai dengan apa yang menjadi landasan dan mengandung kebenaran, baik rasional maupun bersifat keimanan. Ketika Alquran itu dipaksakan untuk dijadikan dalil atau mendukung untuk suatu hal yang abstrak yang tidak pernah terbukti wujud kebenarannya, baik bila ditinjau dari timbangan akal maupun kadar keimanan, maka hal tersebut merupakan kekeliruan yang sangat fatal.

Ada ayat-ayat yang secara akal mungkin sulit diterima keberadaannya (dari apa yang ayat tersebut jelaskan atau gambarkan), namun dalam tataran keimanan, ayat-ayat tersebut menjadi sebuah ideologi dan pandangan hidup. Hal seperti ini dijumpai pada ayat-ayat yang bercerita tentang Hari Akhir (baca: akhirat), surga, neraka, dan lain sebagainnya. Secara akal sehat tentu sangat sulit membuktikan keberadaan hal-hal tersebut di atas, namun dengan dogma keyakinan hal tersebut benar-benar menjadi suatu hal yang diimani bahkan menjadi tujuan dari hidup ini.

Inilah kiranya yang telah diingati oleh Nabi Muhammad SAW 15 abad yang lalu bahwa bagi mereka yang ceroboh dan terlalu gegabah dalam melakukan penafsiran terhadap Alquran, maka hukumannya adalah siksa neraka. Kecerobohan itu bisa saja terjadi karena tidak memahami Alquran dan ilmu-ilmu yang berada di sekitarnya.

Kedua, hal itu mungkin terjadi karena semangat yang terlalu tinggi dan sedikit berlebihan untuk mengultuskan Alquran sebagai kitab yang mengandung kebenaran universal mutlak sehingga apa saja yang menjadi fenomena terbaru, selalu Alquran diikutsertakan, dibawa secara paksa tanpa terlebih dahulu melakukan verifikasi yang mendalam dan substantif terhadap Alquran itu sendiri.

Hal ini tentunya tidak menjadikan Alquran sebagai kitab yang mengandung kebenaran lagi, ketika hal yang diyakini ada tidak terbukti, akibat dari pemaksaan Alquran pada fenomena yang berkembang yang kebenarannya sama sekali belum pernah terbukti, kecuali sebatas dunia khayal dan film belaka.

Untuk hal-hal seperti ini adalah sangat menyedihkan sekaligus menjengkelkan bila Alquran dibawa-bawa demi kepentingan semata. Bila dahulu dikenal dengan politisasi ayat, maka untuk saat ini sangat tepat dikatakan akan ada dan mungkin juga berkembang tren teknologisasi ayat, guna mendukung temuan-temuan fiktif yang diwacanakan oleh hasil temuan manusia termasuk di dalamnya alien dan UFO.

Kembali pada hal pembacaan teks (penafsiran), maka Alquran dapat didekati dengan dua jalan yang berbeda, namun saling kait-mengait satu sama lainnya. Hal tersebut adalah pendekatan tekstual dan kontekstual. Meskipun masih banyak di luar sana pendekatan yang juga sama bagusnya dan tentunya juga tidak terlepas dari memiliki kekurangan dan kelebihan di kanan dan kirinya.

Konsep dabbah
Dalam tulisan "Keberadaan Alien dalam Alquran", sama sekali tidak ditemukan pendekatan apa dan mana yang digunakan oleh si penulis dalam memberikan pemahaman terhadap dua ayat yang diyakininya memberikan sinyal tersebut akan keberadaan alien. Penulis hanya mengisyaratkan bahwa alien merupakan jenis dari dabbah.

Secara tekstual, yang dipahami dalam kata dabbah adalah binatang melata, bisa jadi berkaki dan tidak berkaki, artinya berjalan menggunakan otot perut. Sesuai yang dipahami oleh orang Arab pada waktu itu terhadap kata dabbah dan mayoritas ulama sampai saat ini. Selanjutnya, bila digunakan dengan pendekatan kontekstual, maka mengartikan dabbah sebagai alien semakin jauh dari kebenaran.

Mengapa? Karena alien itu sendiri sangat tidak jelas keberadaannya. Dan, ini bertentangan dengan semangat Alquran yang sangat rasional dan tidak bertentangan dengan akal sehat. Meskipun ada beberapa ayat yang akal tidak mampu untuk menjangkaunya, yang dilakukan adalah penakwilan. Bukan dengan mengada-ada dengan mengaitkan fenomena yang sangat antah-berantah tidak perah terbukti kebenarannya sampai saat ini.

Dan, satu hal lagi yang mesti dipahami adalah selain mengusung semangat rasio, Alquran juga adalah kitab atau kalam Tuhan yang selau berdialog dengan realitas zaman-yang ada, terjadi, dan benar hakikatnya-bukan hal-hal yang berbau abstrak apalagi mistis belaka. Makanya, sangatlah tidak tepat ketika alien yang secara realitas itu sangatlah tidak dapat dibuktikan untuk saat ini dan seterusnya digolongkan dalam jenis dabbah.

Bila saja timbul pertanyaan, mungkinkah ada kehidupan lain-selain kehidupan dan peradaban manusia-di alam semesta yang sangat luas ini, jawabnnya mungkin saja itu terjadi, menimbang dari luasnya dan kehendak kekuasaan Allah SWT yang sangat mutlak. Namun, hal demikian jangan pula diartikan sebagai kehidupan alien.

Bagi saya, presepsi alien itu lahir sebagai bentuk kegalauan yang tidak menentu dalam komunitas tertentu. Selain kegalauan, tentunya mereka adalah penganut imajinasi yang tidak tertuntaskan dan sangat berlebihan sehingga menghadirkan wujud yang sebenarnya tidak pernah ada sebagai simbol dari kebabesan dan mimpi-mimpi mereka.

Mengutip Christopher Evans (Cult of Unreason, New York: 1973), Azyumardi Azra (1999) berpendapat bahwa kepercayaan terhadap piring terbang merupakan fenomena cult (sekte) yang sangat gelap yang tidak terkristalisasi dalam kelompok organisasi, tetapi memiliki pengaruh dan dukungan intelektual dan emosi dari berbagai penjuru dunia. Jika sudah demikian, maka apakah pantas dikatakan lagi, bahkan diyakini akan kebenaran adanya alien tersebut.

Ketika kita membenarkan adanya alien, maka pada saat yang sama sungguh kita telah menjadi bagian dari sekte yang rawan dari kebenaran itu, yang sarat dengan dongeng belaka. Kedua ayat yang dijadikan penguat oleh penulis untuk melegalkan keberadaan alien dalam Alquran, yaitu QS As-Syura [42]: 29 dan An-Nahl [16]: 49 adalah sangat tidak tepat ketika dipertemukan dengan konsep tafsir yang telah dijelaskan sebelumnya.

Keberadaan makhluk selain manusia yang memiliki peradaban di dimensi lain adalah mungkin terjadi, namun jangan sampai hal itu menjadikan kita gelap mata dan anarkis terhadap pemberian makna dalam pembacaan Alquran. Dalam Alquran, banyak hal gaib yang belum terjamah oleh akal publik kita sebagai manusia biasa. Akan tetapi, hal itu sama sekali tidak menutup pintu kreasi kita dalam memahami Alquran lebih mendalam. Tentunya, ini sejalan dengan kode etik dan keperluan-keperluan tafsir tanpa mengoyak makna Alquran, apalagi menyeretnya pada kepentingan tertentu.

Opini Republika 14 Desember 2011