20 Februari 2011

» Home » Opini » Republika » Terobosan Pembiayaan Perumahan

Terobosan Pembiayaan Perumahan

Teguh Satria
Ketua Badan Pertimbangan Organisasi REI


Kebutuhan dasar memiliki rumah semakin meningkat setiap tahunnya. Apalagi, untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Sayangnya, kelompok masyarakat ini selalu kesulitan mendapatkan akses pembiayaan perumahan. Pemerintah melalui Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) melakukan terobosan dengan meluncurkan sistem baru pembiayaan perumahan yang disebut bantuan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).

Fasilitas likuiditas ini bertujuan memberikan kesempatan kepada masyarakat yang memenuhi persyaratan kredit rumah yang dibeli dari pengembang-dengan cicilan lebih ringan dari yang berlaku saat ini-dengan bunga tetap selama 10-15 tahun.

Kami menilai program FLPP ini pada dasarnya sangat baik karena ini adalah terobosan yang jenius dari Menteri Negara Perumahan saat ini. Dengan FLPP, semua pihak diuntungkan, baik pemerintah, perbankan, nasabah, maupun pengembang.

Dari sisi pemerintah, adanya FLPP ini berarti ada perubahan mekanisme pemberian subsidi bagi masyarakat menengah ke bawah. Jika dulu subsidi ini bersifat cost (biaya), pemerintah membayar selisih bunga antara yang diberlakukan perbankan kepada yang diberlakukan ke nasabah. Dalam APBN, uang ini 'hilang' karena dianggap sebagai biaya.

Dengan mekanisme saat ini, uang pemerintah tidak hilang karena menjadi dana bergulir. Hal ini mengingat dana yang disediakan merupakan fasilitas likuiditas pembiayaan yang diberikan melalui perbankan untuk disalurkan ke nasabah. Ironisnya lagi, selama ini dana subsidi di sektor perumahan seperti air yang tertelan pasir tandus, hilang lenyap tak berbekas.

Nantinya, pemerintah akan menaruh uangnya ke dalam perbankan sebagai investasi dengan bunga murah. Nasabah akan mencicil dana itu dengan jangka waktu tertentu. Artinya, ada dana yang kembali ke perbankan dan pemerintah.

Dalam kacamata perbankan, adanya dana FLPP ini berarti perbankan tidak perlu menyediakan dana untuk KPR sepenuhnya dari internal mereka. Artinya oleh perbankan, dana KPR bisa dikombinasikan dengan porsi, misalnya 50:50 atau 75:25, antara dana pemerintah dan dana internal.

Dari sisi konsumen, jika dulu mereka mendapat subsidi bunga hanya dalam waktu empat tahun dan setelah tahun kelima harus membayar suku bunga komersial, kondisi ini jelas memberatkan. Sebab, bunga dari perbankan bisa mencapai 13-14 persen.

Lantas, pemerintah memberikan subsidi agar masyarakat bisa menjangkau KPR dengan bunga rendah sekitar tujuh persen. Artinya, pemerintah harus membayar selisih bunga sekitar 6-7 persen. Namun, itu hanya untuk empat tahun, selebihnya harus ditanggung konsumen sendiri. Kondisi ini tak jarang menimbulkan kredit macet karena belum tentu pada tahun berikutnya pendapatan masyarakat mengalami kenaikan.

Dengan FLPP ini, konsumen mendapat alokasi suku bunga tetap dengan jangka waktu lebih lama, yakni 10-15 tahun. Asumsinya, pendapatan konsumen sudah lebih baik. Dan, ini juga membawa manfaat bagi perbankan karena mereka terhindar dari kredit macet.

Dari sisi pengembang, tentu keringanan ini akan meningkatkan kemampuan masyarakat pada permintaan ketersediaan rumah (ready stock). Secara nasional, perkembangan di sektor perumahan ini juga akan mendorong pertumbuhan pada sektor lainnya.

Kesimpulannya, kebijakan FLPP ini merupakan ide yang brilian untuk mendorong industri perumahan yang membawa dampak sangat positif bagi banyak pihak.

Perlu dukungan pajak

Dari berbagai sisi positif kebijakan FLPP yang digulirkan Kementerian Perumahan Rakyat ini, pada tataran pelaksanaannya kurang berjalan optimal. Pasalnya, masih ada kendala, dalam hal ini adalah masalah perpajakan.

Sebagaimana diketahui, untuk KPR hingga Rp 55 juta, konsumen dibebaskan dari pajak pertambahan nilai (PPN) dan pengembang hanya dibebani PPh sebesar satu persen. Namun, dengan adanya kemudahan FLPP ini memungkinkan nasabah mengambil KPR hingga senilai Rp 80 juta. Yang menjadi persoalan adalah ketika masyarakat mengambil KPR dengan nilai lebih dari Rp 55 juta, mereka akan dikenai PPN dan pengembang menanggung PPh sebesar lima persen.

Kami memahami bahwa kebijakan FLPP keluar dari Kemenpera, sementara masalah pajak ada di bawah kewenangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Namun, rakyat melihat bahwa pemerintah adalah satu atap. Dengan kondisi ini, rakyat akan menilai bahwa kebijakan pemerintah setengah hati dan tidak ada koordinasi lintas sektoral.

Alangkah baiknya, jika persoalan pajak ini ditinjau ulang. Perlu 'revolusi' kebijakan agar masyarakat dan pelaku usaha (pengembang) dapat benar-benar merasakan manfaat dari kebijakan pemerintah secara optimal.

Pada program FLPP ini, PT Bank Tabungan Negara (BTN) Tbk mengambil peran yang cukup besar. Selama ini, BTN memang bermain di kredit pemilikan rumah dengan menguasai market share sebanyak 95 persen untuk rumah bersubsidi. Jadi, secara tidak langsung bisa dikatakan bahwa kinerja FLPP ini juga bergantung pada BTN. Bank lain mungkin tidak sesiap BTN. Kalaupun siap, mungkin hanya untuk pasar di wilayah tertentu.

Kami melihat bahwa BTN di bawah manajemen saat ini sangat baik dan profesional, terutama setelah mereka go public karena memang tuntutan pasar seperti itu. Mereka cukup siap dengan berbagai program yang dibuat pemerintah.
Opini Republika 19 Februari 2011