09 Desember 2009

» Home » Pikiran Rakyat » UNCAC Versus Pelemahan KPK

UNCAC Versus Pelemahan KPK

Oleh MELANI
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi PBB Menentang Korupsi yang ditandatangani oleh negara-negara peserta Konferensi Diplomatik Tingkat Tinggi di Merida Mexico, pada 9 s.d. 11 Desember 2003, merupakan paradigma baru pemberantasan korupsi di dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan 9 Desember sebagai Hari Antikorupsi Sedunia.

 

Sejak lahirnya UNCAC, pencegahan dan pemberantasan korupsi merupakan tanggung jawab semua negara di dunia, melalui kerja sama satu dengan lainnya, dengan dorongan dan keterlibatan individu-individu dan kelompok-kelompok di luar sektor publik seperti masyarakat madani, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi-organisasi kemasyarakatan.
Indonesia ikut menandatangani UNCAC, bahkan telah meratifikasinya melalui UU No. 7/2006, 18 April 2006. Dengan demikian secara politis dan yuridis Indonesia telah terikat untuk mengimplementasikan UNCAC dengan penuh rasa tanggung jawab. Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), melalui UU No.30/2002 merupakan kemajuan pesat bangsa kita. Apalagi UU itu lahir sebelum UNCAC, tetapi isinya ternyata sejalan dengan UNCAC.
Pasal 6 UNCAC pada pokoknya menyatakan, setiap negara peserta wajib memastikan keberadaan suatu badan, atau badan-badan khusus, guna mencegah korupsi. Di samping itu, setiap negara peserta wajib memberikan kepada badan atau badan-badan kebebasan yang diperlukan untuk memungkinkan badan atau badan-badan itu melaksanakan fungsinya secara efektif dan bebas dari segala pengaruh.
Pasal 36 UNCAC pada pokoknya menyatakan, setiap negara peserta wajib memastikan keberadaan suatu badan atau badan-badan atau orang-orang yang memiliki kekhususan untuk memerangi korupsi melalui penegakan hukum. Badan-badan atau orang-orang tersebut wajib diberi kebebasan yang diperlukan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar sistem hukum negara peserta, agar dapat melaksanakan fungsi-fungsi mereka secara efektif tanpa pengaruh atau tekanan.
Kedua pasal tersebut menunjukkan secara gamblang, betapa keberadaan, fungsi, tugas, dan wewenang KPK yang tercantum dalam UU KPK yang menjadikan lembaga KPK superbody sudah sejalan dengan UNCAC.
Dalam beberapa bulan terakhir ini eksistensi KPK sepertinya tengah diguncang. Sejak Antasari Azhar dijadikan terdakwa kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, disusul dengan Bibit-Chandra yang dituduh menyalahgunakan wewenang dan pemerasan, meski akhirnya dikeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) oleh kejaksaan, guncangan terhadap KPK belum juga usai, karena kini masih muncul upaya pelemahan KPK lewat Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Penyadapan yang disiapkan oleh Departemen Komunikasi dan Informatika.
Penyadapan adalah program unggulan KPK yang dilindungi oleh Pasal 3 jo Pasal 12 ayat (1) a UU KPK, serta Pasal 6 jo Pasal 36 UNCAC. Banyak sudah kasus korupsi kelas kakap yang menghebohkan, karena ada di antaranya yang melibatkan makelar kasus dan oknum aparat penegak hukum, antara lain kasus Artalyta Suryani dan Jaksa Urip Tri Gunawan, berhasil diungkap melalui penyadapan. Bahkan Bibit-Chandra pun, apabila KPK tidak memiliki bukti hasil sadapan pembicaraan telefon Anggodo dengan oknum aparat penegak hukum, mungkin hingga kini mereka masih meringkuk di sel tahanan.
Apa jadinya nanti bila pembatasan kewenangan KPK khususnya dalam hal penyadapan diberlakukan melalui peraturan pemerintah, yang konon akan menetapkan syarat penyadapan, yaitu terlebih dahulu harus memiliki bukti permulaan yang cukup dan harus meminta izin dari pengadilan. Tugas KPK teramat berat, karena menurut Pasal 11 UU KPK, tugas KPK antara lain memberantas korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Sama saja dengan bohong, bila yang akan disadap adalah aparat pengadilan, sedangkan penyadapannya harus mendapat izin pengadilan.
Demikian pula bila untuk menyadap terlebih dahulu harus memiliki bukti permulaan yang cukup, jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 12 ayat (1) a UU KPK, yang antara lain menyatakan, penyadapan dapat dilakukan dalam proses penyelidikan.
Pembuat UU KPK memang memberikan kewenangan yang besar bagi KPK, dengan dasar pemikiran, perkara yang ditangani KPK adalah kejahatan kerah putih (white collar crime) yang pembuktiannya sangat sulit, jadi bila kewenangan penyadapan baru diberikan sesudah adanya bukti permulaan yang cukup, mungkin KPK tidak akan pernah melakukan penyadapan lagi, karena tanpa penyadapan bukti permulaan yang cukup tersebut justru sangat sulit didapat, yang berarti kasus-kasus korupsi yang selama ini terus menerus menggerogoti negara kita tidak mungkin terungkap dan di mata dunia internasional, negeri ini akan dicap tidak serius menjalankan UNCAC.***

Penulis, advokat dan dosen Fakultas Hukum Unpas Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 9 Desember 2009