09 Desember 2009

» Home » Pikiran Rakyat » Kelalaian yang Mengorbankan Mutu

Kelalaian yang Mengorbankan Mutu

Oleh Dan Satriana
Meskipun tidak sedramatis dan mendapat sorotan sebesar Mahkamah Konstitusi (MK) pada saat mengabulkan permohonan Bibit dan Chandra atas judicial review UU KPK pasal 32 ayat 1 huruf c, tidak lama berselang Mahkamah Agung (MA) juga membuat keputusan penting bagi pendidikan Indonesia. Penantian panjang 58 warga negara yang menggugat pemerintah terkait dengan kebijakan Ujian Nasional (UN) akhirnya dikuatkan oleh MA.

 

Penolakan kasasi tersebut menguatkan keputusan yang membuktikan kelalaian pemerintah dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban UN, khususnya pada hak atas pendidikan dan hak anak. Pemerintah diperintahkan untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, sebelum mengeluarkan kebijakan UN lebih lanjut. Pemerintah juga diperintahkan meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional. Inilah arti penting keputusan MA ini bagi koreksi arah dan sistem pendidikan Indonesia.
Pemerintah rupanya masih ingin mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan berkeras mengadakan UN pada 2010. Akibatnya, seperti melihat adegan ulangan setiap menjelang UN, kontroversi mengenai UN kembali merebak. Pemerintah dan pihak yang mengkritisi UN tetap berpegang pada argumen masing-masing. Kontroversi pun masih seputar isu mengenai ketimpangan pelayanan, hak korban UN yang terabaikan, kecurangan dalam pelaksanaan UN, dan pendekatan dalam menilai kualitas pendidikan.
Depdiknas dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menganggap UN sebagai pilihan terbaik untuk mengontrol kualitas lulusan. Jika kewenangan kelulusan diberikan kepada sekolah, seperti sistem ujian sekolah dan kombinasi ujian negara dan sekolah, konon ada kecenderungan tingkat kelulusan yang tinggi, tetapi dengan kualitas lulusan yang rendah. Sekolah cenderung melakukan mark-up nilai semester para siswa hingga hampir 100 persen siswa akhirnya lulus meski nilai ebtanas mereka rendah.
Pemerintah rupanya meyakini UN telah mendorong mutu pendidikan dan proses pembelajaran. Menyitir beberapa penelitian, pemerintah berpendapat UN telah mendorong siswa belajar lebih giat, mendorong guru mengajar lebih baik, membuat kepala sekolah memperbaiki mutu sekolah, dan orang tua terdorong lebih memperhatikan anak belajar.
Namun, Depdiknas sendiri menyatakan peningkatan presentase kelulusan antara lain disebabkan sosialisasi yang sudah dilakukan jauh di awal sebelum pelaksanaan dan penyebaran kisi-kisi soal ke berbagai sekolah agar para guru bisa mengembangkannya dengan baik sebagai persiapan. Dengan mengutip pengalaman terbaik salah satu sekolah, Pusat Penilaian Pendidikan, Balitbang Depdiknas menyiratkan keberhasilan menyiapkan siswa menghadapi UN dengan membagi panduan materi kepada siswa dengan cara mengkopi masing-masing, menambah jam belajar mulai dari jam untuk persiapan UN dengan membahas panduan materi, serta sembahyang malam dan berdoa bersama.
Jika melihat pernyataan tersebut, jelas telah ada kelemahan logika berpikir Depdiknas dan BSNP terhadap UN. Mutu pendidikan dan UN dipandang sebagai dua hal yang terpisah. Keberhasilan presentase kelulusan UN sebagai hasil kerja mempersiapkan sebuah kondisi artifisial. Tidak banyak sangkut pautnya dengan kualitas pelayanan pendidikan dan proses belajar- mengajar. Padahal sistem pendidikan kita mengenal konsep pencapaian kompetensi minimal yang telah mengikuti suatu proses pembelajaran pada satuan pendidikan tertentu. Artinya, evaluasi dan proses pembelajaran merupakan satu kesatuan.
Untuk menyukseskan UN misalnya, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) lebih banyak berkutat mengotak-atik tingkat kesulitan soal dan standar nilai yang diperkirakan dapat dilalui oleh sebagian besar siswa di desa terpencil sekalipun. Tambal sulam seperti ini juga terlihat dalam kebijakan terhadap siswa yang tidak lulus UN. Mulai dari kebijakan mengikuti ujian jalur pendidikan nonformal sampai dengan kebijakan UN ulangan yang berubah-ubah.
Pemakaian logika yang tidak jernih ini menyebabkan pengambilan keputusan dan pengembangan program juga tidak jernih. UN dipandang sebagai sebuah program singkat yang tidak berkaitan dengan kualitas pelayanan pendidikan. Sebaliknya, hasil dari UN tidak dapat digunakan sebagai pemetaan dan pertimbangan program dan bantuan. Sampai hari ini, tidak jelas program dan bantuan yang secara khusus diberikan kepada daerah dan sekolah yang didasarkan pertimbangan hasil UN. Program dan bantuan pendidikan masih bersifat umum saja dari tahun ke tahun.
Kembali kepada keputusan MA pada awal tulisan ini, jelas-jelas merupakan sebuah pengakuan terhadap kelalaian pemerintah yang telah menimbulkan korban. Gugatan dan keputusan pengadilan tersebut merupakan pengujian terhadap pertanggungjawaban sebuah kebijakan pemerintah. Keputusan MA hendaknya tidak ditempatkan dan ditanggapi pemerintah dalam konteks hukum formal dan kalah menang.
Gunakan momentum ini untuk memulai pengembangan sistem berdasarkan pemetaan dan data yang menggambarkan kondisi kualitas pelayanan pendidikan sebenarnya. Jika harus menyelenggarakan UN 2010, gunakan UN sebagai upaya untuk mendapatkan data sebenarnya dari setiap daerah dan sekolah. Caranya dengan tidak menjadikan UN 2010 sebagai penentu kelulusan yang memicu semua pihak bertindak "seolah-olah" dan menganggap kondisi artifisial sebagai kondisi senyatanya.
Ketika pemerintah mengatakan kualitas sekolah dan guru tidak mempunyai standar dalam meluluskan siswa, sebenarnya pemerintah sudah mengetahui akar masalah kualitas pendidikan. Pemerintah rupanya sudah tahu bahwa upaya peningkatan kualitas dapat dimulai dengan memeratakan kualitas pelayanan pendidikan di sekolah dan kualitas guru sebagai ujung tombak dari proses belajar-mengajar.
Dengan data, pemetaan yang sebenarnya dapat dirumuskan program dan bantuan sesuai dengan perbedaan kualitas layanan pendidikan di setiap daerah dan sekolah. Mari bermimpi, suatu saat nanti kesenjangan kualitas pelayanan di setiap sekolah tidak terlalu timpang. Siswa yang berada di sekolah negeri mana pun memperoleh jaminan mendapat pelayanan yang sesuai dengan standar. Pada saat itu, tidak akan ada lagi perdebatan UN itu perlu diadakan atau tidak diadakan. Semua sekolah dapat mempertanggungjawabkan penilaian dan kelulusan sesuai dengan standar. Kita kembalikan penilaian pada sekolah yang mendampingi proses belajar anak. Kita kembalikan hakikat evaluasi sebagai penilaian sebuah proses pembelajaran.***
Penulis, Ketua Badan Pengurus Yayasan Kalyanamandira dan Koordinator Lembaga Advokasi Pendidikan Kota Bandung. 
Opini Pikiran Rakyat 10 Desember 2009