09 Desember 2009

» Home » Solo Pos » Refleksi Hari HAM Sedunia, 10 Desember Menunggu SBY bentuk pengadilan HAM

Refleksi Hari HAM Sedunia, 10 Desember Menunggu SBY bentuk pengadilan HAM

Hari ini, 10 Desember 2009, genap 61 tahun dunia internasional merayakan hari kelahiran Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang dikumandangkan di Jenewa pada 10 Desember 1948. Momentum histroris ini kemudian disepakati secara internasional sebagai Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia.

Disadari atau tidak, pergulatan perjuangan HAM ternyata telah bergulir sekian puluh tahun lamanya dalam percaturan HAM global. Sayangnya, gema HAM belum menjangkau seluruhnya dalam mewujudkan perdamaian global. Masih begitu banyak ancaman konflik dan kekerasan yang berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM. Selama 61 tahun kita terus dihadapkan pada konflik dan kekerasan yang tidak pernah berkesudahan.


Filosof Karl Marx secara kritis pernah menyatakan bahwa penindasan akan terus menerus terjadi, di manapun dan kapan pun. Penindasan akan terus menghiasi lembar sejarah peradaban. Dalam konteks Indonesia, peringatan Hari HAM Sedunia setiap tahun juga diperingati secara gegap gempita, lewat berbagai kegiatan.
Salah satu isu penting yang diusung pada peringatan HAM yakni tindak lanjut kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998 yang hingga kini masih gelap.
Seperti diketahui, Sidang Paripurna DPR, 28 September 2009, menyetujui rekomendasi panitia khusus peristiwa penghilangan orang secara paksa periode 1997-1998. DPR memutuskan empat rekomendasi. Pertama, merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc. Kedua, merekomendasikan kepada Presiden serta segenap institusi pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang. Ketiga, merekomendasikan kepada pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang.
Keempat, merekomendasikan kepada pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Antipenghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.
Ironisnya, hingga detik ini, belum ada langkah-langkah konkret Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam merespons hasil rekomendasi DPR tersebut. Padahal rekomendasi DPR sudah sangat terang benderang memandatkan kepada Presiden untuk menyikapi peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998.
Namun jika rekomendasi DPR tersebut hanya dipandang sebelah mata maka bukan perasaan lega yang didapat tapi justru semakin melukai hak asasi keluarga korban. Para korban yang selamat dan keluarga yang ditinggalkan tentu saja terus menanti realisasi rekomendasi DPR itu. Oleh karena itu, pada peringatan Hari HAM Sedunia ini, desakan kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres tentang pembentukan pengadilan HAM ad hoc menjadi sangat penting.
Di sinilah titik krusial di mana Presiden dituntut keberaniannya untuk menerbitkan Keppres sekaligus membuktikan komitmen dan janji-janjinya semasa kampanye Pemilu Presiden lalu. Lantas, apa urgensinya Presiden membentuk pengadilan HAM ad hoc kasus penghilangan orang secara paksa?
Pertama, negara cq pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi warganya. Hal ini sesuai dengan amanat rakyat yang tertuang dalam UUD 1945, UU No 39/1999 tentang HAM maupun UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Kedua, pengadilan HAM kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998 ini sebenarnya menjadi titik penting sejarah kemanusiaan di negeri ini. Sebab, pascareformasi, belum ada satu pun kasus pelanggaran HAM berat dibawa ke pengadilan HAM. Yang lebih memprihatinkan, semua kasus yang diduga mengandung anasir pelanggaran HAM berat hingga kini nasibnya bak ditelan bumi seperti kasus Trisakti, Semanggi I dan II, Wamena Wasior, kerusuhan Mei dan sebagainya.
Pengadilan HAM sesungguhnya pengadilan kemanusiaan. Ia bukan sekadar pengadilan yang hanya bicara hukum positif secara absolut namun ada sisi kemanusiaan dan prinsip-prinsip HAM. Artinya, pengungkapan kebenaran dan pemenuhan hak asasi korban menjadi muara penting dari sebuah proses pengadilan HAM.
Komitmen SBY
Untuk menuju ke sana, dibutuhkan komitmen pemimpin yang kuat dalam penegakan HAM. Sebab, komitmen Presiden SBY dalam pembentukan pengadilan HAM ad hoc sesungguhnya dinanti cukup lama oleh para korban dan keluarganya.

Memori kolektif rakyat terhadap janji-janji Presiden SBY saat kampanye Pilpres masih begitu membekas. Tekad dan komitmen SBY untuk menghormati, melindungi dan memenuhi HAM dinyatakan secara tegas dan gamblang dalam sebuah acara debat Capres. Jika terpilih kembali, SBY bertekad dan berkomitmen dalam penegakan hukum sekaligus menghormati HAM.
Bagi Presiden SBY, tidak ada alasan lagi untuk tidak mengeluarkan Keppres tentang pengadilan HAM ad hoc yang menyebutkan tempus dan locus delicti kasus tersebut. Selanjutnya, Presiden SBY perlu memerintahkan Kapolri untuk segera mencari dan menemukan 13 korban itu. Menemukan dan memastikan hilangnya ke-13 korban menjadi prasyarat penting bagi pengadilan HAM.
Di sisi lain, dukungan moral dan politik perlu diberikan kepada Presiden SBY bagi terwujudnya pengadilan HAM ad hoc. Tidak ada kata terlambat untuk bertindak atas nama kemanusiaan dan keadilan. Keberpihakan Presiden SBY kepada korban untuk membentuk Pengadilan HAM akan memutus tali imunitas yang selama ini menjerat bangsa ini dalam melangkah ke masa depan. Dengan demikian, adalah sebuah keniscayaan bagi Presiden SBY menjadikan pengadilan HAM tersebut sebagai pengadilan kemanusiaan dalam mengungkapkan kebenaran yang memberi rasa keadilan bagi korban.
Kita sudah menyaksikan dengan perasaan miris berbagai pelanggaran HAM masa lalu di negeri ini. Setiap peristiwa itu terjadi, selama ini kita hanya bisa melihat dan mendengar para pemimpin pemerintahan berbicara tanpa substansi, saling menuduh dan melempar tanggung jawab. Sulit untuk mengusir kesan, para pemimpin kita lupa bahwa fungsi mereka yang paling fundamental, rasion d’etre setiap negara adalah memberi perlindungan hukum dan HAM pada warga negaranya.
Sekali lagi, pada peringatan hari HAM ini, kita mengingatkan kewajiban Presiden yang telah dimandatkan rakyat melalui DPR atas peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998. Kasus ini perlu dituntaskan sebagai titik awal bangsa ini menatap kepada masa depan yang lebih damai. Apalagi, dari seluruh jenis kejahatan, kejahatan yang terberat adalah penghilangan orang secara paksa (disappearance). Kejahatan ini merupakan proses penghilangan seorang atau sejumlah orang warga negara dalam waktu tertentu, dengan cara ditahan atau diculik dan disiksa sedemikian rupa, sampai dibunuh oleh aparat keamanan negara melalui operasi rahasia. -

Oleh : Ignas Triyono Pegiat HAM di Komnas HAM
Opini Solo Pos 10 Desember 2009