09 Desember 2009

» Home » Kompas » Kudeta? Tidaklah

Kudeta? Tidaklah

”Hari ini aku lihat kembali wajah-wajah halus yang keras... Dan bercita-cita, menggulingkan tiran; Aku mengenali mereka; Yang tanpa tentara; Mau berperang melawan diktator... Dan yang tanpa uang, mau m’berantas korupsi; Kawan-kawan; kuberikan padamu cintaku; Dan maukah kau berjabat tangan... Selalu dalam hidup ini?     (Soe Hok Gie, ”Pesan”, Sinar Harapan, 18 Agustus 1973, dikutip dalam buku Sekali Lagi, kumpulan tulisan tentang Soe Hok Gie, hal 104, Desember 2009).


Pesan Soe Hok Gie 36 tahun lalu itu mungkin masih relevan hingga saat ini. Gie, begitu panggilan akrabnya, adalah aktivis mahasiswa yang tidak silau akan kekuasaan. Gie bukan saja aktivis yang ikut menggulingkan Presiden Soekarno, tetapi sebagai dosen sejarah di Fakultas Sastra UI juga ikut dalam gerakan memperjuangkan amanat penderitaan rakyat saat Presiden Soeharto berkuasa.
Gerakan antikorupsi memang bukan hal baru. Ia sudah menjadi bagian dari gerakan mahasiswa sejak 1960-an. Namun, gerakan moral itu tidak selamanya bertujuan menjatuhkan pemerintahan, melainkan, pada awalnya, adalah gerakan agar pemerintah berjalan di rel yang benar.
Menjelang demo besar-besaran pada 9 Desember 2009 memperingati Hari Antikorupsi, Paduka Yang Mulia Presiden RI Jenderal TNI (Purn) Dr H Susilo Bambang Yudhoyono mensinyalir adanya gerakan yang bukan saja gerakan moral antikorupsi, melainkan sudah disusupi motif-motif politik untuk menggulingkannya. Ada pula gerakan untuk memfitnah keluarganya dan Partai Demokrat terkait dengan aliran dana dari Bank Century seperti yang disiarkan LSM Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera). Kesimpulan ini diungkapkan Yudhoyono setelah mendapatkan data intelijen yang akurat dan berzikir bersama keluarganya.
Presiden SBY adalah Presiden RI yang paling sering mengeluh dan mengadu kepada publik. Gaya komunikasi politik SBY semacam ini bukan baru kali ini saja. Ketika bom meledak di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, pertengahan Juli 2009, SBY mengatakan, ”Saya dijadikan sasaran tembak; ini data intelijen; lihat ini fotonya; ini fakta, bukan gosip.”
Padahal, kemudian terbukti foto itu adalah foto ketika menjelang pemilu presiden 2004 kelompok teroris menjadikan para kandidat presiden dan wakil presiden, bukan hanya SBY, sebagai sasaran tembak. SBY juga pernah mengatakan ada orang yang akan mengirim guna-guna kepadanya. Bahkan, pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, agar rakyat bersimpati kepadanya, SBY sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan sempat berujar, ”Saya disingkirkan dan tidak diajak dalam sidang kabinet.” Padahal, saat itu ia sedang menjalankan tugas negara ke negeri China.
Rencana kudeta?
Terminologi politik penggulingan kekuasaan adalah kudeta. Benarkah demonstrasi 9 Desember 2009 adalah titik awal dari gerakan untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah? Benarkah pemerintahan SBY-Boediono akan berakhir pada 20 Desember 2009 seperti dilansir selama ini?
Pertanyaan ini patut dikemukakan karena dilihat dari kondisi politik, ekonomi, dan keamanan Indonesia saat ini, kecil kemungkinan akan terjadi kudeta. Indonesia tidak dalam situasi seperti pertengahan 1960-an atau Mei 1998. Istilah politiknya, ”Ibu pertiwi tidak sedang hamil tua”. Kalaupun perlu dilakukan ”operasi caesar”, kondisi kesehatan republik yang kita cintai ini tidak mengharuskan kelahiran bayi yang prematur. Lagi pula, siapa yang akan melakukan kudeta?
Di beberapa negara berkembang, kudeta dilakukan oleh kekuatan militer atau gabungan antara kekuatan militer, kekuatan ekonomi, dan kekuatan moral yang dikenal sebagai ”kekuatan rakyat” atau people’s power. Hingga kini tak ada tanda-tanda bahwa Tentara Nasional Indonesia bermain mata dengan mahasiswa atau kelompok aktivis untuk menggulingkan Presiden SBY.
Dari sisi parlemen pun DPR saat ini mayoritas dikuasai partai-partai politik yang mendukung SBY. Secara konstitusional pun sulit untuk melakukan pemakzulan terhadap Presiden SBY, kecuali jika terbukti ada tindakan presiden yang melanggar konstitusi negara, termasuk, tetapi tidak terbatas pada, persoalan korupsi. Kalau tindakan penggulingan kekuasaan dilakukan sebagai akibat dari kasus Bank Century, kita tahu bahwa semua itu bergantung pada proses hukum di pengadilan dan proses politik di DPR terkait dengan hak angket DPR. Kita tahu bahwa pansus hak angket diketuai oleh Idrus Marham, anggota DPR dari Partai Golkar dan orang dekat SBY.
Bayang-bayang ketakutan Presiden SBY akan adanya penggulingan terhadap dirinya tampaknya terlalu berlebihan. Jika diri dan keluarganya serta Partai Demokrat tidak menerima satu rupiah pun aliran dana dari Bank Century, mengapa ia harus takut kepada proses hukum dan politik itu. Segalanya harus dilihat sebagai hal yang wajar dalam politik. Jangan-jangan dugaan kriminal dan korupsi itu benar adanya sehingga SBY pasang kuda-kuda dan menggunakan senjata pamungkasnya, ”mengadu kepada rakyat”.
Pernyataan SBY akan adanya rencana penggulingan dirinya dapat berarti: pertama, SBY tidak percaya bahwa kita sudah memasuki era konsolidasi demokrasi yang tidak memungkinkan penggulingan kekuasaan secara tidak konstitusional. Kedua, ini bahasa politik ”Orde Baru” agar rakyat takut dan hanya tinggal di rumah sehingga sedikit sekali yang ikut demonstrasi antikorupsi pada 9 Desember 2009. Ketiga, SBY tidak menunjukkan seorang pemimpin yang tegar dan berani menghadapi proses hukum dan politik terkait dengan kasus Bank Century secara wajar.
Seorang pemimpin bangsa sepatutnya memberikan rasa aman kepada rakyatnya dan bukan membuat rakyat gundah dan ketakutan! Pantaskah jika untuk menghadapi demonstrasi damai 9 Desember 2009 pasukan marinir siaga 1 dan digelar di sekitar gedung KPK, Bundaran Hotel Indonesia, Monas, dan Istana? Jika satu peluru saja menembus tubuh salah seorang peserta demo, situasi akan chaos dan gerakan moral itu akan menjadi gerakan politik yang tak terbendung lagi!

Ikrar Nusa Bhakti Guru Besar Ilmu Politik LIPI
Opini Kompas 10 Desember 2009