09 Desember 2009

» Home » Tempo Interaktif » Gotong-Royong Memerangi Korupsi

Gotong-Royong Memerangi Korupsi

TEMPO Interaktif,  Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia tahun ini membawa nuansa tersendiri. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencurigai adanya "motif politik" di balik rencana unjuk rasa oleh gerakan antikorupsi. Meski Presiden akan menghargai aspirasi itu jika dilakukan dengan beretika, tata krama, dan tidak mengganggu stabilitas, kecurigaan itu berlebihan, kalau tidak dikatakan terlalu paranoid. Aksi unjuk rasa justru membentengi dan mendorong Presiden agar lebih serius memerangi korupsi.

Mungkin Presiden terobsesi pada penanganan kasus Bibit Samad Rianto-Chandra M. Hamzah dan skandal Bank Century akan menjadi bola liar sebagai gerakan politik untuk pemakzulan (impeachment). Kasus Bibit-Chandra memang sudah diselesaikan dengan keluarnya surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) oleh kejaksaan. Tapi persoalan belum betul-betul berakhir karena ada sekelompok advokat yang mengajukan praperadilan. Malah kasus itu masih bisa dibuka atau diproses kembali jika ternyata ditemukan bukti tambahan atau bukti baru.

Sementara itu, skandal Century juga terus disoroti publik, meski Dewan Perwakilan Rakyat telah membentuk panitia angket. Aksi unjuk rasa menyambut hari antikorupsi karena hukum di negeri ini dibuat layaknya orang tua yang telah uzur. Pemberantasan korupsi benar-benar hanya mampu menggapai-gapai tanpa bisa meraih obyek yang diarah. Pencuri tiga biji kakao dan semangka bisa dengan mudah dijatuhi penjara, sementara banyak koruptor bebas berkeliaran tanpa tersentuh hukum.

Berbagai cara pemberantasan korupsi telah dilakukan, tapi hasilnya belum berbanding lurus dengan intensitas korupsi. Korupsi malah semakin berkembang pesat. Sementara dulu korupsi lebih banyak terjadi di Jakarta dan sifatnya individual, sekarang sudah merambah sampai ke daerah dan dilakukan secara berjemaah.

Mengeroyok Century
Lambatnya penanganan kasus Century memicu sensitivitas publik agar ramai-ramai "mengeroyoknya". Keroyokan dilakukan oleh, pertama, DPR dengan membentuk Panitia Khusus Hak Angket untuk menyelidiki kebijakan pemerintah atas pemberian dana talangan kepada Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun. Sayang, komposisi anggota Pansus tidak sesuai dengan harapan publik. Pimpinan dan mayoritas anggota Pansus berasal dari partai berkuasa yang notabene akan diselidiki, sehingga publik khawatir penyelidikan tidak mencapai sasaran yang diharapkan.

Kedua, kepolisian telah memproses Robert Tantular dan memvonisnya dengan hukuman penjara 4 tahun dan denda Rp 50 miliar berkaitan dengan tindak pidana perbankan, termasuk beberapa petinggi manajemen Bank Century. Ketiga, Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan penyelidikan. Apresiasi positif patut diberikan kepada KPK karena data lembaga swadaya masyarakat Bendera akan dijadikan salah satu bahan penyelidikan. Ini merupakan langkah progresif untuk menelusuri siapa-siapa saja yang turut menikmati uang rakyat tanpa hak itu. Jangan hanya pelaku lapangan yang digaruk, tapi juga aktor intelektualnya.

Keempat, media massa (pers) yang terus memberitakan proses penanganan skandal Century sebagai wujud kontrol sosial. Pers sebagai tiang keempat demokrasi sangat memegang peran penting. Sebab, selain tidak terkooptasi dengan kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif, pers menjadi mata dan telinga rakyat untuk melihat secara jelas sejauh mana proses hukum skandal Century. Kelima, rakyat bersama organisasi antikorupsi akan terus mengawal pelaksanaan angket DPR dan penyidikan KPK sampai pemeriksaan di pengadilan. Lima komponen inilah yang tengah mengeroyok skandal Century, yang diduga sarat penyelewengan, termasuk Badan Pemeriksa Keuangan serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

Pemakzulan?
Kebijakan pengucuran bantuan dilakukan saat periode pertama pemerintahan SBY, yaitu saat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengucurkan penyertaan modal sementara sebesar Rp 6,7 triliun. Bantuan itu diduga tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Kebijakan inilah yang akan diselidiki DPR, apakah fakta-fakta yang ditemukan mengindikasikan pelanggaran hukum yang bisa berujung pada pemakzulan.
Yang paling mungkin terkena imbas pemakzulan adalah Boediono, yang saat ini menjabat wakil presiden. Selain Boediono, yang saat itu menjabat Gubernur Bank Indonesia, ada Menteri Keuangan Sri Mulyani yang dianggap paling bertanggung jawab atas pengucuran dana ke Bank Century.

Jika Panitia Angket menemukan fakta bahwa telah terjadi pelanggaran berupa korupsi atau penyuapan, pemakzulan bisa saja terjadi. Kesimpulan temuan Panitia Angket dibawa ke paripurna DPR untuk menentukan apakah DPR akan "berpendapat" bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa korupsi atau menerima suap (Pasal 7-A Undang-Undang Dasar 1945).

Tata cara pengusulan DPR, menurut Pasal 7-B UUD 1945, dimulai dari proses politik, lalu proses hukum, kemudian proses politik lagi di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Artinya, proses politik dan proses hukum dilakukan sekaligus. DPR meminta Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan korupsi atau menerima suap.

Proses di Mahkamah Konstitusi tentu saja proses hukum atau "forum previlegiatum", yaitu pengadilan tingkat pertama dan terakhir bagi pejabat tinggi negara. Yang dicari adalah "kebenaran materiil", bukan besar-kecilnya dukungan seperti pada proses politik. Permintaan DPR kepada MK dapat dilakukan bila didukung oleh sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota DPR yang dihadiri oleh minimal dua pertiga dari jumlah anggota DPR.

Pelibatan proses hukum agar pemakzulan tidak sewenang-wenang, tapi dilakukan secara obyektif dan transparan. Timbul pertanyaan, apakah Boediono, yang saat mengeluarkan kebijakan belum berposisi sebagai wakil presiden, dapat dibawa ke sidang forum previlegiatum? Karena kasusnya baru terungkap dan diproses saat ia menjabat wakil presiden, forum previlegiatum menjadi solusinya. Setelah itu tidak ada lagi proses hukum, baik oleh KPK, kepolisian, maupun kejaksaan.

Pemakzulan di MPR diambil dalam rapat paripurna, dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota MPR, dan pemberhentian disetujui minimal dua pertiga dari jumlah anggota MPR yang hadir. Namun, melihat fenomena yang berkembang, bisa jadi pemakzulan hanya sampai pada Wakil Presiden, sementara Presiden bisa aman jika ternyata Panitia Angket tidak menemukan keterlibatan Presiden.

Semua komponen bangsa harus bergotong-royong memerangi praktek korupsi. Sebab, yang dihadapi adalah orang-orang kuat yang memiliki power, uang, dan pengikut. Kata-kata bijak dari Lord Acton tentang "power tends to corrupt" perlu diapresiasi. Presiden SBY, yang dipilih langsung oleh rakyat dan memiliki legitimasi kuat, tidak boleh lagi ragu mengambil langkah berani dan progresif. Bila perlu, meniru keberanian pemerintah dan aparat hukum di Cina: para koruptor dihukum dengan tembak mati di tempat terbuka. Gebrakan hukum ini membuat dunia salut dan menyebabkan rasa enggan korupsi di Negeri Tirai Bambu itu.

Marwan Mas, Dosen Fakultas Hukum Universitas 45, Makassar
Kolom Tempo Interaktif 9 Desember 2009