09 Desember 2009

» Home » Kompas » Deliberasi Hukum di Ruang Publik

Deliberasi Hukum di Ruang Publik

Hukum pada mulanya bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dan mencegah kezaliman suatu bangsa atas bangsa lain, demikian semangat yang pernah terkandung dalam semangat pembentukan Undang-Undang Dasar 1945 oleh founding fathers, 64 tahun lalu.
Konstitusi revolusi itu pada awalnya penuh semangat untuk meletakkan dasar-dasar kepemerintahan yang efektif untuk melindungi hak asasi manusia dan menolak penindasan atas manusia yang telah dipraktikkan oleh penguasa kolonial.


Hukum pascakolonial ternyata tidak segera mampu menyajikan keadilan sosial kepada rakyatnya karena hukum tak lebih hanya menduplikasi praktik-praktik kolonial dan tidak mampu menjadi katalis bagi terwujudnya keadilan dan transformasi sosial. Di negeri ini, tidak ada satu pun langkah perubahan sosial yang berangkat dari lembaga peradilan. Hukum yang seharusnya mampu menawarkan keadilan bagi setiap insan pencari keadilan (justiciabelen) kerap kali hanya mengadili sengketa individual atau komunal dari pendekatan legalistik-positivistik.
Akhirnya, institusi peradilan telah berkembang menjauhi akar sosialnya di masyarakat dan justru menjadi entitas yang produk-produk putusannya sulit dipahami oleh nalar publik dan rasa keadilan masyarakat, sesuatu yang sebenarnya justru diamanatkan sejak dari UUD 1945 sampai pada Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Wajah bopeng
Berkaca pada kasus-kasus yang ditangani oleh institusi-institusi penegak hukum yang kemudian ditarik masuk ke ranah publik, menjadi semakin kentara bopengnya wajah institusi hukum di negeri ini. Kasus ”cicak-buaya”, Prita, Minah, dan sejenisnya sebenarnya merupakan kasus-kasus hukum yang ditarik ke arena publik yang kemudian membawanya dalam diskursus publik untuk menentukan yang adil dan yang bukan, yang etis dan non-etis, moral dan amoral.
Dalam kacamata Habermas, diskursus publik untuk mengonstruksi hukum yang deliberatif atau hukum yang mampu mewujudkan nilai keadilan melalui konsensus publik telah mendorong proses pertukaran antara sistem dan solidaritas (lebenswelt). Deliberasi berasal dari kata Latin deliberatio, yang kemudian dalam bahasa Inggris menjadi deliberation, yang artinya konsultasi, menimbang-nimbang, atau sering disebut juga musyawarah. Hukum deliberatif adalah hukum yang dihasilkan melalui proses diskursus, opini, dan kedaulatan rakyat. Hukum yang dideliberasikan akan melahirkan hukum yang dalam bahasa Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mampu menyesuaikan dengan rasa keadilan masyarakat sebagai prasyarat untuk mewujudkan keadilan sosial (social justice).
Melaluinya, hukum dapat mewujudkan stabilisasi ekspektasi perilaku yang menjamin relasi-relasi simetris para subyeknya. Deliberasi hukum melalui diskursus di ruang publik merupakan sebuah perlawanan masyarakat agar hukum tidak diinstrumentasikan sebagai alat kekuasaan untuk mengkriminalisasi seseorang atas sesuatu hal yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Hal itu akan menjadikan hukum mampu menjalankan fungsi integrasi sosial. Bagi masyarakat modern yang cenderung semakin kompleks, hukum berfungsi sebagai the last safety belt yang mengikat masyarakat jika tidak ditemukan solusi moral yang efektif untuk menjaga integrasi sosial. Hal itu hanya dapat terjadi jika hukum tidak kehilangan kodratnya sebagai institusi yang seharusnya mampu berfungsi untuk menyuarakan keadilan.
Dalam beberapa kasus yang pernah terjadi, deliberasi hukum telah menjaga agar hukum tidak diinstrumentasikan sebagai alat kekuasaan politik atau menjadi kuda tunggangan aktor-aktor penegak hukum. Meskipun paham negara hukum telah mengonstruksikan prosedur penegakan hukum melalui model institusionalisasi hukum, ternyata para aktor yang diharapkan mampu merealisasi keadilan melalui institusi penegak hukum tersubordinasi oleh kekuasaan ekstra dan suprayuridis.
Dalam kondisi tersebut, deliberasi hukum di ruang publik sebenarnya merupakan pilihan tak terelakkan, tetapi juga tak lepas dari dilema antara pilihan intervensi atau non-intervensi terhadap hukum. Perlu pula dijaga agar proses deliberasi hukum tidak justru menyubordinasi hukum terhadap bahaya anarkisme ruang publik, yang tak jarang melihat benar atau salahnya sesuatu dari kacamata mayoritas-minoritas.

W RIAWAN TJANDRA Dosen pada Fakultas Hukum dan Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta; Direktur Lembaga Kajian Pemerintahan Lokal
Opini  Kompas 10 Desember 2009