09 Desember 2009

» Home » Kompas » Empati yang Membebaskan

Empati yang Membebaskan

Keadilan sesungguhnya adalah satu di antara sekian banyak atribut Tuhan yang sangat indah. Manusialah, karena keluhuran akal budinya, yang diberi amanat menjaganya dalam setiap gerak kehidupan.
Berlaku adil dan diperlakukan adil adalah formula normatif terbaik dalam kehidupan. Tidak sederhana memang karena keadilan tidak selamanya bersifat obyektif. Kadang keadilan adalah realitas yang dipersepsikan sehingga sifatnya menjadi sangat subyektif.


Adalah hak publik pula untuk memiliki persepsi tersendiri tentang apa itu keadilan. Dengan logikanya yang sederhana, masyarakat kadang bahkan lebih permana (cermat) dalam menakar keadilan ketimbang para penegak hukum yang berkiblat dengan logika-logika njelimet.
Apabila kita mengamini pandangan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, keadilan sejati tersebut tentu saja senada dengan apa yang disuarakan rakyat.
Realitasnya, sekian lama kita berkutat dalam lembaga bernama negara, keadilan itu rasanya menjadi semakin sulit kita temui. Semakin banyak orang menangis, histeris, karena merasa ditidakadili. Keadilan justru dikorupsi oleh aparat yang diamanati rakyat untuk menegakkannya.
Belum lagi drama cicak-buaya pupus dari ruang batin kita, kisah Minah dengan tiga biji kakao ”temuannya” belum juga bisa dilupakan, kisah pilu peradilan kita tertoreh kembali.
Kali ini Prita Mulyasari, yang tertebas ”pedang keadilan”. Prita kalah dalam gugatan perdata di Pengadilan Tinggi Banten yang mengganjarnya denda Rp 204 juta karena dianggap mencemarkan nama baik dan dokter sebuah rumah sakit ternama di Serpong. Meski proses hukum belum berakhir, rasa keadilan publik telanjur terusik.
Ada getar rasa yang tidak terkata ketika penulis membaca cerita ”Keadilan Direcehkan, Koin Dikumpulkan” (Kompas, 8/12/2009). Rasa senada juga pernah hadir ketika dukungan atas Bibit-Candra meluas di jejaring sosial dunia maya.
Psikologi empati
Dalam ranah psikologi, fenomena dukungan yang meluas di tengah masyarakat kepada pihak yang dipersepsikan sedang ditidakadili (dizalimi), seperti dalam kasus KPK dan Prita, adalah manifestasi rasa empati yang dimiliki publik.
Diksi empati berakar dari kata Yunani, empatheia, yang berarti ”ikut merasakan”. Awalnya, digunakan para teoretikus estetika untuk kemampuan memahami pengalaman subyektif orang lain.
Empati melibatkan apa yang disebut sebagai pengambilan perspektif, yaitu sebuah kemampuan untuk mengambil alih secara spontan sudut pandang orang lain. Dalam konteks ini, individu mengubah pola diri secara imajinatif ke dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dari obyek empati.
Empati sesungguhnya adalah anugerah yang khas dimiliki manusia sebagai bagian dari rasa kamanungasan (sense of humaness). Tanpa empati yang tumbuh dan berakar kuat dalam diri, sesungguhnya kita telah terjerembab pada apa yang disebut Nick Haslam (2006) sebagai gejala dehumanisasi mekanistik.
Hati publik yang terketuk dalam kasus Prita adalah tanda hati yang masih memiliki empati. Secara imajinatif, publik memosisikan dirinya pada perasaan, pikiran, dan penderitaan seorang ibu rumah tangga, yang atas nama hukum dipaksa negara membayar ratusan juta, justru ketika ia menuntut haknya.
Empati itu lantas mengalirkan dukungan yang tidak sebatas pada pernyataan belaka, tetapi diikuti perilaku prososial berupa pengumpulan uang receh yang secara spontan dilakukan di beberapa kota di Indonesia.
Meliberasi diri
Secara harfiah, pengumpulan receh memang dimaksudkan untuk membebaskan Prita dari hukuman dan beban finansial akibat tingginya denda yang harus dibayarkan. Namun secara implisit, gerakan ini sesungguhnya sarat makna.
Ruh zaman (zeitgeist) yang harus dihadapi dalam konteks kekinian memang membenturkan kita dengan realitas sulitnya mencari keadilan. Hukum yang dikonstruksi di negeri ini enggan berpihak kepada rakyat kecil. Sebaliknya, secara telanjang hukum justru menunjukkan keberpihakannya kepada golongan tertentu.
Namun apa daya, publik tak kuasa menghadapinya. Masyarakat dihinggapi perasaan tak berdaya (powerless), pesimis, dan frustrasi menghadapi mandulnya hukum dalam mencipta keadilan. Hari ini Prita, esok, atas nama hukum, mungkin kita yang akan ”dipritakan”.
Koin receh adalah bentuk perlawanan dengan satire di tengah ketidakberdayaan, sekaligus adalah kanal nonagresi untuk meliberasi diri dari semua emosi, kejengkelan, dan ketegangan psikologis akibat keadilan yang tak tertegakkan. Sementara uang receh sengaja dipilih untuk menggambarkan begitu mudah dan murahnya keadilan itu dibeli.
Sebagai catatan penutup, semoga aparat penegak hukum memiliki nurani yang cukup untuk merasakan sentilan mesra penuh cinta dari rakyat yang menjelang putus asa mendamba keadilan. Jangan biarkan ia berubah menjadi amarah yang membara.
Sungguh, publik menantikan saatnya negara bisa berempati dan menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat, menyemai keadilan di seluruh penjuru negeri.
Achmad M Akung Mahasiswa Pascasarjana Psikologi UGM; Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, Semarang
Opini Kompas 10 Desember 2009