09 Desember 2009

» Home » Pikiran Rakyat » Menggagas Alternatif UN

Menggagas Alternatif UN

Masyarakat Indonesia termasuk pengamat pendidikan sepertinya sepakat dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) tentang penundaan penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) hingga sejumlah aspek (kualitas guru, sarana prasarana, dan akses informasi) terpenuhi secara merata di Indonesia.
Sejumlah alternatif ujian pun mereka tawarkan, sebagai wujud keinginan yang kuat untuk bersama-sama memperbaiki sistem pendidikan nasional. Meski pemerintah hingga saat ini masih bersikukuh mempertahankan UN, masyarakat berharap pemerintah mau duduk bersama untuk meninjau kembali UN dan mempertimbangkan alternatif yang diajukan.

 

Karena pada intinya, sampai sekarang bangsa ini sedang mencari sistem evaluasi yang mampu meningkatkan dan memetakan mutu pendidikan nasional, tetapi tetap sejalan dengan filosofi pendidikan.
Membicarakan mutu pendidikan, menurut Guru Besar Pendidikan Sejarah dan Kurikulum Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan, indikatornya memang bisa dilihat dari angka partisipasi kasar dan hasil belajar. Namun, bukan hasil belajar dari mata pelajaran tertentu yang bisa dijadikan sebagai parameter kualitas pendidikan seperti yang terjadi dalam UN.
Alasannya sederhana, validitas pemetaan mutu masih harus dipertanyakan jika UN yang dijadikan sebagai patokan oleh pemerintah sebenarnya baru mencakup sebagian kecil dari indikator yang ada. Harus dipahami, hasil belajar yang dimaksud seharusnya adalah hasil belajar yang bersifat menyeluruh baik mata pelajaran maupun kompetensinya.
Hamid yang juga saksi ahli dalam perkara UN menyebutkan kompetensi sosial, belajar, keingintahuan, minat baca, dan kepedulian masyarakat merupakan bagian dari hasil belajar (afeksi dan psikomotorik) yang selama ini terabaikan oleh UN yang lebih menonjolkan unsur kognitif. Namun, dari aspek kognitif pun, bisa dibilang UN baru mencakup dimensi kognitif yang dangkal.
Secara lengkap, penguasaan kognitif meliputi ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Sementara UN, menurut Ketua Umum Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia tersebut, baru mencakup mengingat, memahami, dan sedikit aplikasi. Soal-soalnya pun belum mencakup hal-hal fundamental.
Tidak Sejalan
Secara normatif, Guru Besar Emeritus Kurikulum dan Filsafat Pendidikan Universitas Negeri Jakarta Soedijarto mengatakan, UN tidak sejalan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20/2003. Kentalnya unsur hafalan, menurut dia, bertentangan dengan fungsi pendidikan nasional.
Seperti yang disebutkan dalam UU tersebut (Pasal 3) dan sejalan dengan filosofi pendidikan, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, pengembangan kemampuan/potensi dan pembentukan watak adalah prioritas.
Ia berpendapat, penekanan kepada hafalan menyebabkan laboratorium penelitian hingga buku novel tidak menjadi rujukan yang setara dengan buku teks pelajaran. Dua negara pemborong nobel ilmu pengetahuan dan teknologi, Jerman dan Amerika Serikat, mendorong siswanya sejak kecil menikmati penemuan-penemuan baru. Untuk pelajaran fisika kelas I SMP misalnya, para siswa hanya belajar tentang cahaya.
Menurut dia, penyelenggaraan UN pun, sama artinya dengan menafikan sistem evaluasi yang diamanatkan UU tersebut. Secara jelas disebutkan (Pasal 58), bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik seharusnya dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
Alternatif
Mengingat dasar-dasar evaluasi mutu pendidikan tadi, menurut Hamid, evaluasi hasil belajar sebaiknya dilakukan pada pertengahan masa pendidikan oleh guru untuk setiap mata pelajaran, begitu juga dengan penentuan kelulusan. Dia mencontohkan, evaluasi untuk sekolah dasar (SD) dilakukan pada kelas III dan V, serta SMP/SMA kelas VI dan VII.
Pertama, dilakukan pada masa tersebut karena untuk memperbaiki celah-celah kompetensi yang belum dikuasai siswa sehingga guru dapat mengevaluasi cara mendidiknya sampai siswa mencapai kompetensi yang digariskan untuk kelulusan.
Kedua, melalui kelulusan dengan cara ini, guru akan lebih bertanggung jawab dalam pembentukan karakter dan intelektual siswa karena ketika siswa belum juga layak lulus, itu adalah tanggung jawab sepenuhnya pendidik.
Dengan demikian, Hamid berpendapat, kita akan mendapatkan gambaran yang jauh lebih lengkap tentang kualitas pendidikan kita dengan kondisi siswa normal dalam arti jujur dan tanpa tekanan. Yang harus diperhatikan dalam kondisi saat ini adalah perlunya dibangun sistem evaluasi secara komprehensif hingga level sekolah dengan pelibatan sejumlah lembaga seperti lembaga penjamin mutu atau perguruan tinggi. Karena diakui atau tidak, UN telah membentuk karakter guru yang cenderung meluluskan siswanya meskipun hasil belajarnya belum bisa dipertanggungjawabkan.
Alternatif evaluasi tersebut disepakati oleh Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman. Langkah itu ia nilai sebagai evaluasi jangka panjang agar pemerintah pun bisa memperbaiki pelayanan pendidikan.
Koordinator Education Forum itu menerangkan, untuk kelulusan sebagai evaluasi jangka pendek, sistem seperti Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) atau Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) merupakan langkah konkret dan adil. Itu karena penilaian selama proses (termasuk pekerjaan rumah dan interaksi siswa), pendidikan moral dan akhlak mulia, ujian sekolah, dan nilai UN, terintegrasi. Sementara selama ini, empat poin itu memang ada, tetapi berdiri sendiri-sendiri dan saling memveto. Itu artinya sama dengan memisah-misahkan potensi anak. Ketika nilai UN tidak memenuhi standar kelulusan, artinya anak tidak lulus.
Dengan mekanisme UASBN, Suparman melanjutkan, kelulusan ditentukan oleh dewan guru yang menurut dia prosesnya justru lebih alot. Karena tetap nantinya siswa harus bisa bersaing mempertanggungjawabkan kemampuannya setelah lulus. Sementara dengan Ebtanas, nilai Ebtanas murni digabungkan dengan nilai semester pertama dan kedua sebagai nilai akhir. Jika nilai rata-rata lebih dari enam, siswa lulus. Jika kemudian dikhawatirkan nilai semester satu dan dua dinilai sebagai pendongkrak, di situlah tugas pemerintah mengawasi prosesnya. Dengan mekanisme ini, pemerintah pun tetap bisa memetakan mutu pendidikan dari nilai ujian murni.
Dengan demikian, Suparman menekankan pentingnya pelimpahan otonomi kepada guru. Dengan otonomi yang dimiliki, para guru akan terdorong untuk tidak sembarangan mendidik dan mempertimbangkan kelulusan siswa. Yang terpenting bagi pemerintah adalah melakukan pengawasan dan memberikan pelatihan agar guru dapat mengevaluasi secara cermat.
Penggabungan nilai ujian akhir dengan penilaian harian siswa, menurut Soedijarto merupakan pola penilaian yang telah lama diterapkan di negara maju seperti Jerman, Amerika Serikat, dan Jepang. Siswa dengan nilai ujian akhir tinggi, tidak serta merta menjadikan nilai di rapornya sama tinggi.
Hal itu, kata Ketua Dewan Pembina Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia itu, salah satunya dipengaruhi oleh penilaian guru tentang keaktifan siswa saat berdiskusi. Hal demikian penting untuk membentuk karakter siswa . Yang pasti, di negara mana pun yang melaksanakan UN, itu bukan sebagai syarat kelulusan yang diperlakukan eksklusif tanpa memperhitungkan hasil belajar siswa lainnya selama bersekolah. (Amaliya/"PR")***

Opini Pikiran Rakyat 10 Desember 2009