28 September 2010

» Home » Media Indonesia » Menggenjot Belanja Modal Pemerintah Pusat

Menggenjot Belanja Modal Pemerintah Pusat

SOAL daya pemerintah pusat dalam menyerap anggaran hingga saat ini masih menjadi polemik. Maklum, ditengarai, belanja modal pemerintah pusat terseok-seok selama tiga tahun terakhir. Mengacu kepada RAPBN 2011, diduga pertumbuhannya selama periode 2008/2009, 2009/2010, dan 2010/2011 hanya 15,3%. 


Angka itu jauh di bawah jika dibandingkan dengan belanja barang yang kenaikan rata-rata dalam periode yang sama sebesar 24%. Padahal, belanja modal (investasi) mempunyai efek yang lebih besar untuk pembangunan. 

Dalam data pokok APBN 2005 sampai 2011 Kementerian Keuangan terungkap, sejak 2009, komposisi belanja modal mulai lebih kecil ketimbang belanja barang. Pada 2009, kontribusinya hanya 8,09% terhadap total belanja negara sebesar Rp937,382 triliun atau sekitar Rp75,87 triliun. 

Sementara itu, belanja barang memberikan sumbangan 8,6% dari belanja negara atau sekitar Rp 80,66 triliun. Untuk belanja pegawai, bahkan kontribusinya mencapai 13%. Pada 2010, meski mengalami peningkatan, komposisi belanja modal tetap lebih kecil jika dibandingkan dengan barang dan pegawai. 

Tahun 2010 ini, belanja modal hanya 8,43%, sedangkan belanja barang 9,9% dan pegawai 14,4%. Kondisi serupa sepertinya juga akan terjadi pada tahun depan. Pada 2011, dengan usulan yang diajukan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), belanja modal memberikan kontribusi 10,1%. Jumlah ini lebih kecil daripada belanja barang 10,9% dan pegawai 15% dari total belanja negara. 
Padahal, diakui banyak pihak, belanja modal harus didorong sebesar mungkin karena efek percepatannya untuk pertumbuhan jauh lebih besar jika dikomparasikan dengan belanja barang atau pegawai. 

Memperlebar defisit 

Menjadi masuk akal apabila muncul gagasan cemerlang supaya belanja modal pada tahun depan bisa ditambah Rp42 triliun. Dengan penambahan itu, akan ada peningkatan dari Rp121,658 triliun menjadi Rp163 triliun. Jumlah ini telah lebih besar dari belanja modal Rp131,533 triliun walau masih kecil daripada belanja pegawai Rp180,624 triliun. 

Sebagai perumpamaan, jika anggaran Rp42 triliun itu dialokasikan untuk membangun jalan, dengan asumsi biaya 1 kilometer adalah Rp1 miliar, bisa dibangun jalan sepanjang 42 kilometer yang menghubungkan antardaerah. 

Untuk dicatat, kemajuan ekonomi India didorong pembangunan jalur transportasi yang menghubungkan kota-kota besar dengan kota-kota kecil di pelosok daerah. Dengan infrastruktur jalan yang baik, transportasi orang dan barang menjadi efisien. Alhasil, daya saing komoditas buatan India pun kompetitif di pasar internasional. 

Pendekatan yang dilakukan India sebenarnya simpel dan mudah diterapkan di Indonesia. Kuncinya hanya pada kemauan politik pemerintah. Kendati, penambahan anggaran untuk pembangunan sarana dan prasarana jalan akan memperlebar defisit anggaran. Proyeksi defisit tahun depan bisa menjadi 2,3% atau meningkat dari usulan pemerintah 1,6%. 

Upaya menambal defisit bisa diupayakan dengan cara menggali dana publik melalui penerbitan surat utang pemerintah atau obligasi negara yang dibeli oleh masyarakat domestik. Jadi, kalaupun pemerintah berutang, tidak lagi kepada investor asing yang selama ini menciptakan sentimen negatif di kalangan pegiat antiutang luar negeri, melainkan kepada warganegaranya sendiri. 

Kalangan ekonom dan DPR rasanya bisa memahami andai kata pemerintah harus berutang lagi ke investor domestik. Barangkali dengan cara seperti ini rasa patriotisme dan nasionalisme setiap warga negara menjadi bertambah. 

Yang menjadi prinsip utama adalah pembiayaan dari utang dipergunakan sesuai dengan tujuannya. Artinya, tidak menjadi persoalan apabila pemerintah berutang asalkan diimbangi dengan kepiawaian dalam membelanjakan anggaran bersumber dari utang tersebut. 

Pemerintah seyogianya menyadari bahwa peningkatan belanja barang yang tidak efektif menunjukkan sikap pemerintah yang kurang efektif dan efisien dalam penggunaan anggaran. Sementara dari sisi peningkatan belanja pegawai, kenaikan tersebut terkadang tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas dari pegawai itu. 

Jika diandaikan dengan kegiatan korporasi di mana produktivitas setiap pegawai bisa diukur melalui rasioearning per employee (EPE), hal yang sama bisa diterapkan untuk mengukur tingkat produktivitas setiap pegawai negeri yang dibiayai APBN. Caranya, membagi volume produk domestik bruto (PDB) yang berasal dari seluruh kegiatan pemerintahan di tingkat pusat dan daerah dengan jumlah pegawai negeri di dalamnya. 

Menggenjot belanja modal 

Pemerintah seyogianya juga menyadari bahwa besarnya belanja modal mungkin memperlihatkan ketidaksesuaian antara tujuan yang ingin dicapai dan kebijakan anggaran yang diterapkan. Pasalnya, belanja modal akan mendorong pertumbuhan dari sisi investasi pemerintah. Jika begini kondisinya, berarti ada ketidaksesuaian antara tujuan dan kebijakan. 

Untuk meningkatkan belanja modal, pemerintah harus menekan atau menggeser belanja rutin yang sifatnya tidak efektif. Sebut saja biaya logistik koordinasi atau pembentukan kelompok kerja yang memakan biaya cukup besar. Ini menuntut langkah besar yang mungkin tidak populer, yakni pembenahan struktur birokrasi atau reformasi birokrasi supaya tidak boros. Sejalan dengan itu, dari sisi mental, birokrasi juga harus diperbaiki agar lebih profesional. 

Belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas, dan kualitas aset. 

Jadi, tepat apabila pemerintah akan menempuh strategi prioritisasi belanja modal. Alasannya, belanja modal murni investasi pemerintah. Dikabarkan, di tahun-tahun mendatang pengalokasian belanja modal ini akan didorong lebih banyak lagi. 

Sebetulnya, dalam komposisi belanja barang sudah ada anggaran maintenance yang turut mencerminkan investasi sehingga tetap memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Tapi, memang belanja modal lebih murni investasi ketimbang belanja barang sehingga ke depan harus diprioritaskan. 

Respons perbankan 

Diyakini, kalangan perbankan akan memberikan respons positif terhadap rencana pemerintah memperbesar alokasi anggaran belanja modal. Kegiatan pemerintah ini akan mendorong bergeraknya roda perekonomian sehingga menguatkan sendi-sendi perekonomian skala kecil hingga skala besar. 

Ketika dunia usaha bergerak dinamis, perbankan akan mendekat untuk menawarkan produk dan jasa perbankan yang bisa dimanfaatkan dunia usaha. Dari penghimpunan dana hingga penyaluran kredit serta penyediaan jasa layanan keuangan perbankan. Karena dunia usaha lekat dengan ekspansi usaha, penyediaan fasilitas kredit produktif menjadi prioritas perbankan. 

Kredit investasi dan kredit modal kerja akan tumbuh pesat jika dibandingkan dengan kredit konsumtif. Ini merupakan gejala yang positif karena pertumbuhan kredit produktif akan menguatkan ketahanan (resiliensi) dan fundamental perekonomian nasional. 

Dampak pengganda dari distribusi kredit produktif akan lebih terasa jika dibandingkan dengan kredit konsumtif kendati perbankan tidak akan menafikan begitu saja kontribusi kredit konsumtif. Kini, kuncinya tinggal bagaimana pemerintah pusat cerdas dan piawai dalam mengelola belanja modalnya. *** 

Oleh Ryan Kiryanto Analis ekonomi dan keuangan
Opini Media Indonesia 29 September 2010