DALAM dua pekan ini ada dua berita dari Amerika Serikat (AS) yang membuat pikiran kita sebagai bangsa terganggu. Pertama, adanya dengar pendapat di Kongres AS yang berbuntut desakan pejabat senior negara itu dan anggota Kongres asal Samoa, AS, Eni Faleomavaega agar Pemerintah Indonesia meningkatkan status otonomi di Papua.
Kedua, adanya surat terbuka dari gabungan organisasi East Timor and Indonesia Action Network (ETAN) dan West Papua Advocacy Team (WPAT) yang diberitakan pers pada 15 September 2010 yang meminta Presiden AS Barack Obama untuk menolak penetapan Pemerintah Indonesia yang menunjuk Dino Patti Djalal sebagai calon Duta Besar Indonesia untuk AS. Kedua organisasi ini menyebut Dino sebagai orang yang terlibat dalam persoalan pelanggaran HAM di Timor Timur karena sebagai diplomat muda ia banyak membela kepentingan Pemerintah Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia, kita tentu tersentak membaca kedua berita tersebut. Ini menunjukkan betapa beberapa kalangan di AS masih terus berusaha untuk melakukan internasionalisasi masalah Papua dan Timor Timur (sekarang Timor Leste).
Kita tahu, masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan otonomi khusus di Papua. Kita juga tahu ada sebagian masyarakat di Papua, termasuk organisasi masyarakat adat, yang ingin mengembalikan otonomi khusus Papua yang telah diberlakukan sejak 2001 sesuai dengan UU No 21/2001 mengenai Otonomi Khusus Papua. Kita juga tahu betapa kita di dalam negeri, termasuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sedang berusaha untuk menyatukan pandangan bagaimana agar dialog menuju jalan damai Papua dapat berjalan lantaran gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota juga masih menjadi isu yang hangat di tanah Papua.
Persoalan keamanan yang berbaur dengan politik di Papua masih menjadi berita yang sering muncul di Tanah Air. Kita harus sepakat bahwa kita harus bersatu padu melawan intervensi asing terkait Papua. Meski politisi dan pejabat senior AS menyatakan tidak mendukung separatisme Papua, kita patut bertanya, apa maksud dari kata “peningkatan otonomi” di Papua? Selama ini pemerintah memang belum mampu menyejahterakan rakyat Indonesia secara keseluruhan, termasuk di Papua, dan itu masih menjadi tantangan kita bersama untuk mewujudkannya. Namun bila ada negara atau kelompok asing yang ingin melakukan internasionalisasi Papua dengan tujuan negatif, tentunya kita akan menentangnya dengan keras.
Semboyan lama “menangi hati dan pikiran rakyat dahulu, menangi diplomasi kemudian” tampaknya masih amat relevan. Ini berarti dalam menyelesaikan persoalan Papua menjadi amat penting bila kita benar-benar mendengarkan apa yang ada di pikiran anak-anak muda Papua sebagai penerus generasi mendatang tanpa mengabaikan pandangan generasi tua yang kini semakin tidak mendapatkan dukungan politik di tanah Papua. Persoalan Papua tidak cukup diselesaikan secara diplomasi karena persoalan utamanya ada di Tanah Air kita sendiri.
Selesaikan dulu masalah internal kita, baru kita bicara soal diplomasi. Penyelesaian menyeluruh dan beradab soal Aceh bisa menjadi contoh yang baik dalam menyelesaikan persoalan domestik kita. Peristiwa kedua yang juga amat menggelitik adalah adanya surat dari ETAN dan WPAT soal penetapan Dino sebagai Duta Besar RI untuk AS. Persoalan yang mirip dengan ini pernah terjadi ketika HBL Mantiri akan ditunjuk sebagai calon Duta Besar RI untuk Australia. Saat itu kalangan LSM dan aktivis politik di Australia menentang Mantiri karena dituduh terlibat dalam pelanggaran HAM di Timor Timur. Akhirnya Mantiri gagal menjadi Duta Besar RI untuk Australia. Dalam kasus Dino Patti Djalal, ia adalah seorang diplomat karier, bukan seorang militer.
Kalaupun Dino selalu membela atau mendukung kebijakan Pemerintah RI di era Orde Baru, itu adalah tugasnya sebagai diplomat yang mewakili negaranya. Mungkin saja dalam membuat pernyataan diplomatik ada kata-kata atau ucapan Dino yang amat keras, tapi bukan berarti bahwa ia terlibat dalam pelanggaran HAM di Timor Timur. Di tengah upaya Pemerintah AS dan Pemerintah Indonesia memperbaiki atau bahkan ingin meningkatkan hubungan bilateral, persoalan penetapan Dino Patti Djalal sebagai Duta Besar RI yang berkuasa penuh untuk AS menjadi amat penting. Dalam kaitan ini Pemerintah RI harus tegas untuk tetap pada pendiriannya mengirimkan Dino sebagai duta besar.
Pihak AS juga perlu menimbang penetapan Pemerintah Indonesia ini jika keinginan untuk meningkatkan hubungan baik ini benar-benar ingin dijalankan. Bukan mustahil Dino akan menghadapi berbagai kendala dalam menjalankan tugas barunya nanti di Washington DC, termasuk dan tidak terbatas pada akan banyaknya kritikan ataupun demonstrasi dari kelompok ETAN dan WPAT terhadap dirinya. Kita tidak boleh takut pada berbagai kritik tersebut, melainkan harus melawannya dengan memberikan informasi yang akurat mengenai apa yang terjadi di Papua dan Timor Timur pada masa lalu. Kita tidak menafikan adanya pelanggaran HAM di Papua dulu dan kini.
Kita juga berharap agar aparat pertahanan dan keamanan kita semakin profesional dan bekerja dengan hati nurani yang bersih dalam menghadapi sesama anak-anak bangsa di tanah Papua. Kita juga tahu ada pelanggaran HAM di Timor Timur pada masa lalu dan hingga kini masih menjadi perbincangan positif antara kelompok LSM dan Pemerintah Indonesia dan Timor Leste untuk menanganinya. Kepiawaian Dino dalam berdiplomasi tidak dapat diragukan lagi. Namun, suka atau tidak, Dino memang harus mengurangi gaya bicaranya yang kadang kala arogan dan emosional dalam berdebat atau mempertahankan pendiriannya.
Kita dapat saja kukuh pada pendirian kita tanpa harus ngotot atau arogan atau kasar terhadap lawan bicara. Terlepas dari kelemahan Dino tersebut, sebagai bangsa kita harus mendukung penetapan dirinya sebagai ambassador designated RI untuk AS. Kita tentu juga akan mendukung Dino apabila ada kendala-kendala politik baginya ketika menjalankan tugasnya nanti. Sebagai sesama anak bangsa, kita boleh saja berdebat di dalam negeri mengenai suatu hal, tapi dalam berhadapan dengan negara lain, tak ada kata lain selain kita harus bersatu padu demi kejayaan bangsa.
Sejalan dengan itu, kita juga harus bersatu padu menentang intervensi asing dalam urusan dalam negeri Indonesia, tak terkecuali bila itu datangnya dari negara adidaya sebesar AS. Ini sejalan dengan Trisakti Bung Karno: kita harus berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian bangsa dari sisi kebudayaan.(*)
IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
Opini Okezone 28 September 2010
28 September 2010
Bersatu Melawan Intervensi Asing
Thank You!