Oleh Deddy Mulyadi
Beberapa kabupa-ten/kota di wilayah Provinsi Jawa Barat, seperti Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Cianjur, Kota Depok, Kabupaten Indramayu, Kota Banjar maupun kabupaten/-kota/pro-vinsi lainnya, mulai bergelut kembali memilih pimpinan daerahnya secara langsung. Melalui proses pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) yang demokratis diharapkan dapat melahirkan kepala daerah yang memiliki legitimasi yang kuat yang pada akhirnya responsif dan peka terhadap kebutuhan rakyat.
Hal itu terungkap dengan munculnya fakta, janji-janji politik yang disampaikan oleh para kandidat kepala daerah, setelah terpilih menjadi pimpinan daerah, ternyata kurang direspons secara optimal dalam bentuk kebijakan publik bagi kepentingan rakyat. Malah yang terjadi adalah menjangkitnya politik uang dan korupsi dalam proses formulasi dan implementasi kebijakan serta terabaikan janji-janji politik yang dimaklumatkan pada saat kampanye.
Menurut pandangan penulis, hal itu disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, ketidaksiapan kepala daerah dan pemangku kepentingan di daerah dalam menghadapi terjadinya perubahan pada sistem perumusan kebijakan publik. Ketidaksiapan tersebut tergambar dari lemahnya ketrampilan negosiasi dan kemampuan melakukan kompromi secara jujur dan arif dari kepala daerah dengan semua pemangku kepentingan di daerah. Padahal, demokrasi mengakibatkan sistem interaksi dalam proses kebijakan publik menjadi terpencar dan bukannya terpusat lagi (Hill,2005). Kepala daerah dan perumus kebijakan harus menyadari dan bekerja keras dalam proses kebijakan publik untuk melahirkan konsensus kebijakan yang berpihak kepada rakyat dan bukan untuk kepentingan diri dan kelompok.
Kedua, orientasi kepala daerah dan pembuat kebijakan (baca: perwakilan rakyat alias anggota DPRD) tidak sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Hal itu karena kepala daerah dan perumus kebijakan tidak paham tujuan esensial dari pemilihan sistem yang demokratis. Demokrasi bukan untuk melayani elite politik yang berjasa di saat kampanye dengan kepentingan-kepentingan yang sempit, tetapi melayani kepentingan masyarakat.
Ketiga, sistem pemerintahan yang terdesentralisasi dan pemilukada yang terjadi untuk menciptakan pemerintahan daerah yang otonom dan pemimpin daerah yang sah dan kuat di mata masyarakat, tidak serta-merta mendorong kepala daerah dan pembuat kebijakan di daerah secara leluasa menyusun kebijakan publik di daerah. Hal itu karena adanya berbagai aturan baik dalam bentuk UU maupun peraturan pemerintah yang berlaku dalam sistem politik di Indonesia. Seperti adanya Undang-Undang tentang Pembangunan Nasional (UU No. 25/2004). Implikasinya, daerah harus memiliki RPJMD dan RPJPD yang mempersyaratkan bahwa daerah dalam merencanakan program pembangunannya harus sesuai dengan tujuan pembangunan nasional yang ada, baik dalam RPJPN maupun RPJMN.
Kepala daerah dan pembuat kebijakan di daerah tidak begitu saja dapat melaksanakan pembangunan sesuai dengan keinginan yang dijanjikan dalam kampanyenya kepada masyarakat. Akan tetapi, harus berdasarkan RPJPN dan RPJMN yang digariskan oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu, kepala daerah terpilih harus jelas membeberkan visinya, dengan rencana strategis nasional maupun daerahnya agar nyambung.
Langkah perbaikan
Dalam praktik sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah ke depan perlu mengambil langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, kepala daerah dan perumus kebijakan perlu dibekali kemampuan dalam hal keterampilan komunikasi dan negosiasi selain tuntutan keterampilan profesional dan teknis yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan publik. Dalam proses kebijakan publik yang demokratis, mereka harus siap untuk dapat mengakomodasi secara arif dan bijaksana beragam kepentingan dan kedudukan.
Kedua, untuk mengatasi fenomena proses pembuatan kebijakan publik yang berorientasi kepada kepentingan elite parpol dan pengusaha yang memberi modal, langkah yang ditempuh adalah sedari awal platform dari partai politik harusnya juga memperhatikan relevansinya dengan pembuatan kebijakan publik bagi kepentingan rakyat. Pemilukada bukan merupakan proses demokrasi yang bersifat prosedural atau ritual semata tetapi esensi substansinya setelah proses tersebut, yakni apa yang dibuat dalam kebijakan publik harus berasal dari rakyat, bersama rakyat, dan untuk rakyat.
Langkah ketiga, calon kepala daerah dan elite politik dalam parpol perlu peka dan menyikapi atau responsif terhadap tuntutan sinergi pembangunan yang dilakukan di daerah dengan program pembangunan yang dicanangkan pemerintah pusat. Oleh karena itu, janji-janji politik yang dibuat harus juga melihat berbagai visi, misi, dan orientasi kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, selain memperhatikan potensi di daerah dan aspirasi masyarakat daerah. Selanjutnya kepala daerah tidak usah ragu meminta bantuan fasilitasi para pemikir di bidangnya agar kebijakan yang dilaksanakan berkualitas bagi kesejahteraan rakyat dan daerah otonomya. ***
Penulis, Ketua STIA LAN Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 29 Juni 2010