ADAKAH perbedaan antara tindakan kriminal dan ’’aksi jihad’’? Pertanyaan ini mungkin dianggap terlalu berani dan dianggap berlebihan, dengan menyandingkan keduanya. Apalagi, sampai saat ini, kata jihad, dalam bahasa agama identik dengan kesunguhan setiap insan dalam meraih sesuatu, atau dalam pengertian yang lazim, bermakna perjuangan membela hak dan martabat, baik individu ataupun bangsa. Pantaskah aksi jihad dikategorikan sebagai tindakan kriminal?
Sebaiknya kita tidak menutup mata, bahwa bila mencermati aksi brutal komplotan bersenjata yang merampok di Bank CIMB Niaga Medan, penyerangan markas Polsek Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatra Utara, yang menewaskan tiga polisi jaga, seolah membenarkan asumsi tersebut. Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri mengatakan, bahwa komplotan itu adalah kelompok teroris yang sengaja merampok untuk membiayai agenda aksi terornya.
Sudah menjadi rahasia umum, aksi teror di sejumlah daerah di Tanah Air oleh pelakunya, diyakini sebagai bentuk jihad. Padahal, pemahaman keliru ini makin membuat citra agama (terutama Islam) itu sendiri makin buruk di mata dunia. Membiarkan terorisme yang berkedok jihad justru makin menguatkan tuduhan sebagian anggapan kalangan Barat.
Islam oleh kalangan tertentu di Barat seringkali dituding sebagai agama teroris. Setidaknya, persepsi demikian dapat ditemukan dalam tulisan Bernard Lewis dalam The Crisis of Islam, Holy War and Unholy Terror (2003).
Di sinilah, pentingnya melakukan penafsiran kembali terhadap ajaran Islam, termasuk soal jihad, yang rasanya, tidak cukup mengandalkan pendapat ulama puluhan abad silam. Dibutuhkan langkah strategis, taktis, dan konstruktif agar memperoleh relevansi dengan situasi dan kondisi sekarang ini. Dalam batas-batas tertentu, sudah saatnya kita keluar dari cengkeraman teks yang sangat lama mengungkung paradigma keislaman kita. Nasr Hamid Abu Zayd pernah menyitir persoalan ini dengan mengatakan, bahwa peradaban Islam adalah peradaban teks (hadharat al-nash) atau peradaban yang berputar di wilayah Alquran, Hadis, dan pendapat ulama.
Jadi ke depan, makna jihad sejatinya tidak dipahami sebagai pemahaman sempit yang melulu berujung pada perang dan penyerangan terhadap kelompok yang dianggap berbeda; kafir, zindiq, murtad, dan lain sebagainya. Jika ini masih dilanggengkan, maka sama saja telah melakukan pembajakan terhadap makna jihad, atau dalam bahasa lain saya menyebutnya sebagai kriminalisasi jihad.
Nasionalisme Dalam konteks Indonesia, pemahaman terhadap makna jihad perlu dipalingkan ke wilayah sosial-politik. Jihad tidak selalu dipahami secara teologis dan teosentris. Ia juga bisa bermakna horizontal, yang menyangkut kepedulian sosial, baik berkaitan dengan antarwarganegara maupun untuk kepentingan negara.
Sikap itu dapat dibuktikan lewat aksi solidaritas untuk kemanusiaan korban bencana gempa bumi, misalnya. Begitu pula kepada korban banjir, tsunami dan lain-lain, yang akhir-akhir ini seringkali menyapa negeri tercinta. Pengorbanan berupa tenaga dan materi yang diberikan kepada saudara-saudara kita yang terkena bencana, jelas-jelas merupakan bentuk jihad sesungguhnya, yang hasilnya saya kira juga lebih riil daripada mencelakai orang lain lewat aksi bom bunuh diri.
Adapun kepedulian sosial untuk kepentingan negara dapat dilakukan dengan misalnya, tidak korupsi, ikut mempertahankan keutuhan NKRI, ikut menjaga aset negara, mencintai produk dalam negeri, dan lain-lain. Bahkan, kalau kita tengok sejarah kemerdekaan, kita tahu kalau ulama atau tepatnya kiai mengeluarkan fatwa resolusi jihad (perang suci) untuk Indonesia. Fatwa inilah yang mendorong rakyat Surabaya pada khususnya dan masyarakat Jawa Timur pada umumnya aktif dalam perang 10 November 1945.
Jadi motif jihad di sini, tidak hanya berbasis agama tertentu (Islam) ansich, tetapi bercampur dengan paham nasionalisme demi mempertahankan kedaulatan bangsa. Islam menjadi semacam pendorong menggerakkkan semangat pengorbanan rakyat, membela Tanah Air. Doktrin agama tidak lagi melekat dalam kebisuan teks, namun menjelma sebagai sesuatu yang oleh Hasan Hanafi disebut alat revolusi, sebagaimana tertulis dalam judul karyanya ’’Min al-Aqidah ila Tsaurah’’. (10)
— Ali Usman, mahasiswa Program Magister Agama dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Opini Suara MErdeka 29 September 2010