Oleh Lilis Nurteti
Pemerintah mulai gencar mengampanyekan pentingnya pendidikan karakter bagi sekolah-sekolah. Pendidikan karakter yang bakal diterapkan menurut Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal tidak diajarkan dalam mata pelajaran khusus (31/8/10). Namun, pendidikan karakter tersebut akan diintegrasikan dengan mata pelajaran yang sudah ada serta melalui keseharian pembelajaran di sekolah.
Latar belakang digencarkannya rencana pendidikan karakter bagi siswa dan siswi di sekolah adalah karena makin maraknya berbagai bentuk kenakalan di lingkungan anak-anak sekolah. Mulai dari geng motor yang anggotanya mayoritas anak-anak SMP dan sebagian SMA, video mesum anak-anak sekolah di berbagai daerah, sampai tawuran pelajar yang sulit dikendalikan. Artinya, ada berbagai bentuk tindakan pelajar yang dianggap kontrakarakter. Namun, problemnya sekarang, pendidikan karakter seperti apa?
Esensi
Pendidikan karakter sebetulnya bukanlah mata pelajaran yang khusus atau pemberlakuan khusus kepada siswa dan siswi di sekolah. Pendidikan karakter pada prinsipnya adalah masuk bangunan kultur sekolah yang mendasarkan kultur bangsanya. Bagi bangsa Indonesia, pendidikan karakter mestinya berbasis kepada nilai-nilai karakter Pancasila bukan pada sumber-sumber yang lain.
Untuk membangun karakter pelajar di sekolah di Indonesia diperlukan minimal tiga hal utama. Pertama, disiplin. Dalam setiap upacara di negeri kita, pembina upacara baik guru maupun kepala sekolah menekankan pentingnya disiplin bagi kesuksesan belajar dan masa depan anak. Sayang, perilaku guru dan kepala sekolah tidak mencerminkan apa yang dikatakannya.
Becermin dari Amerika Serikat, guru dan kepala sekolah di sana selalu datang paling awal dibandingkan dengan pelajar. Guru dan kepala sekolah berdiri di depan gerbang atau pintu utama sekolah menyambut siswa dengan senyum yang menyejukkan sehingga tercipta suasana begitu menyenangkan. Siswa akhirnya mengetahui betapa guru dan kepala sekolah selain sosok ramah dan sumber inspirasi juga adalah sosok yang disiplin. Penerapan disiplin bukan dengan retorika yang menawan, tetapi dengan teladan pada perilaku yang dicontohkan.
Kedua, percaya diri. Salah satu penyakit umum pelajar kita adalah rendahnya sikap percaya diri. Salah satu kendala membangun percaya diri pada anak adalah adanya kultur mengatur tata bahasa ketika berbicara dengan mempertimbangkan sopan santun yang rigid.
Dalam istilah komunikasi, biasanya komunikasi kita dianggap high context dan negara-negara Eropa dan AS dianggap low context. Secara tidak langsung, pengaturan atau kendala bahasa menjadi proses pembungkaman tidak disengaja. Misalnya, menyebut nama orang tanpa bapak/ibu atau yang sejenisnya adalah hal biasa di luar negeri. Berbeda dengan konteks di Indonesia, seorang anak menyebut guru tanpa menyebut bapak/ibu pasti akan dianggap tidak sopan. Pertimbangan sopan atau tidak sopan berimplikasi pada ketidakberanian atau kemiskinan percaya diri yang melanda pelajar. Bahkan, mahasiswa pun masih ada yang takut kalau harus bertanya atau berdialog dengan dosennya.
Ketiga, menghargai perbedaan. Pendidikan kita cenderung menyeragamkan segalanya. Padahal, penyeragaman banyak menimbulkan implikasi negatif dan cenderung mengekang. Seragamnya baju sekolah, seragamnya sikap, seragamnya jurusan, dan seterusnya berakibat pada tranformasi kalangan pelajar di luar sekolah untuk berontak. Alih-alih, mereka pun terjerumus melakukan perbuatan kontrakarakter seperti ikut geng motor, geng pelajar, dan lain-lain.
Di AS dan negara-negara di Eropa, sekolah tidak mesti memakai seragam. Implikasi dari kebebasan ini juga berpengaruh pada kenyamanan anak-anak dalam mengekspresikan apa yang menjadi cita-citanya. Yang ingin jadi teknokrat terbiasa dengan baju-baju yang terkait dengan teknologi. Begitu juga yang ingin jadi senator dengan pakaian yang cenderung rapi, dan seterusnya. Guru dan kepala sekolah tidak alergi atau mudah menghakimi kepada anak yang berpakaian atau berpenampilan berbeda.
Selama ini, lingkungan sekolah kita belumlah menjadi tempat yang nyaman bagi pembentukan kepribadian siswa. Oleh karena itu, penghargaan akan keragaman baik minat, perilaku, atau simbolisasi pakaian akan mewadahi ekspresi dan transformasi siswa di lingkungan sekolah. Memberikan ruang kebebasan (tentu dilandasi tanggung jawab) akan memiliki pengaruh yang baik terhadap siswa supaya tidak melakukan perbuatan-perbuatan kontrakarakter.
Membangun kultur
Oleh karena itu, institusi sekolah harus membangun kultur yang menghargai perbedaan, menjunjung disiplin, dan percaya diri yang ditunjukkan dalam semua bentuk perilaku siswa dan siswinya. Introspeksi terhadap pelaksanaan proses pendidikan yang saat ini sedang berjalan sangat diperlukan. Bisa jadi pendidikan yang dianggap berbasis nilai-nilai yang membangun karakter justru sejatinya kontrakarakter sehingga tidak berpengaruh kepada pembangunan karakter peserta didik. Oleh karena itu, perilaku para pendidik dan pemimpin harus menampakkan nilai-nilai karakter.
Para pemimpin di semua level bangsa harus menjadi karakter idola yang tercermin dalam perilaku dan sikap hidupnya, bukan mempraktikkan perilaku picik, tidak menghargai peserta didik, korupsi, dan amoral. Pantas jika Imam Al-Ghazali menekankan salah satu syarat membentuk karakter anak-anak, sang pendidik atau orang tua atau para pemimpin bangsa harus menyucikan diri terlebih dulu sebelum mendidik orang lain. Semoga kita bisa! ***
Penulis, dosen IAID Darussalam Ciamis, bergiat memberdayakan Pendidikan Alumnus Sekolah Pascasarjana UPI Bandung.
Opini PIkiran Rakyat 29 September 2010