10 Mei 2010

» Home » Solo Pos » Sri Mulyani & lemahnya pemerintah

Sri Mulyani & lemahnya pemerintah

Akhirnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak sanggup lagi mempertahankan jabatannya. Tuduhan terlibat dalam kasus Bank Century dan tekanan politik dari DPR dirasakan mengganggu kinerjanya sebagai pejabat publik.

Setahun lalu Bank Dunia pernah menawari sebuah jabatan bagi Sri Mulyani, tetapi dia menolaknya. Kali ini, karena tekanan politik dalam negeri akhirnya dia menerima jabatan sebagai Managing Director (Direktur Pelaksana) Bank Dunia.

Pengunduran diri Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan ditanggapi secara berbeda oleh berbagai pihak. Pengamat ekonomi Ahmad Erani Yustika dari Indef menganggap pengunduran diri Sri Mulyani adalah pilihan terbaik karena kinerja makro ekonomi Indonesia di bawah kepemimpinannya tidak begitu baik dan reformasi birokrasi di Departemen Keuangan juga gagal. Pengamat ekonomi Faisal Basri dari Universitas Indonesia menyayangkan pengunduran diri Sri Mulyani. Faisal Basri juga beranggapan presiden SBY tidak membela anggota kabinetnya.

Pengamat ekonomi Ichsanudin Noorsy dalam sebuah wawancara di televisi swasta nasional, bahkan menilai pengunduran diri Sri Mulyani ini seolah-olah sebagai sebuah bagian dari skenario besar para pembela neoliberalisme. Mantan anggota DPR dari Partai Golkar ini menyatakan, terpilihnya Sri Mulyani sebagai Managing Director Bank Dunia adalah bagia n dari upaya campur tangan lembaga donor internasional ini untuk menyelamatkan salah satu kader neoliberalis.

Berbagai pendapat dan analisis itu adalah hak masing-masing pengamat ekonomi. Bagi penulis, mundurnya Sri Mulyani justru menunjukkan lemahnya pemerintahan SBY-Boediono. Presiden SBY ternyata tidak mempunyai cukup keberanian untuk membela kebijakan yang diambil anak buahnya. SBY bahkan membiarkan anak buahnya menemukan exit strategy-nya sendiri.

Logika ekonomi & politik

Pada era Orde Baru anggota kabinet dipenuhi oleh teknokrat. Kabinet pasca-Soeharto merepresentasikan jumlah suara yang dimiliki Parpol pendukung pemerintah. Pada masa Soeharto seorang pakar yang kompeten di bidangnya mempunyai kesempatan besar untuk menjadi menteri terutama di bidang-bidang strategis seperti menteri bidang ekonomi.

Pada masa lalu, kita bisa melihat sepak terjang Prof Widjojo Nitisastro, Dr Ali Wardhana, Prof M Sadli dan Dr JB Sumarlin dalam menentukan kebijakan ekonomi nasional berdasarkan logika ekonomi. Misalnya, pada saat mereka memahami bahwa sumber utama inflasi adalah bahan makanan pokok, maka segera dibentuk lembaga Bulog dengan tujuan utama mengendalikan harga pangan.

Hasilnya, pada masa Orde Baru dengan kebijakan administered price (harga ditentukan pemerintah), harga beras dan beberapa komoditas lainnya bisa dijaga agar tetap stabil. Mekanisme seperti Bulog ini saat ini justru diadopsi di banyak negara berkembang.

Pada era reformasi seperti saat ini, meskipun seseorang dianggap sebagai ahli di bidangnya belum tentu yang bersangkutan bisa menjadi menteri jika tidak dekat dengan Parpol tertentu. Di negara maju semua menteri—meskipun berlatar belakang teknokrat—tetap mempunyai basis partai tertentu.

Di Indonesia, pemilihan pejabat publik berdasarkan kedekatan dengan partai politik ini justru menyandera pejabat bersangkutan. Pejabat publik yang terpilih karena kedekatan dengan Parpol ini biasanya juga harus mengikuti kepentingan Parpol yang mendukungnya.

Menkeu Sri Mulyani adalah pejabat publik yang tidak mempunyai dukungan Parpol tertentu. Oleh karena itu, pada saat dianggap terlibat dalam skandal Bank Century, tidak ada yang membelanya. Bahkan Partai Demokrat sebagai partai pemerintah tidak juga membelanya. Oleh karena itu, pada saat ada tawaran dari Bank Dunia maka pekerjaan bergengsi sebagai Managing Director segera diterima.

Fenomena ini mengingatkan penulis pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Gizachew Tinureh (2006) yang menulis sebuah artikel berjudul Regime Type and Economic Growth in Africa; A Cross National Analysis yang dimuat dalam The Social Science Journal.

Penelitian ini menganalisis beberapa negara Afrika dengan sistem pemerintahan yang berbeda—dari demokratis sampai dengan otoriter—dikaitkan dengan kinerja perekonomian negara bersangkutan. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa tipe rezim pemerintahan ternyata tidak memberikan kontribusi signifikan pada pembangunan ekonomi negara di Afrika dari tahun 1995-2005.

Artinya, tidak berarti pemerintahan yang lebih demokratis bisa menjamin adanya kesejahteraan masyarakat, demikian pula sebaliknya pemerintahan otoriter juga tidak berarti masyarakatnya lebih sengsara secara ekonomi. Data empirik Indonesia, menurut penulis, juga menunjukkan fenomena yang sama. Sejak tahun 1998 sampai sekarang, ternyata tidak terjadi perbaikan kesejahteraan ekonomi dibandingkan masa Orde Baru.

Menurut penulis, terpilihnya Sri Mulyani menjadi Managing Director Bank Dunia adalah sebuah kemenangan bagi pribadinya dan kekalahan bagi pemerintah Indonesia. Pemerintah dan bangsa Indonesia gagal memanfaatkan kecerdasan dan integritas seorang Sri Mulyani. Menurut penulis, tidak ada yang tidak sepakat bahwa pribadi Sri Mulyani adalah pribadi yang mempunyai integritas.

Implikasi

Dia adalah seorang yang konsisten dengan pendapatnya sejak tahun 1990-an dengan pendekatan pasar untuk mengatasi inefisiensi di berbagai sektor ekonomi Indonesia. Pendapat ini yang dianggap oleh beberapa kalangan sebagai ide neoliberalisme. Padahal mekanisme pasar adalah sebuah keniscayaan dalam perekonomian, terlepas apakah sistem yang dipergunakan sosialisme atau neoliberalisme.

Mundurnya Menkeu Sri Mulyani semakin menunjukkan lemahnya pemerintahan SBY-Boediono. Pemerintahan SBY-Boediono ternyata lebih memilih mengorbankan salah satu anggota kabinetnya, padahal sebuah kebijakan ekonomi yang diambil Menteri Keuangan adalah kebijakan pemerintah tersebut, sehingga sudah seharusnya presiden pasang badan sejak awal kasus Century digulirkan.

Pesan pada lawan politik SBY saat ini sangat jelas, yaitu pemerintah mudah ditakut-takuti sehingga mereka bisa memaksakan kepentingannya. Dampaknya bagi rakyat adalah keinginan untuk mendapatkan pemerintahan yang kuat hanya tinggal harapan. - Oleh : Anton A Setyawan


Opini Kompas 10 Mei 2010