10 Mei 2010

» Home » Pikiran Rakyat » SBY dan Bang Akbar

SBY dan Bang Akbar

Oleh Abdullah Mustappa

Kita terperanjat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama ini dikenal sangat hat-hati dalam mengambil keputusan. Dalam pandangan beberapa analis yang kritis sikap seperti itu bahkan dinilai lamban. Presiden Yudhoyono sendiri menyadari hal itu.


Akan tetapi, dalam hitungan hari selama pekan pertama Mei ini, Presiden Yudhoyono ternyata mampu bertindak cepat, bahkan sangat cepat. Ia dengan ringan melepas Sri Mulyani dari jabatannya sebagai menteri keuangan untuk menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia. Selang tiga hari, Yudhoyono menyelenggarakan pertemuan di kediamannya di Cikeas yang  dihadiri pimpinan parpol-parpol koalisi. Pertemuan itulah yang kemudian menghasilkan kesepakatan parpol peserta koalisi membentuk sekretariat gabungan. Yudhoyono memang duduk sebagai pimpinannya tetapi pelaksana hariannya dipercayakan kepada Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Salah satu kesepakatan kuncinya, melibatkan partai-partai koalisi dalam perencanaan pemerintahan, bukan hanya pengamanan sebagaimana kesepakatan sebelumnya.

Sulit untuk mengiyakan bahwa kesepakatan itu tidak ada kaitannya dengan mundurnya Sri Mulyani. Juga sulit menolak spekulasi bahwa peluru kasus Bank Century yang ditembakkan dari Gedung DPR telah mengenai sasaran sangat vital. Yang sulit dibantah adalah dugaan kepergian Sri Mulyani serta posisi yang diberikan kepada Ical sebenarnya dirancang sejak lama. Kesediaan Yudhoyono melibatkan parpol oposisi dalam perencanaan kebijakan pemerintah pasti bukan tanpa kompensasi.

Banyak yang menyimpulkan mundurnya Sri Mulyani dan penunjukan Aburizal Bakrie dalam kedudukannya yang baru itu adalah kemenangan Partai Golkar. Karena masa kekuasaan SBY sebagai presiden masih tersisa empat tahun lagi, maka Ical memiliki waktu cukup panjang untuk menjalankan peran yang diinginkannya selama ini.

Ketika Ical berhasil menduduki Ketua Umum Partai Golkar mengalahkan Surya Paloh dalam  Munas Golkar di Pekanbaru Oktober 2009, para pengamat melihat kemenangan tersebut tidak diraih Ical sendirian. Soalnya di belakangnya muncul sosok yang merupakan tokoh senior di kalangan kubu beringin, yakni Akbar Tandjung yang kemudian dikukuhkan sebagai Ketua Dewan Pembina. Dalam pandangan pengamat, kemenangan Ical adalah kemenangan Bang Akbar juga.

Tidak terlalu salah kalau dikatakan Bang Akbar adalah tokoh Golkar yang paling sering dibanting-banting. Wajar kalau kemudian ia tumbuh menjadi politisi yang matang dan cerdik dalam melihat serta memanfaatkan peluang.

Ketika gelombang reformasi bertubi-tubi menghantam kekuasaan Presiden Soeharto, Bang Akbar sedang menjadi menteri negara perumahan rakyat dan pemukiman. Ketimbang meratapi kejatuhan mantan majikannya, Bang Akbar sigap membenahi posisi diri serta parpolnya. Dalam kabinet pemerintahan Habibie, ia diangkat sebagai menteri sekretaris kabinet. Bang Akbar pun terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan berhasil membawa mesin politik Orde Baru tersebut memperoleh suara cukup besar dalam Pemilu 1999.

Tidak berarti jerih payah serta jurus-jurusnya yang hebat itu memberinya jalan yang lempang dan lapang. Saat menjadi Ketua DPR, Bang Akbar sempat diadili dalam perkara dana nonbujeter Bulog senilai Rp 40 miliar. Pada September 2002 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis tiga tahun kepadanya. Atas vonis tersebut, 68 anggota DPR mengajukan usul inisiatif menonaktifkan Akbar Tandjung dari DPR. Sidang paripurna DPR berkali-kali memutuskan menyerahkan usul tersebut ke Badan Musyawarah DPR. Tak kalah kenes, Bamus juga beberapa kali mengembalikannya dengan alasan hampir itu-itu juga. Keputusan finalnya baru disepakati Mei 2003 ketika Bamus bersepakat menunggu keputusan kasasi Mahkamah Agung. Ketika keputusan tersebut keluar Februari tahun berikutnya, usulan inisiatif pun tamat riwayatnya. Soalnya MA menyatakan Bang Akbar tidak bersalah.

Bagi sebagian kalangan Golkar, Akbar Tandjung adalah pahlawan yang menyelamatkan partai dari ancaman badai yang hampir saja menenggelamkan eksistensi Golkar dari kancah politik. Itulah salah satu alasan yang mendorong Bang Akbar tampil sebagai capres tahun 2004. Akan tetapi dalam konvensi yang digagasnya sendiri, ia dikalahkan Wiranto. Ia pun terpental dari kursi ketua umum karena yang terpilih adalah Jusuf Kalla yang pada saat itu sudah jadi wakil presiden.

Tidak sedikit yang menduga, sampai di sini karier politik Bang Akbar sudah tutup buku. Ia kemudian berhasil meraih gelar doktor ilmu politik di samping aktif memimpin Akbar Tandjung Institute. Akan tetapi, tampaknya naluri kekuasaan tidak benar-benar lenyap dari jiwanya. Bahwa analisis politiknya makin tajam dibuktikan dengan jabatan barunya saat ini sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar.

Dibandingkan dengan politisi lain, Bang Akbar memiliki kekayaan pengalaman sangat beragam. Dialah satu-satunya komponen Angkatan 1966 yang sampai hari ini naluri kekuasaannya belum padam. Seperempat abad lamanya Akbar Tandjung mengukuhkan reputasi politiknya di dalam tubuh Golkar, sejak jadi Ketua KNPI sampai menjadi ketua umum partai berlambang beringin tersebut. Selama itu pula ia pasti banyak menerima wejangan politik berharga dari tokoh-tokoh utama Golkar sekelas Soeharto dan Soedharmono. Termasuk di dalamnya bagaimana membaca hasrat politik wakil-wakil rakyat yang merasa bahagia jika dikesankan vokal oleh masyarakat.

Dengan keputusan Presiden Yudhoyono menempatkan Aburizal Bakrie sebagai pelaksana harian sekretariat gabungan parpol koalisi, bisa dipastikan kedekatan antara Yudhoyono dengan Bang Akbar pun makin rapat. Kendati beberapa tokoh Golkar menyatakan tidak akan mengusulkan nama pengganti Sri Mulyani, tetapi Yudhoyono sudah memberikan ruang agar parpol koalisi berpartisipasi dalam perencanaan pemerintahan. Hampir pasti Presiden tidak akan berani mengangkat menteri keuangan yang tidak disetujui Golkar. Bang Akbar, silakan banyak-banyak memberikan masukan yang tepat kepada Presiden Yudhoyono.***

Penulis, wartawan senior.
opini pikiran rakyat 11 mei 2010