10 Mei 2010

» Home » Media Indonesia » Perkembangan Kriminalitas ATM di Dunia

Perkembangan Kriminalitas ATM di Dunia

ATM fraud bagian dari globalisasi? Pertanyaan itu sangat menggelitik karena jika benar jawabannya, Indonesia bukan satu-satunya korban kejahatan ATM hingga saat ini. Menurut BIS (2007), "In 2007, in the Euro area, there were 880 million ATMs per inhabitant, and the total amount of cash withdrawals was estimated at 10% of the GDPรข€. Artinya, potensi kejahatan terhadap ATM di dunia tetap akan tinggi. Kejahatan ATM sangat khas bergantung pada awal muasalnya munculnya kejahatan tersebut dan sangat bersifat spasial. Seperti halnya hama penyakit, kejahatan ATM juga berpotensi menyebar ke luar wilayah asal. Bahkan, sangat mungkin menjadi lebih dominan ketimbang daerah asalnya.

Misalnya, Eropa terkenal sebagai awal regional yang secara khusus disasar oleh kejahatan ATM versi skimming. Walaupun akhirnya kejahatan tipe ini juga berkembang melewati batas-batas Eropa, terbukti bahwa perbankan Eropa memang rentan terhadap serangan slot pembaca kartu ATM. Hal ini dapat terjadi karena Eropa memiliki beragam kondisi ekonomi antarnegara yang berbeda-beda. Kondisi ekonomi Prancis, misalnya, berbeda dengan Italia. Sementara itu Eropa merupakan wilayah yang secara relatif memiliki keunggulan sumber daya manusia dalam hal teknologi. Di pihak lain, dengan wilayah antarnegara yang semakin terbuka, khususnya setelah Tembok Berlin runtuh, pergerakan orang, barang, dan modal terus terjadi secara masif. Kepincangan ekonomi antarnegara Eropa juga semakin menjadi-jadi. Tidaklah mengherankan jika Eropa merupakan wilayah pertama dari munculnya kejahatan ATM versi skimming. Hal ini juga dapat terjadi karena koordinasi pengawasan perbankan tidak dapat berjalan secara optimal karena bank sentral tiap-tiap negara memiliki keterbatasan dalam melakukan koordinasi. Memang Eropa sudah memiliki bank sentral bersama, tapi tampaknya masalah koordinasi pengawasan perbankan masih jauh dari sukses. Kejadian itu dianggap lumrah karena jika terjadi kebangkrutan perbankan, kebijakan bailout akan sangat ditentukan oleh kebijakan fiskal setiap negara. Dengan kondisi seperti itu, kejahatan skimming ATM muncul bagaikan jamur di musim hujan. Van Hove (2002) menyebutnya, "Cash generates a loss of no less than EUR 779 million, debit card payments a loss of EUR 101 million. That the overall loss is nevertheless limited to EUR 23 million is due to the fact that the income from outstanding balances on retail and corporate accounts is sizeable." Tidaklah mengherankan jika kejahatan skimming ATM juga akhirnya menular dan menyebar ke daerah-daerah yang pengawasan perbankannya lemah. Misalnya, Indonesia, setelah era reformasi, otonomi daerah ternyata tidak diimbangi pengawasan perbankan yang mumpuni dari bank sentral yang sudah independen secara de jure. Tidaklah mengherankan jika keindependenan bank sentral Jerman juga tak mampu menahan hegemoni kejahatan ATM model skimming ini. Dengan kata lain, bank sentral yang independen merupakan indikasi akan adanya kejahatan ATM berbasis kejahatan skimming. Bukan independensi bank sentral yang menjadi kelemahan, tetapi justru karena independensinya itu sendiri belum mampu meningkatkan kemampuan pengawasan perbankan secara terintegrasi. Seperti halnya di Eropa saat ketimpangan antara yang kaya dan miskin juga merajalela, kondisi tersebut juga terjadi di Indonesia pascaera otonomi daerah. Kejahatan skimming ATM juga marak terjadi di Rusia, Filipina, Afrika, dan Timur Tengah karena daerah tersebut merupakan daerah konflik agama, suku dan sebagainya. Dapat dipastikan, teknologi skimming yang dipergunakan untuk membobol ATM merupakan teknologi yang semula beredar di Eropa. Mengingat kecepatan perbaikan infrastruktur ATM dunia tidak dapat melakukan shifting yang revolusioner, kejahatan skimming ATM juga cepat berkembang di daerah non-Eropa yang memiliki persamaan masalah pembangunan, yaitu ketimpangan pembangunan yang akut. Bank seperti BCA, yang berani melakukan investasi besar di sektor ATM untuk kondisi Indonesia yang masih underdeveloped seperti saat ini, memang patut mendapatkan acungan jempol karena dengan terobosan seperti ini sistem pembayaran menjadi efektif dalam menopang pembangunan ekonomi. Di Amerika Serikat juga ada kasus kejahatan skimming ATM seperti ini, tapi boleh dikata sebagai kasus kejahatan yang minor. Artinya kasus kejahatan akibat si pelaku di Amerika Serikat mencoba menggunakan teknologi dan modus operandi pembobolan ATM versi skimming di Eropa. Namun sekali lagi, kasus ini hanya merupakan kasus yang minor, mengingat kondisi pembangunan ekonomi yang berbeda dengan Eropa. Dengan kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang berbeda, kejahatan ATM di Amerika Serikat bukan hanya versi skimming ATM, melainkan juga ATM deposit fraud. Hal ini dapat terjadi karena budaya perbankan di Amerika Serikat yang bersifat membuat kredit dan membolehkan pengambilan uang terhadap deposit sebelum verifikasi dan rekonsiliasi manual dilakukan. Di Amerika Serikat kejahatan hacking terhadap ATM ini berkembang pesat. Hacking dilakukan bukan hanya terhadap perangkat lunak, melainkan juga sistem ATM dan card processor serta komponen lain dari jaringan pemroses transaksi. Sistem keamanan menjadi target serangan sehingga akhirnya memunculkan kejahatan kartu kredit dan kartu debit kloning pada ATM. Jelas sekali kejahatan ATM di Amerika Serikat dan Eropa memiliki perbedaan yang mencolok karena perbedaan budaya perbankan. Perbedaan budaya perbankan sangat menentukan munculnya corak kejahatan ATM. Ironisnya, kedua tipe kejahatan ini akhirnya juga menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Kejahatan ATM yang lain seperti perangkap (trapping) kartu kredit atau kartu debit pada ATM pada awalnya muncul di Amerika Selatan yang kemudian menyebar juga ke seluruh dunia termasuk juga Eropa, yang ditandai dengan meningkatnya sirkulasi kartu pin dan chip EMV. Adapun di Asia kejahatan yang dominan adalah ATM funds transfer fraud. Penjahat memperdaya korban dengan menggunakan ATM untuk melakukan transfer uangnya ke rekening penjahat. Sementara di Australia dan Afrika Selatan, sumber kejahatan ATM berbentuk perusakan dengan bahan peledak terhadap ATM secara fisik. Di Amerika Serikat, walau ATM terletak di banyak tempat yang tak terjaga dengan baik, juga terjadi kejahatan ATM dengan kekerasan terhadap fisik ATM, tapi tidak menggunakan peledak. Perlu diingat bahwa Australia dan Afrika Selatan merupakan negara yang mengandalkan ekonomi pertambangan sehingga penggunaan bahan peledak sangat umum dilakukan dan dimiliki banyak anggota masyarakat. Mengingat Indonesia juga memiliki sektor pertambangan, kejahatan tipe ini patut diawasi agar tidak menular. Namun, kejahatan ATM yang paling canggih berasal dari Inggris dan Kanada. Penjahat di kedua negara ini mengembangkan teknologi presisi tinggi untuk mendapatkan akses terhadap sistem keamanan dari ATM itu sendiri. Kejahatan tipe terakhir ini merupakan kejahatan yang paling potensial menimbulkan risiko sistemik. Hal ini karena di Inggris dan Kanada ATM memiliki sistem keamanan yang secara relatif homogen sehingga kejahatan ATM memiliki skala ekonomis yang besar.
Seperti yang dikatakan Verdier (2010), penjahat ATM juga mengikuti hukum ekonomi. "If the issuers are ATM owners, I show that the divergence between the profit maximizing and the welfare maximizing interchange fees depends on the value of card payments and on the costs of cash." Artinya, kejahatan dapat meninggikan biaya yang pada gilirannya dapat menyebabkan divergensi dari perilaku memaksimumkan keuntungan dengan memaksimumkan kesejahteraan. Jika itu yang terjadi, kejahatan ATM tidak hanya merugikan pihak perbankan, tetapi juga masyarakat luas karena menyebabkan kepincangan kekayaan di masyarakat. Jelas sekali bahwa keamanan itu adalah barang publik!

Oleh Achmad Deni Daruri, President Director Center for Banking Crisis
opini media indonesia 11 mei 2010