KIRAB budaya mewarnai perayaan ulang tahun ke-428 Banyumas, belum lama ini. Prosesi perayaan dari tahun ke tahun selalu seperti itu. Seolah kirab budaya sekadar rutinitas yang harus dilaksanakan setiap tahun.
Perayaan hari jadi di beberapa daerah biasanya dijadikan ajang promosi pariwisata dan momentum untuk mendulang investasi. Sangat disayangkan bila kirab budaya yang mengeluarkan biaya tidak sedikit itu hanya dijadikan rutinitas. Padahal Banyumas memiliki potensi seni budaya, alam, kuliner, dan objek wisata spiritual yang dapat dipromosikan dalam acara tersebut.
Kebelumsiapan Banyumas memanfaatkan momentum hari jadinya disebabkan oleh konsep pengembangan pariwisata yang sampai saat ini juga masih belum terfokus. Apalagi saat ini pariwisata dan budaya dalam susunan organisasi tata kerja (SOTK) berada di bawah Dinas Pemuda Olahraga, Pariwisata, dan Budaya (Disporaparbud).
Belum terfokusnya pembangunan pariwisata berawal dari branding daerah itu yang hingga kini belum mampu menjual. Jangankan menjual, masyarakat dan komponen pariwisata di wilayah tersebut pun belum memahami sepenuhnya mengenai branding yang bisa dijadikan kebanggaan. Karena itu pemerintah, komponen pariwisata, dan masyarakat perlu segera merumuskan branding agar jelas konsep dan landasan filosofi pembangunan pariwisatanya.
Kasus polemik kereta kencana yang digunakan dalam kirab budaya menunjukkan arti branding tersebut. Kabarnya, kereta yang hendak dijadikan kebanggaan masyarakat Banyumas dipesan dari Yogyakarta dengan harga sekitar Rp 90 juta. Kereta yang merupakan simbol kendaraan elitis itu ternyata kualitas dan penampilannya tidaklah membanggakan bagi sebagian besar masyarakat Banyumas.
Padahal kereta seperti itu dapat dikerjakan sendiri oleh seniman-seniman Banyumas dengan harga yang lebih murah dan lebih menggambarkan filosofi hubungan antara pemerintah dan rakyatnya. Misalnya, sebelum kereta itu dibuat terlebih dahulu diadakan lomba desain kereta oleh pelajar, mahasiswa, dan seniman daerah. Dengan catatan, kereta itu sesuai dengan karakteristik masyarakat Banyumas yang egaliter dan cablaka. Jadi, kereta yang benar-benar khas Banyumas, bukan wahana yang menggambarkan jarak sosial antara penguasa dan rakyat.
Banyumas 10 K Pariwisata Banyumas memang perlu dikelola secara serius, tidak sekadar menggabungkan dua dinas menjadi satu. Harus jelas dasar pertimbangan penggabungan tersebut, sehingga Disporaparbud mampu merumuskan kebijakan dan rencana strategis pengembangan pariwisata. Ada kesan, pariwisata berkembang sambil menunggu berkah ’’yang di atas’’.
Pemkab Banyumas perlu segera mencanangkan Tahun Kunjungan (Wisata) Banyumas atau Banyumas Visit Year yang dapat dijadikan pedoman bagi Disporaparbud dan komponen pariwisata untuk mengenjot sektor pariwisata. Lewat program itu, dapat ditetapkan tren kunjungan wisatawan, target yang diharapkan, promosi wisata, dan partisipasi masyarakat.
Sampai saat ini Banyumas belum pernah menggelar event nasional dan internasional yang dapat dijadikan ajang promosi pariwisata. Padahal daerah ini memiliki alam yang indah, budaya yang beragam, dan masyarakat yang mendukung diselenggarakannya event itu.
Disporaparbud misalnya, dapat menggagas diadakannya lomba lari 10 kilometer atau Banyumas 10 K, seperti yang dilakukan Bali, Jakarta, dan Bandung. Banyumas 10K dapat diadakan dengan menggunakan konsep wisata olahraga (sport tourism). Selain sebagai ajang olahraga prestasi, Banyumas 10 K juga dapat dimanfaatkan sebagai promosi pariwisata.
Tentu saja acara itu dapat terselenggara jika ada sinergi yang baik antara pemerintah, komponen pariwisata, dan masyarakat.
Sinergi ini menjadi penting agar tidak terjadi sikap saling lempar kesalahan ketika pariwisata terpuruk, dan saling klaim keberhasilan saat pariwisata mendulang devisa.
Sudah saatnya pariwisata dikelola lebih profesional lagi mengingat persaingan bisnis wisata kian ketat.
Pasar wisata perlu dijemput, bukan ditunggu apalagi pasrah pada keadaan. Alam dan budaya sudah tersedia, masyarakat siap mendukung. Kini tinggal menunggu kepedulian pemkab untuk membuat kebijakan pariwisata yang memiliki prospek jauh ke depan. (10)
— Chusmeru, dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Unsoed, Purwokerto
Wacana Suara Merdeka 11 Mei 2010