10 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Kartelisasi Politik

Kartelisasi Politik

TEKA-TEKI di balik hengkangnya Sri Mulyani Indrawati (SMI) dari Kabinet Indonesia Bersatu II secara perlahan akhirnya terungkap. Tidak perlu dimintakan konfirmasi kepada siapapun karena fakta politik sudah memberikan argumentasi kuat.

Semakin terang-benderang kita melihat pengunduran diri menteri keuangan terbaik se-Asia itu adalah imbas, untuk tidak mengatakan korban, perkembangan politik setelah hasil Pansus Angket Bank Century di DPR.
Terserah orang mau mengatakan dengan berbagai eufimismenya. Ada yang mengatakan ini jalan terhormat dan elegan bagi SMI agar tidak menjadi beban politik pemerintahan SBY yang masih berjalan lebih empat tahun.

Ada pula yang memuji dan menganggap jabatan barunya di Bank Dunia adalah prestasi membanggakan. Kalau mau jujur pastilah sebenarnya kondisi ini tidak dikehendaki SMI. Dalam hatinya mungkin timbul protes mengapa dirinya yang dikorbankan.

Tetapi itulah risiko jabatan politik. Reshuffle bisa terjadi setiap saat dan karena berbagai sebab. Dari sisi ini sebenarnya tak ada yang luar biasa. Yang luar biasa barangkali karena menimpa menteri yang dikenal punya kompetensi dan integritas tinggi plus segudang prestasi. 


Yang lebih menarik justru mencermati kecenderungan terjadinya kartelisasi politik dan politik transaksional. Bukan hal baru dalam kamus politik namun di Indonesia lebih menonjol karena faktor kerancuan ekonomi dan politik. Semua membaur dan menjadi satu karena aktor politik dan ekonominya sama. Pelaku politik di jajaran elite kebanyakan pelaku dunia usaha kelas kakap yang memainkan peran strategisnya.

Dengan kata lain transaksi politik yang terjadi juga dilandasi kepentingan bisnis pelakunya. Kartelisasi adalah penggambaran dari sebuah situasi yang membuat pusat-pusat kekuatan (baca: partai politik) itu mampu menyatu sehingga menjelma menjadi kekuatan mayoritas. 

Kekuatan Partai Demokrat didukung partai-partai koalisi yang sekarang sudah membentuk Sekretariat Bersama mencapai hampir 80% kursi di parlemen. Mirip Partai Golkar di masa Orba dan itu diakui akan menjamin stabilitas politik ataupun efektivitas pemerintahan asalkan bisa permanen selama lima tahun.

Dalam ekonomi, sebutan kartel di pasar adalah memusatnya kekuasaan pasar hanya pada beberapa pelaku usaha pada sebuah industri. Yang terjadi kemudian adalah keuntungan berlipat dari pelaku kartel, dan sebaliknya inefisiensi pasar dan ekonomi sebagai dampak negatifnya sehingga merugikan masyarakat.

Dalam politik, kartelisasi terjadi karena begitu kuatnya sokongan politik pemerintah sehingga akan selalu aman di parlemen. Tetapi juga ada distorsinya yakni melemahnya kontrol terhadap kekuasaan atau tidak berjalannya mekanisme check and balance yang menjadi prasyarat pokok demokrasi. Meskipun di banyak negara berkembang, termasuk di Indonesia selama kurun waktu 32 tahun masa Orba, tirani mayoritas terbukti membuat pemerintahan bisa efektif menjalankan programnya dan pertumbuhan ekonomi pun mencapai rata-rata 7% per tahun.
Siapa Diuntungkan? Yang membahayakan adalah politik transaksional yang dilandasi kepentingan bisnis dan pengamanan pelaku bisnis besar dari kasus hukum yang menjeratnya. Dalam kasus SMI, sangat mungkin itu adalah harga yang harus dibayar pemerintahan SBY untuk rujuk kembali dengan Partai Golkar (baca: Aburizal Bakrie). Artinya dukungan bisa kembali diperoleh asalkan SMI tidak lagi di pos Kementerian Keuangan.

Bagi SBY, secara kalkulatif memang cukup masuk akal. Walaupun ia harus mengorbankan menteri yang istimewa dan sangat dibanggakannya sendiri, tetapi bisa memperoleh kepastian politik pemeritahannya periode kedua. Meskipun banyak yang mengkhawatirkan bahwa secara tidak sadar SBY justru menggerogoti modal politiknya. Posisinya bukan bertambah kuat melainkan makin lemah daya tawarnya di depan Partai Golkar yang sekarang ketua umumnya menjadi ketua harian Sekber Partai Koalisi.

Jadi secara politik, perkembangan ini bisa dibaca secara terbalik. Bukan kemenangan SBY melainkan kemenangan Aburizal yang secara perlahan dapat masuk ke pemerintahan sekaligus mempunyai posisi tawar cukup tinggi. Walaupun argumen itu bisa dipatahkan oleh pandangan bahwa koalisi tidak selalu permanen. Dengan melihat perspektif ke depan khususnya pada pemilu dan pilpres 2014 maka ini akan lebih memberikan jalan lebih baik bagi Golkar, khususnya Aburizal kendati analisis seperti itu tentunya terlalu prematur.

Apa pun yang terjadi maka pemenang sesungguhnya adalah kepentingan bisnis dalam hal ini kekuatan korporasi yang dimiliki pengusaha besar. Sulit untuk memisahkan antara politik transaksional dan kepentingan bisnis. Karena kita tahu sejak awal perseteruan SMI dengan Aburizal dipicu oleh masalah itu. Mulai kasus Lapindo, suspensi saham Bumi Resources hingga tunggakan pajak Rp 2,1 triliun.

Dalam konteks ini, dan kalau asumsi-asumsi itu benar, maka sebenarnya semua lebih didikte oleh semangat korporasi katimbang politik untuk mengabdi pada kepentingan bangsa ataupun kesejahteraan rakyat. (10)

— Sasongko Tedjo, wartawan Suara Merdeka

Wacana Suara Merdeka 11 Mei 2010