Krisis di Yunani beberapa waktu terakhir serta kekhawatiran pasar atas risiko meluasnya krisis ke negara lain dengan karakter sama dalam pengelolaan keuangan akhirnya membuka mata banyak pihak untuk mempertimbangkan kembali kebijakan pembiayaan pembangunan melalui utang. Apakah kebijakan itu berjalan sesuai rambu-rambu yang digariskan?
Bagi negara-negara Uni Eropa, rambu-rambu tersebut sebenarnya sudah termuat jelas dalam ”Undang-Undang Dasar” pendirian Uni Eropa. Disebut Maastricht Treaty, dalam ”kriteria konvergensi” diatur bahwa negara yang ingin menjadi anggota Uni Eropa harus memiliki defisit APBN yang tidak melampaui 3 persen dari PDB dan rasio utang pemerintah tidak melampaui 60 persen.
Rambu-rambu itu pula yang mendasari penetapan pengelolaan keuangan pemerintah kita dan bahkan sudah diatur dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Defisit APBN dibatasi pada tingkat 3 persen dan rasio utang pemerintah terhadap PDB maksimal 60 persen.Krisis di Yunani pada dasarnya adalah ketidakdisiplinan mengikuti rambu-rambu. Yunani memang termasuk negara yang tidak mematuhi aturan main rasio utang di bawah 60 persen karena sejak awal negara tersebut bersama Belgia dan Italia memiliki rasio utang di atas 100 persen. Belgia cepat memperbaiki diri, sementara proses penyesuaian di Yunani berjalan lambat seperti halnya di Italia.
Pelanggaran batas atas defisit APBN juga terjadi beberapa kali, termasuk oleh negara-negara besar, seperti Jerman, Perancis, dan Italia. Hal ini menimbulkan moral hazard, yaitu lebih santainya negara anggota Uni Eropa melihat pelanggaran rambu defisit. Maka, saat terjadi resesi global 2008, banyak negara menstimulasi fiskal dengan mengorbankan kehati-hatian mereka mengelola defisit.
Defisit APBN di Yunani diperparah oleh lemahnya data pemerintah. Sebelumnya dikatakan defisit 8,5 persen dari PDB, melonjak menjadi 12,5 persen dan terakhir ternyata defisitnya mencapai 14 persen. Keragu-raguan pasar terhadap integritas data Yunani ini menyebabkan reaksi pasar lebih buruk dari yang seharusnya. Inilah pemicu kekhawatiran pasar akan terjadinya default karena Yunani sepertinya tidak mampu melunasi obligasi yang jatuh tempo awal Mei 2010 ini.
Dalam keadaan normal pelunasan utang dilakukan dengan refinancing, yaitu menerbitkan utang baru untuk melunasi utang lama, sehingga Pemerintah Yunani tidak perlu berjaga-jaga dengan kas yang terlalu besar. Refinancing risk inilah yang akhirnya memicu terjadinya krisis.
Bagi Indonesia, krisis di Yunani merupakan bahan pelajaran berharga dalam pengelolaan keuangan pemerintah. Dalam hal ini selain menjaga kedisiplinan, perlu diwaspadai juga faktor-faktor lain terkait.
Secara umum, pengelolaan keuangan pemerintah di Indonesia berjalan baik. Rambu-rambu defisit dan utang berada dalam kendali ketat. Defisit APBN Indonesia selama bertahun-tahun selalu berada di bawah 3 persen. Bahkan, pada saat krisis global 2008, APBN berakhir dalam keadaan kurang lebih berimbang meski sebelumnya direncanakan defisit. Hal yang sama terjadi pada 2009 di mana defisit APBN di bawah yang dianggarkan.
Dalam hal pengelolaan utang, pemerintah berhasil menjaga rasio utang terhadap PDB terus turun di level 28 persen pada 2009. Bahkan, jika utang pemerintah yang berada di tangan BI dikeluarkan, rasio tersebut menjadi lebih kecil lagi, mendekati angka 20 persen.
Pemerintah juga memiliki bantalan kas lumayan tebal, sekitar Rp 200 triliun, baik yang berada di Bank Indonesia maupun di bank-bank umum. Ini berarti pemerintah memiliki cadangan dana untuk menutupi kebutuhan pelunasan utang yang jatuh tempo dalam satu tahun ataupun jika terjadi shortfall dalam penerimaan pada tahun berjalan. Kekuatan inilah yang perlu dijaga agar refinancing risk sebagaimana yang meledak di Yunani dapat dijaga pada tingkat rendah.
Prestasi tersebut dikemukakan bukan untuk berpuas diri (complacent), melainkan untuk menghindari terjadinya kekhawatiran berlebihan. Meskipun demikian, ke depan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan lebih besar lagi.
Pertama, refinancing risk ternyata memiliki daya hancur luar biasa. Oleh karena itu, pemerintah harus terus memonitor tingkat risiko sekecil mungkin. Jatuh tempo surat utang pemerintah harus diatur jangan sampai terjadi penumpukan jatuh tempo pada saat yang sama secara berlebihan (bunching). Kebijakan pengaturan utang yang dikenal dengan reprofiling perlu terus diusahakan, tetapi dengan pendekatan pasar.
Kedua, dengan melihat pengalaman Jepang, sumber pendanaan utang juga perlu dipertajam. Selama ini, Jepang yang memiliki rasio utang terhadap PDB tertinggi di dunia relatif masih mampu menjaga stabilitas karena semua utang didanai dari sumber dalam negeri. Kebijakan kita untuk memanfaatkan pasar obligasi dan sukuk global setiap kali perlu ditinjau kembali karena fluktuasi yang demikian besar pada kedua pasar tersebut.
Sumber dana dalam negeri (termasuk aliran modal dari luar negeri) yang diharapkan menyerap SUN terus berkembang jumlahnya sehingga dana inilah yang harus mendapat prioritas tertinggi. Jangan sampai kesuksesan menjual obligasi global ”membelenggu” kita mencari alternatif yang lebih aman.
Ketiga, sumber utang pemerintah yang berasal dari defisit APBN perlu terus dijaga pada tingkat aman. Pembiayaan infrastruktur yang melibatkan swasta perlu didorong meskipun pemerintah harus lebih berani meringankan beban swasta.
Kita berharap pengelolaan keuangan pemerintah memungkinkan kita berkembang ke tingkat yang lebih tinggi sehingga menyejahterakan masyarakat.
Cyrillus harinowo Hadiwerdoyo Pemerhati Ekonomi
Opini Kompas 27 Mei 2010