26 Mei 2010

» Home » Kompas » Krisis Yunani dan Stabilitas Indonesia

Krisis Yunani dan Stabilitas Indonesia

Krisis keuangan di Yunani diperkirakan oleh berbagai kalangan tidak akan menimbulkan dampak yang kentara bagi Indonesia. Bank Dunia dan IMF berpendapat bahwa risiko untuk Indonesia relatif kecil mengingat fundamental ekonominya cukup kuat.
Selain itu, IMF juga yakin bisa melokalkan dampak krisis tersebut di wilayah Eropa. Semoga perkiraan itu benar. Jika tidak, Indonesia saat ini tak siap menghadapi guncangan pada sistem keuangan seperti tahun 2008.
Kepergian seorang Sri Mulyani adalah ongkos mahal yang harus dibayar akibat huru-hara kasus Century. Namun, ongkos yang lebih mahal adalah kerusakan fondasi untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Hal ini ditandai dengan menjadi tak jelasnya basis legal untuk tindakan penanganan krisis, melemahnya koordinasi, dan menipisnya saling percaya antarotoritas pada sektor keuangan, serta akan munculnya keengganan pejabat publik membuat keputusan penting di saat genting.


Dasar hukum penanganan krisis sebetulnya sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Namun, Perppu yang dimaksudkan sebagai protokol manajemen krisis itu saat ini laksana zombi yang tak jelas statusnya.
Sebagai dampak dari kasus Century, DPR telah menolak mengesahkan Perppu itu menjadi UU sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Di sisi lain, DPR juga menolak mengesahkan RUU untuk pencabutan Perppu yang diajukan oleh pemerintah. Padahal, dalam Pasal 25 dan Pasal 36 UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perppu yang ditolak DPR harus dicabut dengan sebuah UU. Akibatnya, saat ini pemerintah dan BI tak memiliki landasan hukum yang jelas untuk tindakan pencegahan ataupun penanganan krisis.
Koordinasi antarotoritas di sektor keuangan juga dinilai melemah setelah tak berfungsinya Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Dalam kasus penalangan Century, DPR bukan saja ”berhasil” memberikan vonis bersalah kepada KSSK, tetapi juga ”membunuh” lembaga tersebut. Ketiadaan KSSK akan menyulitkan koordinasi antara kementerian Keuangan (selaku otoritas fiskal serta pengawas pasar modal dan lembaga keuangan bukan bank), BI (selaku otoritas moneter dan pengawas perbankan), serta Lembaga Penjamin Simpanan (selaku pelaksana penjaminan simpanan dan penanganan bank gagal).
Dampak lain
Dampak lain yang harus diwaspadai adalah menipisnya kepercayaan antara Kementerian Keuangan, BI, dan LPS. Proses pemeriksaan oleh BPK, Pansus DPR, dan KPK disadari atau tidak telah menimbulkan friksi antara lembaga tersebut. Ini adalah konsekuensi yang logis karena pada dasarnya tidak ada pihak yang mau disalahkan. Padahal, DPR dari awal menuntut BPK, Pansus, dan KPK menemukan pihak yang dinilai bersalah. Sulit dibayangkan suatu kebijakan terbaik bisa dihasilkan manakala institusi yang terlibat tidak memiliki level of trust yang kuat satu sama lain.
Belajar dari pengalaman Boediono dan Sri Mulyani, dikhawatirkan timbul keengganan para pejabat publik mengambil keputusan penting di saat genting. Menurut Goran Lind (2003), keputusan pada saat krisis harus cepat dibuat karena berpacu dengan waktu. Akibatnya, keputusan itu pada umumnya dibuat berdasarkan pada informasi yang tak lengkap, tak akurat, serta tak mengikuti perkembangan.
Selain itu, juga tak ada waktu bagi pemerintah dan bank sentral melakukan interpretasi ulang atas peraturan perundangan yang ada. Padahal, pada umumnya ketentuan itu hanya dirancang untuk menangani situasi normal, bukan kondisi krisis. Oleh karena itu, selain kapasitas dan integritas yang mumpuni, dibutuhkan juga keberanian yang besar untuk membuat keputusan pada saat krisis. Dalam konteks Indonesia, pejabat publik mana yang mau bernasib seperti Boediono dan Sri Mulyani?
Wishful thinking bahwa Indonesia tak akan terkena dampak krisis Yunani jelas tidak cukup. Sumber kerentanan sistem keuangan bukan hanya faktor eksternal, tetapi juga faktor internal. Siapa yang berani menjamin tak akan ada lembaga keuangan seperti Bank Century dengan CAR bisa jatuh dari 14,7 persen jadi negatif dalam waktu singkat?
Kewajiban kitalah memastikan bahwa sistem keuangan Indonesia cukup tangguh menahan goncangan dari dalam ataupun luar negeri. Itu sebabnya, pemerintah dan DPR harus segera memutuskan status Perppu JPSK serta menuntaskan pembahasan RUU JPSK sebagai penggantinya. Presiden diharapkan segera mengisi posisi gubernur BI serta memberikan dukungan memadai agar mereka bisa bekerja optimal. Semoga Lapangan Banteng dan Thamrin dapat kembali bahu-membahu sepenuh hati menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia.
Deni Ridwan Mahasiswa PhD di Universitas Victoria, Australia

Opini Kompas 27 Mei 2010