Muhammadun A.S.
Analis sosial, peneliti Cepdes Jakarta
Jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998 menjadi  tonggak sejarah demokrasi paling bermakna bagi bangsa Indonesia. Sebab,  melahirkan gerakan reformasi yang menjadi momentum terciptanya tatanan  infrastruktur dan suprastruktur yang lebih demokratis.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan No.  X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka  Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.  Lahir juga Tap No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang  Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Khusus dalam  membangun demokrasi daerah, MPR mengeluarkan ketetapan No. XV/MPR/1998  tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan  Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan  Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik  Indonesia (NKRI).
Ketiga ketetapan MPR tersebut menjadi rumusan bangsa dalam membangun  konsolidasi demokrasi. Khusus dalam otonomi daerah, pemerintah akhirnya  mengeluarkan UU No. 22 Tahun 1999 yang menjabarkan otonomi daerah mulai  dari ketentuan umum, daerah wilayah, wewenang kekuasaan, wewenang  keuangan, dan hubungan daerah dengan pusat. Dengan berbagai ketetapan  MPR dan UU tersebut, bagaimanakah sekarang nasib wajah demokrasi lokal  dalam transisi reformasi sekarang?
Pertanyaan sangat krusial karena berbagai fenomena sosial menjelaskan  bahwa ternyata daerah “gagal” mewujudkan tatanan ideal yang demokratis.  Kasus kerusuhan menjelang Pilkada di Mojokerto, Jawa Timur, 21 Mei 2010  lalu, membuktikan ternyata elite berbaju politisi busuk masih  mendominasi kekuasaan sehingga puluhan bahkan ratusan UU dibuat, tetap  saja akan didistorsi dan diselewengkan. Dari sini dapat dilihat, proses  komitmen konsolidasi demokrasi di daerah hanya sebatas wilayah  perundangan saja. Sementara infrastruktur dan suprastruktur daerah yang  masih pincang dibiarkan, tanpa dibenahi.
Tidak salah, kalau bupati dan gubernur yang masih sangat kuat  afiliasinya dengan Orde Baru menduduki kembali kepemimpinan di berbagai  daerah yang pada akhirnya melahirkan protes berupa kerusuhan massal yang  merusak berbagai aset publik. Untuk itu, momentum peringatan 12 tahun  reformasi sekarang harus menjadi refleksi dan aksi konkret bangsa dalam  mengembalikan arah demokrasi daerah yang berkeadilan dan berkeadaban.
Dalam hal ini, menurut Taylor (1966), komitmen demokrasi daerah harus  memenuhi empat ciri dasar yang menjadi keharusan pokok dalam  pertumbuhan dengan model masyarakat demokratis, yakni open-class  society, comunicative society, mass consumption society, dan pluralist  society (Taylor et al., 1966; ch. 27).
Dalam pengembangan demokratisasi di daerah, pemimpin yang terpilih  harus mampu membuka segala ruang kehidupan. Open-class society atau  masyarakat terbuka yang tak berkelas yang merupakan bentuk masyarakat  yang tidak disekat oleh kesenjangan sosial akibat globalisasi dunia yang  makin kompleks harus menjadi agenda serius pemimpin daerah ke depan.  Kalau pemimpin daerah ke depan tidak mampu mencairkan makin sumpeknya  tatanan masyarakat global sekarang ini, pilkada hanya akan  menyengsarakan kembali sang "raja". Tantangan globalisasi harus segera  disikapi, baik dengan pengembangan pendidikan daerah, kalau bisa mampu  menggratiskan pendidikan, atau dengan berbagai terobosan yang mampu  membangkitkan perekonomian rakyat yang makin terjepit sekarang ini.
Sedangkan comunicative society atau masyarakat komunikatif adalah  kondisi masyarakat yang melek teknologi. Di tengah gempuran era  informasi, yang oleh Alvin Toffler dikatakan sebagai era pertarungan  rasio manusia, masyarakat di berbagai daerah, khususnya daerah  perdesaan, harus dikenalkan dnegan beragam budaya modern yang berkembang  selama ini. Ini agar tidak terjadi gagap kebudayaan, gagap spiritual,  gagap kejiwaan, dan gagal multidimensional lainnya.
Yang ketiga, mass consumption society, yakni kesempatan membangun  kekuatan sosial ekonomi yang tangguh. Kemampuan membangun masyarakat  terbuka yang kaya dengan pengetahuan dan informasi, maka akan mampu  menciptakan bangunan ekonomi yang kuat, yang mampu memprediksi pasar.  Kemampuan seperti ini masih langka di daerah-daerah. Paling, yang  mumpuni hanya mereka yang ada ditingkat pusat. Maka, pemimpin di daerah  harus bersikap kritis menghadapi berbagai harapan ke depan. Khususnya  yang menyangkut kuatnya basis ekonomi pedesaan yang masih terbelakang.
Untuk menjaga keseimbangan di semua lini kehidupan daerah, perlu  dibangkitkan semangat pluralist society, masyarakat pluralistis yang  menghargai segala kreativitas dan karya orang lain. Jangan sampai  tingginya kekuatan ekonomi hanya akan membangktkan sentimen dan  pengelasan sosial yang berujung pada kesenjangan sosial. Namun, semua  harus disikapi secara pluralis, yang satu elemen dengan yang lain saling  membantu, mengasihi, dan menyayangi, sesuai dengan amanat leluhur kita  selama ini.
Keempat hal tersebut itulah yanga akan menopang demokrasi daerah  karena di situ terlihat pemerintah tidak lagi memosisikan dirinya  sebagai superior yang depresif–atau surveillance dalam istilah  Giddens-terhadap masyarakat sehingga tercipta citizenship rights (hak  warga negara) yang dimiliki masyarakat, yang meliputi; civil rights (hak  untuk bebas), political rights (hak untuk memilih), dan economic rights  (hak mendapatkan pekerjaan yang layak). Kepercayaan masyarakat (trust)  kepada negara akan hilang manakala tiga citizenship rights terusik atau  tidak dipenuhi oleh pemerintah.
Dengan terciptanya ketiga hak warga negara tersebut, upaya membangun  demokrasi daerah akan semakin mantap, konflik segera berakhir, dan  daerah akan semakin cerdas menempatkan dirinya dalam level nasional  maupun internasional di tengah kegalauan globalisasi. Pemimpin daerah  akan menjadi tulang punggung bangsa menatap millenium ketiga yang penuh  gejolak sosial sehingga Indonesia akan memantapkan dirinya sebagai  negara demokratis di hadapan dunia internaisonal.
Dengan komitmen inilah, wajah demokrasi lokal dalam sewindu reformasi  tidak hanya mewujudkan apa yang disebut Haffner dengan civilized state,  tapi juga mampu mewujudkan civilized society dan reformed society. n
opini lampung post 26 mei 2010