Sejak April 2007, pemerintah mengeluarkan kebijakan remunerasi yang  direncanakan baru akan selesai pada 2011. Adapun inti pokok kebijakan  remunerasi adalah penggajian berdasarkan kinerja, semakin tinggi  prestasi kerja semakin tinggi gaji yang akan didapat. Melalui kebijakan  tersebut pemerintah berharap dapat mewujudkan birokrasi yang bersih dari  korupsi.  
Pertanyaannya, apakah ada kaitan antara gaji yang tinggi dan  produktivitas kerja yang mengarah pada birokrasi yang bersih dari  korupsi? 
Jika ditengok proses digulirkannya kebijakan remunerasi, yang tampak  adalah kurangnya kajian ilmiah yang bersifat holistik, sebagai bahan  analisis sebelum kebijakan tersebut digulirkan. Padahal dalam tataran  teori kebijakan publik, salah satu tahap penting dalam proses penyusunan  kebijakan adalah aktivitas studi atau kajian kebijakan yang mencakup  banyak aspek. Salah satu yang sangat penting adalah aspek sosial.  
Ketika kita coba mencari di internet lewat mesin pencari Google,  misalnya, nyaris tidak ada hasil studi kebijakan remunerasi yang  diterbitkan. Kalaupun ada, jumlahnya sangat sedikit. Bahkan analisis  kajian masih bersifat parsial serta semata berkisar pada permasalahan  teknis, seperti penentuan metodologi perhitungan remunerasi, sistem  reward and punishment, ataupun sistem pengawasan dan evaluasi.  
Bisa dikatakan bahwa gaji yang tinggi dapat menurunkan tingkat  korupsi tidak sepenuhnya benar. Kasus yang menimpa pegawai pajak Gayus  Tambunan merupakan salah satu contoh betapa lemahnya sistem pengawasan  internal pada seorang individu. Gaji yang tinggi dengan sistem  punishment yang ada saat ini belum efektif mencegah seseorang melakukan  tindakan korupsi.  
Seperti diketahui, kajian-kajian pendukung dari aspek sosial sangat  penting bagi keberhasilan dan keberlanjutan suatu kebijakan. Sering kali  kegagalan suatu kebijakan bukan pada faktor konten atau substansinya,  melainkan karena analisis yang parsial pada tahap proses penyusunan  terutama terhadap aspek-aspek sosial.  
Dan di antara poin yang sangat penting dalam kajian sosial adalah  masalah modal sosial, terutama terkait dengan perannya dalam  meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Hal ini selaras dengan salah  satu sasaran dari kebijakan remunerasi adalah meningkatkan produktivitas  pegawai pemerintah. Secara singkat, kekuatan modal sosial sangat  bergantung pada integritas tiga elemen utama modal sosial, yaitu nilai,  institusi, dan mekanisme. 
Proses instalisasi elemen-elemen modal sosial di atas sangat penting  dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Berdasarkan hasil  penelitian kualitatif yang pernah penulis lakukan terhadap 26 KK warga  miskin di Jakarta Timur pada 2008, tidak adanya network terhadap  organisasi serta tidak adanya keterlibatan dalam organisasi tersebut  telah menyebabkan perbedaan tingkat produktivitas. Warga miskin yang  memiliki network dan terlibat dengan organisasi setempat, dalam hal ini  RT dan RW, lebih produktif jika dibandingkan dengan warga miskin  lainnya. Hal ini diperparah ketika terjadi kasus penggelapan uang arisan  yang dilakukan oleh salah seorang oknum di antara mereka. Kepercayaan  yang sebelumnya terjalin disebabkan perasaan senasib sebagai warga  rantauan, lambat laun runtuh. Kondisi tersebut semakin menyebabkan  kesenjangan ekonomi di antara mereka semakin tajam. Singkatnya, hasil  penelitian tersebut menunjukkan bahwa kondisi elemen-elemen modal  sosial, bahkan pada satu komunitas masyarakat miskin pun, masih sangat  lemah. 
Kisah sukses lainnya yang menjadi anutan dunia adalah keberhasilan  Dr Muhammad Yunus membangun 'kelompok lima' yang kelak menjadi embrio  lahirnya Grameen Bank. Dr Yunus berhasil memberdayakan modal sosial  yaitu gotong royong dan kerja keras kepada seluruh nasabah Grameen Bank  melalui pembentukan 'kelompok lima'. Pembentukan 'kelompok lima' yang  berdasarkan nilai gotong royong dan kerja keras merupakan kunci  keberhasilan program kredit Grameen Bank. Pemikiran M Yunus bisa menjadi  pendorong bagi negara-negara yang sedang menghadapi krisis ekonomi  untuk membantu masyarakat miskin menjadi mandiri. 
Berdasarkan kisah sukses Grameen Bank serta hasil penelitian  sebelumnya, paling tidak ada tiga unsur yang mendukung penguatan  elemen-elemen modal sosial, yaitu pertama, lembaga yang menerima  remunerasi. Mekanisme monitoring dan evaluasi yang berlandaskan nilai  kerja sama dan kerja keras seharusnya diadopsi oleh lembaga penerima  remunerasi. Kedua, pemerintah perlu menetapkan lembaga yang akan  berperan sebagai leader dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.  Dan leader itu sanggup menjadi 'agen pembaruan' dan memastikan supaya  target kebijakan lembaga-lembaga yang dipimpin dapat tercapai. Ketiga,  adanya linkage atau network formal sebagai suatu instrumen punishment.  Pemerintah harus menetapkan bentuk sanksi yang jelas terhadap lembaga  yang tidak berhasil menunjukkan kinerja yang baik. Misalnya dalam bentuk  pemotongan gaji atau pemberhentian sementara dari insentif remunerasi.  Sebaliknya terhadap lembaga yang menunjukkan kinerja lebih baik,  pemerintah harus memberikan bentuk reward seperti kenaikan gaji atau  lainnya.  
Penguatan elemen-elemen tersebut dalam setiap individu pegawai  khususnya atau masyarakat umumnya akan melahirkan mekanisme pengawasan  internal yang sangat efektif. Karena modal sosial dapat mengambil bentuk  kerja sama, bersinergi, saling mengingatkan, dan seterusnya. Mekanisme  tersebut sebagai upaya penyesuaian dan koordinasi tingkah laku yang  diperlukan untuk mengatasi konflik serta pelanggaran-pelanggaran  terhadap suatu norma atau hukum.  
Terungkapnya kasus Gayus membuktikan telah terjadi krisis modal  sosial di Indonesia sehingga korupsi terus berkembang mulai dari  organisasi RT bahkan sampai pada level lembaga atau institusi  pemerintah. Oleh karena itu, penulis menyarankan supaya studi-studi  kebijakan yang komprehensif termasuk studi modal sosial bisa menjadi  bagian penting dari setiap proses penyusunan kebijakan, termasuk di  dalam mengevaluasi kebijakan remunerasi. Jika mekanisme ini telah  berjalan, terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera adalah suatu  keniscayaan. 
Oleh M Athar Ismail Muzakir SSi, ME 
Staf Kedeputian Bidang Program Riptek-Kementerian Ristek
opini media indonesia 27 mei 2010 
26 Mei 2010
» Home » 
Media Indonesia » Kajian Modal Sosial untuk Kebijakan Remunerasi
Kajian Modal Sosial untuk Kebijakan Remunerasi
Thank You!