26 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Merindu Pemimpin Berakal Budi Suci

Merindu Pemimpin Berakal Budi Suci

DALAM perjalanan terkait ”Sebulan Pendalaman Dhamma” menyongsong Waisak ke kota-kota di Sulawesi Utara, Yogyakarta, Semarang, Pekalongan, Surabaya, Banjarmasin dan berbagai kota di daerah lain, saya melihat banyak baliho di sepanjang jalan, tanda menjelang hajat pilkada.
Sejak kita memasuki era reformasi, perubahan besar telah terjadi. Pemimpin dipilih secara langsung, tanpa rahasia. Pemimpin yang demokrasi ”liberal” berbeda dari penguasa, sosok seorang raja berkekuasa ”feodal”.
Asal-usul sang pemimpin didapat dari kesepakatan bersama, dipilih dengan cara pemungutan suara. Siapa memperoleh suara terbanyak dikukuhkan jadi pemimpin yang sah, secara demokrasi-liberal. Dalam menjalankan roda pemerintahan, dia tunduk pada haluan yang ditentukan bersama, kata mufakat rakyat melalui permusyawaratan perwakilan.

Adapun asal-usul seorang raja, tidak lewat pemilihan banyak suara. Pokoknya, siapa berani maju ke medan laga, satu lawan satu, beradu kekuatan fisik ataupun mental, layaknya jawara sakti, atau adu kekuatan finansial membagi-bagi harta kekayaan rezeki.


Lepas dari hal tersebut di atas, yang selalu diidam-idamkan oleh banyak orang adalah pemimpin ataupun penguasa yang punya dua hal pokok. Pertama; berjiwa hati bersih dan berwibawa, berkemanusiaan dan berkeadilan, bisa menjadi pengayom dan pengayem bagi kaumnya. Syarat-syarat yang diajukan, bila bisa masyarakat menginginkan mendapatkan yang berhati Tuhan, bersifat seperti malaikat, paling tidak jiwanya seperti Nabi, atau merindu-rindu yang berakal budi suci seperti Buddha.

Kedua; pinter, bener, dan kober. Artinya pandai, benar, dan peduli (sempat). Tiga akar kata indium Jawa hampir asing bagi generasi masa kini. Kata-kata itu menjadi titik sentrum cakrawala dua dunia: sekuler dan spiritual. Telah teruji dan terbukti dayanya mampu menembus sekat-sekat zaman, batas-batas nusa, manusia, bangsa, budaya, agama yang berbeda-beda pun.

Sosok pinter, bener, kober melebihi cendekiawan yang ilmuwan. Ilmuwan adalah seorang akademisi secara koqnitif, -mumpuni ilmu pengetahuan teknologi. Cendekiawan adalah seorang yang bisa mentransformasi bahasa ilmiah ke bahasa alamiah sehari-sehari secara afektif, kemanusiaan. Juga bisa menerjemahkan bahasa kitab suci agama menjadi bahasa perilaku kehidupan seharai-hari secara normatif, kerohanian. 

Berdampak Sistemik

Lazimnya ilmuwan mahir berteori tapi tiba giliran praktik ”gatot” (gagal total). Sebaliknya, cendekiawan yang tidak ilmuwan, praktiknya tidak terorganisasi secara sistematik sehingga sering ajarannya hanya berdasarkan wangsit, tergantung ilham, dan bila dipraktikkan berdampak sistemik.

Sejarah mencatat bahwa banyak peradaban bangsa, negara, dan agama, hancur ketika didominasi kekuatan tidak seimbang. Antara dipimpin dan kuasai seorang ilmuwan tidak cendekiawan, dan sebaliknya dipimpin dan dikuasai cendekiawan yang tidak ilmuwan.

Akibatnya sering tata kehidupan masyarakatnya menjadi korban kebodohan para pemimpin yang berkuasa, yang diperdaya oleh orang-orang pintar tetapi jahat dan kejam.

Telah banyak pengalaman kita dipimpin dan dikuasai beragam profesi, bahkan sudah memilih sendiri pemimpin dan penguasa yang berjiwa hati bersih dan berwibawa.

 Tetapi belum juga sesuai idaman yang menenteramkan. Sepanjang sejarah, kemanusiaan tentang pemimpin selalu menjadi tema sentral yang menarik dibicarakan. Setiap kelompok memerlukan seorang pemimpin, apakah pemimpin duniawi ataupun spiritual.

Tetapi mengapa telah sepanjang zaman dibahas masih saja tidak pernah tuntas. Jawabnya adalah karena pembahas tidak memberi garis batas yang jelas antara keduanya. Bahwa ternyata antara pemimpin dan  penguasa, berbeda arti diukur dari tingkat keilmuan ataupun kelakuannya. 

Saat bangsa di negeri ini dirundung malang, tertimpa bencana arogansi kaum kuasa, semoga kita tidak salah memilih calon pemimpin. Semoga pula kehadiran Buddha sebagai sumber ketegaran dan kepedulian, memberi inspirasi. Dengan kedamaian kita bangun kebahagiaan sejati. Selamat Hari Raya Tri Suci Waisak 2554/2010. Semoga semua mahkluk berbahagia. (10)

— Bhikkhu Dhammasubho Mahathera, Dewan Sesepuh Sangha Theravada Indonesia

Wacana Suara Merdeka 27 Mei 2010