DALAM perjalanan terkait ”Sebulan Pendalaman Dhamma” menyongsong Waisak  ke kota-kota di Sulawesi Utara, Yogyakarta, Semarang, Pekalongan,  Surabaya, Banjarmasin dan berbagai kota di daerah lain, saya melihat  banyak baliho di sepanjang jalan, tanda menjelang hajat pilkada. 
Sejak kita memasuki era reformasi, perubahan besar telah terjadi.  Pemimpin dipilih secara langsung, tanpa rahasia. Pemimpin yang demokrasi  ”liberal” berbeda dari penguasa, sosok seorang raja berkekuasa  ”feodal”. 
Asal-usul sang pemimpin didapat dari kesepakatan bersama, dipilih dengan  cara pemungutan suara. Siapa memperoleh suara terbanyak dikukuhkan jadi  pemimpin yang sah, secara demokrasi-liberal. Dalam menjalankan roda  pemerintahan, dia tunduk pada haluan yang ditentukan bersama, kata  mufakat rakyat melalui permusyawaratan perwakilan. 
Adapun asal-usul seorang raja, tidak lewat pemilihan banyak suara.  Pokoknya, siapa berani maju ke medan laga, satu lawan satu, beradu  kekuatan fisik ataupun mental, layaknya jawara sakti, atau adu kekuatan  finansial membagi-bagi harta kekayaan rezeki. 
Lepas dari hal tersebut di atas, yang selalu diidam-idamkan oleh banyak  orang adalah pemimpin ataupun penguasa yang punya dua hal pokok.  Pertama; berjiwa hati bersih dan berwibawa, berkemanusiaan dan  berkeadilan, bisa menjadi pengayom dan pengayem bagi kaumnya.  Syarat-syarat yang diajukan, bila bisa masyarakat menginginkan  mendapatkan yang berhati Tuhan, bersifat seperti malaikat, paling tidak  jiwanya seperti Nabi, atau merindu-rindu yang berakal budi suci seperti  Buddha. 
Kedua; pinter, bener, dan kober. Artinya pandai, benar, dan peduli  (sempat). Tiga akar kata indium Jawa hampir asing bagi generasi masa  kini. Kata-kata itu menjadi titik sentrum cakrawala dua dunia: sekuler  dan spiritual. Telah teruji dan terbukti dayanya mampu menembus  sekat-sekat zaman, batas-batas nusa, manusia, bangsa, budaya, agama yang  berbeda-beda pun. 
Sosok pinter, bener, kober melebihi cendekiawan yang ilmuwan. Ilmuwan  adalah seorang akademisi secara koqnitif, -mumpuni ilmu pengetahuan  teknologi. Cendekiawan adalah seorang yang bisa mentransformasi bahasa  ilmiah ke bahasa alamiah sehari-sehari secara afektif, kemanusiaan. Juga  bisa menerjemahkan bahasa kitab suci agama menjadi bahasa perilaku  kehidupan seharai-hari secara normatif, kerohanian.  
Berdampak Sistemik
Lazimnya ilmuwan mahir berteori tapi tiba giliran praktik ”gatot” (gagal  total). Sebaliknya, cendekiawan yang tidak ilmuwan, praktiknya tidak  terorganisasi secara sistematik sehingga sering ajarannya hanya  berdasarkan wangsit, tergantung ilham, dan bila dipraktikkan berdampak  sistemik. 
Sejarah mencatat bahwa banyak peradaban bangsa, negara, dan agama,  hancur ketika didominasi kekuatan tidak seimbang. Antara dipimpin dan  kuasai seorang ilmuwan tidak cendekiawan, dan sebaliknya dipimpin dan  dikuasai cendekiawan yang tidak ilmuwan. 
Akibatnya sering tata kehidupan masyarakatnya menjadi korban kebodohan  para pemimpin yang berkuasa, yang diperdaya oleh orang-orang pintar  tetapi jahat dan kejam.
Telah banyak pengalaman kita dipimpin dan dikuasai beragam profesi,  bahkan sudah memilih sendiri pemimpin dan penguasa yang berjiwa hati  bersih dan berwibawa.
 Tetapi belum juga sesuai idaman yang menenteramkan. Sepanjang sejarah,  kemanusiaan tentang pemimpin selalu menjadi tema sentral yang menarik  dibicarakan. Setiap kelompok memerlukan seorang pemimpin, apakah  pemimpin duniawi ataupun spiritual. 
Tetapi mengapa telah sepanjang zaman dibahas masih saja tidak pernah  tuntas. Jawabnya adalah karena pembahas tidak memberi garis batas yang  jelas antara keduanya. Bahwa ternyata antara pemimpin dan  penguasa,  berbeda arti diukur dari tingkat keilmuan ataupun kelakuannya.  
Saat bangsa di negeri ini dirundung malang, tertimpa bencana arogansi  kaum kuasa, semoga kita tidak salah memilih calon pemimpin. Semoga pula  kehadiran Buddha sebagai sumber ketegaran dan kepedulian, memberi  inspirasi. Dengan kedamaian kita bangun kebahagiaan sejati. Selamat Hari  Raya Tri Suci Waisak 2554/2010. Semoga semua mahkluk berbahagia. (10)
— Bhikkhu Dhammasubho Mahathera, Dewan Sesepuh Sangha Theravada  Indonesia
Wacana Suara Merdeka 27 Mei 2010
26 Mei 2010
» Home » 
Suara Merdeka » Merindu Pemimpin Berakal Budi Suci
Merindu Pemimpin Berakal Budi Suci
Thank You!