05 April 2010

» Home » Lampung Post » Krisis Keuangan Lampung Tengah

Krisis Keuangan Lampung Tengah

Syarief Makhya
Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung
Kabupaten Lampung Tengah kini mengalami krisis keuangan yang mengkhawatirkan. Pemkab Lamteng tidak bisa membayar tunjangan guru yang masih kurang sebulan dan tunjangan aparat pemerintah kampung (TPAPK) tidak bayar, dan tunjangan SKPD juga tersendat pembayarannya karena tidak ada dana. Di samping itu, Pemkab Lamteng juga tersandung masalah tindak pidana korupsi sebesar Rp28 milyar yang sampai sekarang masih dalam proses hukum di pengadilan.
Krisis keuangan yang menimpa Kabupaten Lamteng dari sisi administrasi keuangan daerah tidak akan terjadi, karena secara administratif dana untuk tunjangan guru, tunjangan aparat kampung dan tunjangan SKPD sudah direncanakan dan dialokasikan dalam APBD. Juga, dalam pelaksanaannya dikontrol oleh DPRD.


Namun, kenapa penyimpangan anggaran tersebut bisa terjadi? Fenomena krisis anggaran tidak bisa dijelaskan dalam tataran yuridis formal karena secara prosedur keuangan sudah aturan mainnya. Masalah tersebut, terkait dengan persoalan politik anggaran yang dimainkan oleh aktor yang memiliki pengaruh dan kekuasaan yang sangat kuat di Kabupaten Lamteng.
Pernyataan Herman Hasbullah, bahwa "biang keladi masalah tindak pidana korupsi di Lamteng yaitu adanya hasrat Andy Achmad Sampurna Jaya yang hendak mencari kendaraan politik untuk maju dalam pemilihan gubernur Lampung periode 2008/2013."
Pernyataan tersebut, secara jelas menunjukkan adanya dominasi kekuasaan bupati yang bisa mengendalikan aparatur birokrasi pemerintahan agar berbagai perintahnya bisa ditaati dan dilaksanakan, sekalipun secara prosedur menyalahi aturan hukum.
Politik Anggaran
Dari sisi penyelenggaraan pemerintahan, faktor pembiayaan keuangan adalah syarat mutlak untuk memfungsikan pemerintahan, tanpa dukungan dana maka pemerintah tidak akan fungsional bahkan keberadaannya menjadi hilang.
Pada tataran ideal fungsi anggaran dimaksudkan untuk menyejahterakan masyarakat dan menstabilkan harga. Namun, dalam prakteknya, anggaran pemerintah adalah sarat dengan kepentingan politik. Menurut Irene S. Rubin (2000), "dalam penentuan besaran maupun alokasi dana publik senantiasa ada kepentingan politik yang diakomodasi oleh pejabat. Bahwa alokasi anggaran acap juga mencerminkan kepentingan perumus kebijakan terkait dengan konstituennya."
Persoalan krisis anggaran di Lamteng harus dilihat dalam perspektif kepentingan pejabat politik yang tidak bisa dikontrol sehingga berakibat mengorbankan kepentingan masyarakat luas.
Jalan ke luar untuk mengatasi krisis keuangan di Lamteng bukan dengan cara memerger, karena kriris keuangan di Lamteng bukan akibat keterbatasan PAD, tetapi karena persoalan struktural akibat fenomena kekuasaan yang tidak bisa dikontrol.
Kabupaten Lamteng yang memiliki sejarah panjang dalam perjalanan pemerintahan di Lampung akan menjadi ahistoris kalau jalan keluarnya harus dimerger dengan kabupaten lain.
Persoalan Struktural
Krisis keuangan di Kabupaten Lamteng bisa juga terjadi di kabupaten/kota lain karena gejala penyalahgunaan keuangan daerah merupakan persoalan yang struktural sebagai akibat ketergantungan pembiayaan politik pada APBD.
Ongkos politik pascapilkada atau untuk kepentingan mencalonkan kembali, serta untuk menjaga dukungan politik selama berkuasa, sebagian besar pendanaannya bersumber dari APBD. Implikasinya, berbagai program dalam APBD kemudian dijadikan alat untuk mencari keuntungan di antara aktor-aktor yang terlibat, APBD dipakai sebagai alat untuk kompromi politik yang berakibat fungsi pengawasan oleh DPRD tidak efektif, dan program–program APBD juga tidak berpihak pada kepentingan rakyat luas; APBD hanya refleksi dari ide-ide dan kepentingan elite yang berkuasa.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, kita tidak bisa berharap DPRD bisa mengontrol persoalan struktural APBD karena di samping anggota DPRD memiliki keterbatasan dalam melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan, juga seringkali sebagian anggota DPRD menjadi bagian dari konspirasi politik dengan kepentingan pejabat politik.
Problem struktural penyalahgunaan anggaran pemerintah, tidak bisa diselesaikan oleh lembaga pengawas di internal birokrasi pemerintahan dan pengawasan politik oleh DPRD, karena kedua institusi tersebut bisa dikooptasi oleh dominannya kekuasaan pejabat politik.
Satu-satunya yang paling efektif adalah dengan mendorong kekuataan masyarakat untuk rajin dan berani mengadukan persoalan penyalahgunaan anggaran kepada KPK dan melakukan pencitraan negatif melalui kekuatan opini di media.
Opini Lampung Post 06 April 2010