Kalaupun muncul nama Guruh Soekarnoputra, dukungan terhadap Guruh seolah-olah tenggelam di tengah aspirasi yang menginginkan pengukuhan kembali Mega sebagai ketua umum.
Pengukuhan kembali Mega membuat pertarungan kemudian bergeser pada dua arena. Arena pertama, berlangsung dalam proses kontestasi pengisian posisi- posisi strategis dalam partai, seperti wakil ketua umum dan sekjen partai. Arena kedua adalah dalam menentukan posisi partai, terutama dikaitkan dengan pilihan oposisi atau berkoalisi dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.
Bisa jadi dua arena itu bukan arena yang terpisah sama sekali, karena bagaimanapun pasca-pemilihan presiden 2009, di internal PDI-P muncul perdebatan tajam mengenai posisi politik partai: apakah berada di dalam atau di luar pemerintahan? Perdebatan itu sekaligus merepresentasikan pemilahan posisi politik aktor-aktor utama di PDI-P.
Dengan munculnya pemilahan ini, kongres akan menjadi medan pertarungan kuasa antarfaksi, bukan hanya persaingan dalam memengaruhi posisi yang akan diambil oleh partai, melainkan juga pertarungan dalam memperebutkan posisi-posisi strategis dalam partai.
Dalam konteks munculnya politik faksionalisme yang memiliki aspirasi dan kepentingan berbeda atau bahkan bertabrakan, Mega kembali menjadi semacam patron yang memainkan politik penyeimbang dari proses kontestasi kuasa antarfaksi di tubuh PDI-P.
Gaya kepemimpinan yang sedikit bicara tapi memiliki posisi politik yang kukuh seperti ”batu karang” membuat berbagai faksi harus mengambil konsensus minimal, bahwa keberadaan Mega masih diperlukan untuk mencegah medan pertarungan antar- kekuatan dalam partai bisa meluas menjadi perpecahan.
Konsensus untuk menghadirkan patron, dalam jangka pendek, memang bisa membangun kondisi ”koeksistensi damai” dalam realitas pertarungan antarfaksi, tetapi dalam jangka panjang model ini jelas mempunyai sejumlah keterbatasan.
Keterbatasan pertama, politik patron akan melemahkan kapasitas partai dalam mengelola konflik secara melembaga. Ketika semua penyelesaian konflik diserahkan pada ketua umum, yang dibekali sejumlah hak prerogatif, maka elite-elite partai akan tidak pernah belajar mengelola perbedaan di antara mereka.
Setidaknya, hal ini ditunjukkan dengan perilaku elite PDI-P, di level nasional ataupun daerah, dalam sepuluh tahun terakhir yang selalu menjadikan Mega sebagai ujung akhir dari rivalitas politik antarmereka. Tidak aneh kemudian muncul semacam proses rasionalisasi ketergantungan pada patron yang dilakukan secara terus-menerus.
Dalam proses pelembagaan patron itu, para elite tidak percaya diri kalau tidak menggunakan klaim ”restu Ibu”, ”telah dikonsultasikan dengan Ibu”, atau ”menurut Ibu”. Bahkan, para elite partai akan melakukan berbagai manuver politik untuk memperbesar akses ke Sang Patron atau orang dekatnya.
Keterbatasan yang kedua, posisi politik yang diambil patron tidak akan pernah tegas karena patron harus menjaga perimbangan relasi kuasa, membangun titik kompromi serta cenderung mengakomodasi kepentingan antarfaksi. Boleh dikatakan, keseimbangan antarfaksi adalah hal yang pokok dalam model perpolitikan berbasis patron. Konsekuensinya, posisi politik yang akan diambil partai pun akan bersifat lentur sejalan dengan proses akhir negosiasi ataupun pakta kompromi yang dihasilkan antarfaksi.
Kelenturan dalam mengakomodasi realitas kepentingan internal ini tentu saja membawa kesulitan untuk menerjemahkan sebuah wacana politik yang telah direproduksi secara terus-menerus ke akar rumput bahwa PDI-P adalah partai ideologis. Dengan demikian, dalam konteks akomodasi kepentingan, rumusan sebagai partai ideologis justru menjadi ”lentur”, kabur, dan kehilangan makna.
Hal ini terlihat jelas ketika beberapa elite partai mengaitkan posisi PDI-P sebagai partai ideologis dengan kepentingan politik jangka pendek, terutama keharusan membangun blok politik dengan partai-partai yang memiliki ideologi yang sama. Tentu saja arah yang dituju semakin jelas karena melalui rumusan tafsir ideologis semacam ini bisa menjadi pembenar atas berbagai inisiatif ataupun manuver politik untuk merapat dalam koalisi pemerintahan, dengan ”tempelan” wacana pemanis: koalisi ideologis.
Dengan demikian, rumusan sebagai partai ideologis tidak pernah diterjemahkan secara jelas dan tuntas sehingga membuka ruang manuver yang lebar bagi elite partai untuk menafsirkan secara pragmatis dan menggunakannya untuk mencapai tujuan- tujuan jangka pendek. Apa yang disebut dengan posisi ideologi partai justru lebih banyak dideterminasi oleh kepentingan politik jangka pendek dari para elite partai.
Oleh karena itu, tantangan terbesar yang dihadapi PDI-P adalah menerjemahkan pilihan sebagai partai ideologis dalam kerja-kerja politik partai. Hal ini jelas merupakan pekerjaan yang sulit. Karena setidaknya, dalam kerja-kerja politiknya, PDI-P harus menyambung dan memadukan tiga logika sekaligus: kerja dalam logika ideologis, logika representasi, dan logika kompetisi (elektoral).
Logika ideologis mengandaikan kerja-kerja partai didasarkan pada perjuangan untuk mewujudkan imajinasi kolektif yang ingin dibangun, sedangkan dalam logika representasi, kerja-kerja partai adalah untuk mewakili dan memperjuangkan kepentingan pihak-pihak yang mendukungnya (konstituen). Dan logika terakhir adalah logika kompetisi, di mana kerja-kerja partai dilakukan untuk merebut dukungan sebanyak-banyak dalam prosesi elektoral. Bagaimanapun sulitnya memadukan tiga logika di atas, itulah tantangan PDI-P untuk keluar dari politik patron.