Lawan bicaranya menentang rencana pembangunan jembatan berbiaya Rp 600 miliar itu karena dinilai tidak peka terhadap masalah keterisolasian di wilayah kepulauan. Perdebatan serupa muncul di Ternate, Maluku Utara. Warga berpolemik soal rencana pembangunan Jembatan Tastera yang menghubungkan Pulau Ternate dan Halmahera.
Pemerintah berniat membangun kedua jembatan guna menciptakan pusat-pusat perekonomian baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. Kemudahan akses transportasi diharapkan memicu geliat perekonomian masyarakat.
Bagaimana pembangunan pulau-pulau lain di Provinsi Maluku dan Maluku Utara yang terdiri atas 1.027 pulau? Ketimpangan pembangunan inilah yang kemudian memicu perdebatan seru, apakah sudah saatnya jembatan antarpulau atau antarjazirah dibangun saat infrastruktur transportasi kelautan masih sangat minim? Di sisi lain, akses layanan kesehatan dan pendidikan juga belum memadai.
Mukhtar Adam, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sultan Khairun Ternate, menilai, rencana membangun jembatan antarpulau tidak tepat di saat fondasi perekonomian daerah masih rapuh. Pemerintah seolah menutup mata pada potensi daerah yang jadi tulang punggung perekonomian rakyat. Nelayan mengeluhkan tidak ada keberpihakan regulasi yang diimplementasikan secara nyata. Demikian juga petani kelapa selama puluhan tahun dirundung hama seksava (belalang pemakan daun kelapa). Petani cengkeh terpuruk dan banyak beralih profesi menjadi buruh bangunan atau tukang ojek.
Tengoklah kondisi di Kabupaten Kepulauan Aru. Daerah ini kaya ikan karena dikepung Laut Arafura dan Aru, tetapi hanya dikunjungi dua kapal PT Pelni, yaitu KM Ciremai dan KM Kelimutu, sebulan sekali. Selebihnya, warga harus bertaruh nyawa karena mengandalkan pelayaran rakyat yang sangat terbatas kemampuan angkut dan jelajahnya. Karena desakan kebutuhan di tengah minimnya sarana transportasi, warga sering mengabaikan keselamatan.
Salah satu contoh adalah tenggelamnya
Warga kepulauan menanggung ekonomi biaya tinggi. Mereka harus membeli barang kebutuhan pokok dengan harga mahal. Sementara hasil laut atau bumi dihargai rendah oleh tengkulak dengan alasan biaya angkut mahal. Winarni Monoarfa, Ketua Kelompok Kerja Forum KTI, menegaskan, daerah-daerah di KTI masih sangat minim infrastruktur. Karena itu, di setiap musyawarah rencana pembangunan (musrembang), selalu didorong penambahan anggaran untuk daerah tertinggal. Di KTI yang didominasi wilayah laut, pembangunan kelautan sangat penting.
Agus Martowardojo, Direktur Utama Bank Mandiri, menegaskan, potensi pengembangan perekonomian di KTI yang demikian besar terbentur pada minimnya infrastrukur pendukung, seperti listrik dan transportasi. Mengutip data dari Departemen Pekerjaan Umum, ia menyebutkan, infrastruktur jalan di KTI belum memadai, terutama di Papua, di mana hanya 5 persen dari jalan dalam kondisi baik. Khusus untuk listrik, rasio elektrifikasi, yaitu jumlah rumah tangga yang dapat mengakses fasilitas listrik, di beberapa provinsi di KTI masih relatif rendah. Wilayah NTT, NTB, Papua, Papua Barat, dan Sulawesi Tenggara memiliki rasio elektrifikasi di bawah 40 persen.
Untuk infrastruktur pelabuhan, Data Kementerian Perhubungan menunjukkan bahwa 56 persen pelabuhan nasional berada di KTI. Papua dan Papua Barat merupakan wilayah yang memiliki 113 pelabuhan, terbanyak di Indonesia. Kelebihan ini dapat menjadi daya saing KTI, mengingat pelabuhan merupakan infrastruktur yang sangat menunjang perdagangan. Namun, sebagian besar pelabuhan di KTI tidak bisa berfungsi normal karena kondisinya rusak.
Pengembangan infrastruktur kelautan akan semakin cepat jika kegiatan sektoral dari masing-masing kementerian terintegrasi. Daripada membangun jembatan antarpulau, lebih baik memperbanyak kapal dan meningkatkan kapasitas pelabuhan.
Opini Kompas 6 April 2010