Oleh Ratna Januarita
Pikiran Rakyat, dalam rubrik kolom (31/10) melontarkan persoalan whistleblower (pelapor). Tokoh whistleblower terpopuler saat ini adalah Susno Duadji. Dia memang bukan orang pertama di negeri ini yang menjadi pelapor atas pelanggaran atau kejahatan tetapi kegigihannya membuka satu per satu lapisan pelanggaran swasta, birokrat, dan institusi yang terlibat menyerupai bola salju yang bergulir dan membesar. Kita berharap, bola ini memiliki arah dan tujuan yang tepat sehingga dapat membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang seyogianya menjadi pengayom masyarakat.
Dari serangkaian inisiatif, pedoman, konvensi, survei, dan riset yang berkaitan dengan upaya penerapan praktik tata kelola yang baik (good governance) termasuk pemberantasan korupsi, suap, dan praktik kecurangan lainnya, umumnya menyimpulkan, salah satu cara efektif mencegah dan memerangi praktik yang bertentangan dengan good governance adalah melalui sistem pelaporan pelanggaran.
Satu dari empat karyawan mengetahui kejadian pelanggaran, tetapi lebih dari separuh (52 persen) dari yang mengetahui terjadinya pelanggaran tersebut tetap diam dan tidak berbuat sesuatu. Demikian kesimpulan survey Institute of Business Ethic pada 2007 (KNKG, 2008). Umumnya, keengganan melaporkan pelanggaran ini karena konsekuensi buruk dan risiko yang bakal ditanggungnya kelak. Tidak adanya perlindungan hukum menjadi faktor utama yang membungkam hasrat melapor.
Pelaporan atas pelanggaran, perbuatan melawan hukum, tidak etis, atau merugikan organisasi atau pemangku kepentingan haruslah dilakukan dengan itikad baik dan bukan merupakan keluhan pribadi atas suatu kebijakan institusi, atau bahkan dilandasi dengan itikad buruk atau fitnah. Sebenarnya, yang menjadi pelapor adalah karyawan atau orang dalam dari suatu institusi, akan tetapi tidak tertutup munculnya pelapor eksternal institusi yang menjadi konstituen institusi, misalnya konsumen, pelanggan, pemasok, masyarakat. Sistem pelaporan ini tidak hanya dapat diterapkan pada institusi pemerintah, tetapi direkomendasi pula di institusi swasta.
Indonesia belum memiliki peraturan khusus yang secara komprehensif mengatur sistem pelaporan pelanggaran sebagai sebuah sistem. Namun, ada beberapa peraturan perundangan yang secara parsial mengatur pelaporan pelanggaran dan perlindungan pelapor. Beberapa di antaranya, Pasal 9 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Pasal 31 dan 41 Ayat (2) Butir e UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Pasal 39-43 UU No. 15 Tahun 2002 jo. UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; Pasal 153 Ayat (1) Huruf l dan Pasal 158 Ayat (1) Huruf I UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Pasal 10 Ayat 1 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; PP No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang; Peraturan Kapolri No. 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang.
Namun, beberapa ketentuan hukum tersebut belum menciptakan sistem dan mekanisme yang efektif atas whistleblowing. Masih dibutuhkan perangkat hukum yang lebih memberikan perlindungan dan menjamin keselamatan pelapor. Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) sebagai lembaga mitra pemerintah yang mengemban amanah mempromosikan praktik tata kelola yang baik di sektor publik dan privat, mengeluarkan Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran pada 10 November 2008. Pedoman yang dapat diunduh melalui www.governance-indonesia.com ini menyediakan panduan bagi institusi yang ingin membangun dan menerapkan, sistem pelaporan pelanggaran. Salah satu karakteristik pedoman adalah tidak mengikat. Artinya dibutuhkan perangkat yang bersifat legal agar semangat dalam pedoman dapat diimplementasi dan dilakukan penegakan.
Ciri lainnya, pedoman bersifat generik. Bagi institusi yang hendak mengacu terhadap pedoman ini dapat secara leluasa mengadopsi dan mengadaptasi sesuai kebutuhan dan keunikan masing-masing organisasinya, bahkan dapat mengangkat nilai kearifan lokal masyarakat atau yang sudah dibentuk dalam institusi tersebut. Dengan tersistematisnya sistem pelaporan pelanggaran, membuka peluang meningkatnya karyawan, pemangkul kepentingan lain, dan masyarakat dalam melaporkan adanya pelanggaran atau kejahatan.
Apabila serangkaian regulasi tersebut dapat dirancang baik, di kemudian hari, whistleblowing akan menjadi sesuatu yang dijamin hukum aspek perlindungan dan keselamatan bagi pelapornya. Kelak, hukum sebagai panglima atau hukum yang memenuhi rasa keadilan bukan hanya cita-cita, melainkan menjadi sistem perlindungan bagi masyarakatnya.
Barangkali kita perlu bertanya pada diri sendiri, akan berperan sebagai apa di tengah ramainya pelanggaran dan kejahatan di bumi pertiwi? Apakah mengikuti jejak Susno Duadji atau diam saja? Ada baiknya merenungkan hadits Rasulullah Saw., "Barangsiapa diam saat menyaksikan kezaliman atau bahkan orang yang dizalimi pun diam, artinya ia sudah ikut serta dalam kezaliman tersebut."***
Penulis, board member Komite Nasional Kebijakan Governance, dosen Fakultas Hukum Unisba, mahasiswa S-3 Ilmu Hukum Unpad.
Opini Pikiran Rakyat 06 April 2010