05 April 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Menghadapi ACFTA

Menghadapi ACFTA

Oleh H. EDDY JUSUF
PERJANJIAN perdagangan bebas antara ASEAN-Cina atau ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) dapat menjadi bumerang bagi sektor riil. Khususnya pada level usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), apabila tak diimbangi ketegasan dari kebijakan pemerintah yang berhulu di sektor ini. Ketegasan pemerintah diperlukan guna mengembangkan daya saing dari keuntungan komparatif (comparative advantage) menjadi kompetitif (competitive advantage).
Kebijakan pemerintah tersebut memungkinkan bagi pelaku usaha kecil mendapat peluang besar dari penerapan ACFTA ini. Dari sisi keunggulan usaha kecil yang kini menguasai wilayah produk, seperti furnitur, garmen, dan handicraft, sangat boleh jadi akan terus berkembang dan merambah benua lain. Selama ini, diketahui ada beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi keunggulan kompetitif dari sisi produk, misalnya Yogyakarta, Bali, dan Jawa Barat.
Sektor usaha kecil di Indonesia masih mendominasi sektor usaha lain yang mampu menampung jutaan pekerja atau sekitar 97,4 persen dari total angkatan kerja, dan menyubsidi perekonomian nasional 55,56 persen. Sementara kontribusi terhadap ekspor baru sekitar 20,17 persen terhadap total ekspor. Artinya, peran usaha kecil ini sangat berpotensi ekspor dan harus terus didorong keberadaannya agar termotivasi dengan baik. 

Dampak buruk dari ACFTA juga dapat mengimbas sektor riil ketika pemerintah pusat dan daerah tidak serius menangani peningkatan daya saing usaha kecil. Jaminan iklim usaha yang lebih kondusif, dan mampu melihat potensi di daerah masing-masing, dipadukan sebagai satu kekuatan menjadi peluang bisnis. Semua itu untuk mengimbangi kepiawaian para saudagar Cina dalam kancah perekonomian dunia yang sudah tidak diragukan lagi. Terbukti pada 2010 ini, Cina menjadi eksportir terbesar di dunia menandingi Amerika Serikat dan Jerman. Dari catatan OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) PDB Cina terhadap PDB dunia meningkat dari 1,3 persen pada 1990 menjadi 7,3 persen pada 2008.
Pertumbuhan ekonomi dalam negeri Cina tergolong cepat di dunia. Pada 2009 tumbuh sekitar 8,7 persen, dan 2010 diproyeksikan mencapai 9,5 persen. Tentunya di sana ada peluang bagi Indonesia, karena dalam negeri Cina sendiri dipastikan dapat menyerap berbagai kebutuhan dari negara lain. Wajar, jika Cina mendapat julukan consumer of the last resort, karena memiliki potensi sangat besar dari sisi konsumen. Kalau pemerintah memiliki kepentingan terhadap ACFTA yang jauh lebih besar, karena consumer of the last resort sebagai sasaran potensi konsumen, tentunya kebijakan ekonomi dalam membangun daya saing usaha kecil dari comparative advantage menjadi competitive advantage, sangat penting dilakukan.
Artinya, pemerintah harus melihat potensi yang lebih besar, bahwa kekuatan bangsa ini dari sisi manufaktur, selain sumber daya alam dan mineral serta sumber daya manusia sebagai human capital yang sangat berharga. Selain dapat diandalkan sebagai domestic market berbasis pertumbuhan industri dan ekonomi berskala nasional, juga diposisikan sebagai ujung tombak untuk menggali ekspor. Apalagi pemerintah akan meningkatkan pertumbuhan investasi hingga 10 persen pada RPJMN 2011, agar memenuhi target pertumbuhan ekonomi nasional 6,3 persen.
Dalam konteks tersebut, usaha kecil menjadi paku bumi dalam menunjang RPJMN 2011 melalui daya saing produk yang dihasilkan untuk diekspor. Usaha kecil memiliki peluang besar dalam mengisi permintaan baik barang jadi konsumsi dalam negeri Cina, maupun bahan baku barang-barang ekspor Cina ke negara lain.
Adanya sejumlah komoditas dalam negeri yang bakal terpukul akibat pemberlakuan tarif nol persen merupakan konsekuensi dari ACFTA . Namun, ketika ada peluang tarif nol persen untuk beberapa komoditas industri sebanyak 300 lebih sebagaimana diajukan PT Krakatau Steel agar menunda pelaksanaannya hingga 2018, tentunya menjadi pertimbangan lain pemerintah. Dengan masuknya investor dari Korea (Posco) ke PT Krakatau Steel, mungkin satu solusi guna mendorong kinerjanya, sehingga kapasitas produksi dan efisiensi dapat ditingkatkan.
Kalangan industri dalam mengantisipasi dampak negatif ACFTA, kini mengelompokkan dirinya ke dalam beberapa kluster, yang dipergunakan Kementerian BUMN. Dengan demikian, dapat mengetahui apa yang menjadi keunggulan dan kelemahan masing masing.
Dari ilustrasi tadi, sejatinya pemerintah dapat mengambil sikap tegas dan berani mengambil keputusan ekonomi yang mampu mengamankan kebijakan nasional dalam membangun modal sosial (social capital) para pelaku usaha, khususnya usaha kecil yang dijamin mendapatkan haknya untuk hidup dan berkembang bersanding dengan usaha menengah dan besar di negeri ini.***
Penulis, Guru Besar Kopertis Wilayah IV Dpk. Universitas Pasundan Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 06 April 2010