BELUM juga terungkap tuntas kasus Bank Century, kini jagad hukum disibukkan oleh perbincangan tentang pegawai golongan III a Ditjen Pajak di Jakarta Gayus Tambunan.
Alumnus STAN itu dua hari sebelum dinyatakan buron ke Singapura, dalam curhatnya kepada anggota Satgas Antimafia Hukum, mengaku dirinya hanya ikan teri di lautan markus. Artinya yang ia lakukan adalah hal biasa di tempat kerjanya dan ia merasa tidak bersalah.
Sebagai teri ia punya simpanan Rp 24 miliar, tentunya para ikan paus meraup lebih besar. Menghubungkan perilaku hukum aparat negara seperti polisi, jaksa, dan hakim dengan remunerasi tentulah hal menarik.
Remunerasi (remuneration) bisa diartikan sebagai gaji atau penghargaan bagi orang yang bekerja.
Pertanyaannya, apa relevansinya dengan upaya penegakan hukum? Apa pengaruhnya bagi peningkatan kinerja? Pertanyaan itu wajar di tengah krsisis kepercayaan kepada institusi penegak hukum yang ditunjukkan dengan menguaknya jaringan makelar kasus dalam perpajakan.
Seperti yang diuangkapkan Komjen Susno Duadji di Mabes Polri, dan sebelumnya oleh Mahfud MD dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, semua itu sebagai akibat tidak profesionalnya polisi dan jaksa menangani perkara korupsi. Terbukti dalam kasus penanganan Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah selaku pimpinan nonaktif KPK kala itu. Sebelumnya, saat jaksa Urip Tri Gunawan tertangkap bersekongkol dengan markus Artalita Suryani yang ”meloloskan” Djoko S Tjandra, dan Kejakgung dituding tidak becus menangani korupsi .
Alih-alih memperbaiki kinerja, Jakgung Hendarman Supandji malah meminta tambahan anggaran Rp 10 triliun untuk memperbaiki fasilitas jaksa agar tidak mudah tergoda, lewat Komisi III DPR. Kita bisa menelusuri berbagai aturan terkait remunerasi. Sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2005-2025 dan Peraturan Menneg PAN Nomor Per/15/MPAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi, kebijakan remunerasi diperuntukan bagi pegawai negeri di seluruh lembaga pemerintahan.
Melayani Masyarakat
Berdasarkan urgensinya bisa dikelompokan berdasarkan skala prioritas. Prioritas pertama adalah seluruh instansi rumpun penegak hukum, rumpun pengelola keuangan negara, rumpun pemeriksa, dan pengawas keuangan negara, serta lembaga penertiban aparatur negara.
Prioritas kedua adalah kementerian/ lembaga yang terkait dengan kegiatan ekonomi, sistem produksi, sumber penghasil penerimaan negara dan unit organisasi yang melayani masyarakat secara langsung, termasuk pemda. Prioritas ketiga adalah seluruh kementerian/ lembaga yang tidak termasuk prioritas pertama dan kedua.
Dengan demikian sesungguhnya remunerasi yang diterima penegak hukum seperti hakim di Pengadilan Negeri Tangerang yang kemudian memvonis bebas Gayus pada 12 Maret 2010 bukanlah kontroversi baru. Sebab , mulai 1 April 2008 kontroversi itu sudah terjadi. Saat itu, tunjangan di lingkungan Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi naik fantastis. Angka kenaikannya bahkan mencapai 300 persen. .
Dalam Perpres Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kinerja Hakim dan Pegawai Negeri di Lingkungan MA dan Peradilan di bawahnya disebutkan, besaran tunjangan untuk ketua MA Rp 31,1 juta dan wakil ketua MA Rp 25,8 juta. Sementara untuk ketua Pengadilan Tinggi Rp 13 juta, hakim biasa Pengadilan Tinggi Rp 10 juta, dan hakim Pengadilan Tinggi kelas II Rp 4,2 juta.
Kenaikan tersebut tidak termasuk gaji pokok. Perpres-perpres kontroversi itu tidak akan pernah bisa diakses masyarakat karena selama ini penyusunan dan publikasinya cenderung tertutup. Karena itu, wajar kalau beberapa pihak, terutama kalangan pegiat antikorupsi, menilai kenaikan tunjangan tersebut sangat berlebihan.
Dalam konteks pemerintahan SBY, remunerasi di lingkungan MA dan PT tentunya bertujuan mewujudkan reformasi birokrasi dengan cara sistem penggajian jelas dan terbuka. Pada gilirannya pola itu diharapkan menghindarkan para wakil Tuhan di muka bumi dari perilaku atau perbuatan menyimpang. Yang menjadi pertanyaan, benarkah hakim-hakim kita telah bertindak dan bekerja dengan hasrat yang tinggi dalam menuntaskan berbagai kasus yang merugikan negara belakangan ini sehingga layak memperoleh imbalan yang pantas pula?
Seiring dengan masih banyaknya dijumpai putusan yang dalam pandangan pemerhati hukum dinilai tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat dan begitu tingginya perkara yang belum terselesaikan di MA, tentu remunerasi itu mengundang setumpuk kontroversi.
Dalam pandangan hakim, remunerasi tentu tidak salah karena parameter hakim sekarang, kesejahteraan dinilai dari seberapa besar penghasilan hakim sehingga dia menjadi hidup layak di tengah masyarakat yang serbamengukur keberhasilan seseorang dari kacamata materi.
Dalam kasus mantan Jaksa Agung Muda Kemas Yahya, yang diduga memiliki rumah bernilai miliaran rupiah, untuk syukuran naik pangkat saja menghabiskan ratusan juta rupiah, padahal dia cuma bergaji Rp 7 juta/ bulan (Tempo, 24 Maret 2008). Karena itu, terjawab sudah bahwa remunerasi di lingkungan birokrasi keadilan saat ini tidak identik dengan peningkatan mutu keadilan.
Berdasarkan PP Nomor 21 Tahun 2009 tentang Tabel Gaji Anggota Polri, tertulis gaji terendah golongan I tamtata Bhayangkara II Rp 1.090.000, dan perwira tinggi golongan IV Rp 3.525.000. Faktanya dengan gaji ”kecil”, mereka mampu membeli dan memiliki barang mewah. Jadi, kalau model remunerasi itu diawali dari gaji hakim, kemudian di kepolisian dan kejaksaan sesungguhnya model itu hanya berlaku bagi pemberantasan korupsi kelas teri. (10)
— Muhammad Taufiq SH MH, advokat, mahasiswa S3 ilmu hukum UNS, penerima beasiswa studi Remuneration dan Corporate Governance di Tokyo tahun 2008
Wacana Suara Merdeka 6 April 2010