23 April 2010

» Home » Jawa Pos » Kompleksitas Konflik Industri

Kompleksitas Konflik Industri

HUBUNGAN kerja industri memiliki kompleksitas sumber dinamika seperti isu upah, kesejahteraan pekerja, dan identitas para pekerja. Sumber-sumber dinamika hubungan kerja tersebut mampu mendorong efektivitas proses industri sekaligus menciptakan konflik kekerasan yang mereduksi kualitas kerja industri. Itu bisa menyebabkan efek-efek tak produktif seperti berhentinya aktivitas perusahaan, kerugian ekonomis, dan merenggangnya kohesivitas sosial antar-pekerja.

Konflik kekerasan yang terjadi di Batam pada 22 April tersebut merupakan bagian dari kompleksitas sumber-sumber dinamika hubungan industri. Diberitakan bahwa kerusuhan itu mengakibatkan sembilan pekerja perusahaan terluka parah. Enam orang di antara mereka berkewarganegaraan India dan sisanya WNI.

Kerusuhan tersebut juga mengakibatkan sedikitnya 38 mobil rusak parah dan kerugian diperkirakan mencapai puluhan miliar rupiah (Jawa Pos, 23/4/2010). Hal terpenting dalam menghadapi fenomena kompleksitas sumber dinamika hubungan industri adalah seberapa jauh mekanisme damai di tingkat individual, kelompok, dan kelembagaan. Tanpa mekanisme damai, kekerasan selalu menjadi pilihan tak terelakkan.

Jejaring Identitas

Konflik kekerasan dalam hubungan industri seperti yang terjadi di Batam merupakan pengaruh salah satu sumber dinamika hubungan industri, yaitu identitas. Identitas adalah pendefinisian terhadap diri dan kelompok yang direpresentasikan melalui beragam bahasa simbolis. Seperti pakaian, kesenian, kata-kata, nama, dan bendera yang selalu dimaknai adiluhung.

Bahasa simbolis tersebut memiliki sifat dasar sosial dalam bentuk ingin diakui (recognized) sekaligus dipertahankan (defended). Franke Wilmer dalam The Social Construction of Man, State, and War (2002) menyebut sifat-sifat bahasa simbolis dari identitas tersebutlah yang mampu menciptakan kerentanan konflik (conflict vulnerability). Dalam kondisi yang berbagai sifat bahasa simbolis identitas beredar, berbagai kelompok dan sistem sosial seharusnya mampu mengakomodasi secara kreatif jika tidak ingin terjebak pada konflik kekerasan.

Batam merupakan area industri internasional yang di dalamnya berbagai identitas berhubungan melalui bahasa-bahasa simbolisnya. Ketidakmampuan mengakomodasi sifat dasar bahasa simbolis identitas tertentu bisa menyebabkan mobilisasi jejaring identitas dalam bentuk aksi kekerasan. Pada kasus di Batam, aksi kekerasan para pekerja Indonesia secara akademis adalah upaya mempertahankan identitas terhadap kekerasan yang diciptakan identitas lain. Kekerasan itu berbentuk tidak diakuinya identitas para pekerja. Misalnya, ungkapan ''semua orang Indonesia bodoh'', yang merupakan bentuk penolakan terhadap eksistensi identitas keindonesiaan para pekerja. Makna adiluhung keindonesiaan para pekerja secara kolektif dipertahankan (defended) melalui protes dan kerusuhan di lingkungan pabrik.

Walau demikian, kekerasan selalu memiliki konsekuensi destruktif yang merugikan kepentingan jangka panjang. Upaya mempertahankan eksistensi identitas dan makna adiluhungnya perlu dilakukan secara kreatif dan visioner. Dalam kasus di Batam, misalnya, ada konsekuensi destruktif yang pasti mengikuti. Misalnya, persepsi negatif investasi asing terhadap industri di Indonesia. Salah satu faktor mendasar arus investasi asing, selain kepastian hukum, adalah keamanan sosial.

Ketika suatu negara dipandang tidak memiliki keamanan sosial, selalu dipenuhi konflik kekerasan dan kriminalitas tinggi, maka investasi asing sulit masuk. Akibatnya, laju pertumbuhan perekonomian makro terhambat dan jumlah usia pekerja sulit diserap struktur ekonomi.

Mekanisme Damai

Pilihan terhadap jalan kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, dalam sejarah hidup masyarakat, selalu diikuti penderitaan. Penderitaan itu disebabkan jatuhnya korban jiwa, luka-luka, kerugian material, dan trauma jiwa para korban. Pada saat bersamaan, cara kekerasan hampir sama sekali tidak menawarkan pemecahan masalah, tetapi menciptakan lingkaran balas dendam dan kebencian. Melihat konsekuensi destruktifnya, kekerasan seharusnya mulai dipahami bukan sebagai cara mempertahankan identitas atau memperjuangkan kepentingan lainnya.

Jalan damai dalam mencari penyelesain konflik (peaceful conflict resolution) lebih memberikan kesempatan kepada pemecahan berbagai isu konflik. Termasuk konflik dalam hubungan industri di negeri ini. Sayang, negara dan perusahaan belum memiliki kelembagaan mekanisme damai yang mampu mengelola sumber-sumber dinamika hubungan kerja industri secara komprehensif. UU No 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial lebih banyak mengatur penyelesaian konflik antara buruh dan perusahaan. Artinya, peraturan tersebut hanya mengelola salah satu aspek sumber dinamika hubungan kerja industri yang sebenarnya bersifat kompleks. Sebagaimana kasus di Batam, konflik industri terjadi karena faktor identitas, bukan isu upah pekerja.

Selain kelembagaan mekanisme damai secara legal formal, pendekatan-pendekatan kultural dan keterampilan menyelesaikan konflik secara damai memiliki porsi penting. Kasus di Batam merupakan pelajaran penting bagi pemerintah dan perusahaan-perusahaan di negeri ini bahwa cara kekerasan bisa disebabkan ketidaktahuan cara menyelesaikan konflik secara damai. Kekecewaan dan kemarahan para pekerja tidak ditransformasikan menjadi bentuk tuntutan tanpa kekerasan. Seperti menggunakan jalur yudisial (hukum) atau menggunakan forum dialog untuk mencari penyelesaian konflik.

Kasus rusuh hubungan industri di Batam adalah bentuk tidak terkelolanya sumber-sumber dinamika hubungan kerja industri. Tidak tertutup kemungkinan kasus serupa akan terjadi di tempat-tempat lain di Indonesia.

Membiarkan kemungkinan itu terjadi sama halnya dengan membiarkan negeri ini selalu menghadapi konsekuensi destruktif dari kekerasan. Kita tentu mengharapkan kekerasan bisa dieliminasi dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, negara dan berbagai elemen bangsa ini perlu berkomitmen dengan cara menciptakan mekanisme damai dalam setiap konteks hubungan sosial di Indonesia. (*)

*). Novri Susan, sosiolog konflik Unair dan kandidat PhD Doshisha University, Kyoto, Jepang

Opini Jawa Pos 24 April 2010