23 April 2010

» Home » Kompas » Hutankan Lapangan Golf

Hutankan Lapangan Golf

Dada kita sedang sesak napas dirongrong sepak terjang mereka yang memberhalakan duit dengan gelora semangat keserakahan tanpa batas sampai tega hati mengorbankan kepentingan apa pun kecuali kepentingan diri sendiri.
Mendadak dari Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, saya menerima informasi sulit dipercaya sebab tidak selaras dengan suasana serba angkara murka. Konon sebuah lapangan golf terkemuka di Jakarta dialihfungsikan menjadi hutan pendidikan.
Ternyata, Pak Menhut tidak bermimpi. Kebenaran peristiwa sulit dipercaya itu dikonfirmasi Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Indriastuti. Bahwa memang benar lapangan golf di Ancol seluas 36 hektar yang merupakan salah satu lapangan golf terkemuka Indonesia telah resmi dialihfungsikan menjadi hutan pendidikan. Hutan tersebut dipersembahkan kepada generasi muda bangsa Indonesia sebagai penjabaran nyata semangat pelestarian lingkungan hidup, menjawab isu ancaman pemanasan global planet Bumi pada masa kini!


Tanpa banyak gembar-gembor, hutan pendidikan bekas lapangan golf itu telah mulai ditanami berbagai tanaman hutan oleh anak-anak siswa sekolah dasar yang lokasinya berdekatan dengan kawasan Ancol. Menteri Olahraga kita nan tampan itu juga tidak perlu merasa gundah kehilangan salah satu lapangan golf. Masih banyak lapangan golf lain di berbagai pelosok Nusantara dengan daya tampung masih berlimpah bagi para penggemar ataupun olahragawan golf dari dalam dan luar negeri.
Secara per kapita pelaku olahraga golf masih tergolong minoritas terminor, sementara rakyat yang membutuhkan lahan perumahan masih tergolong mayoritas termayor di bumi Indonesia, apalagi di Pulau Jawa, apalagi di Jakarta!
Ditimbang dengan asas kemanusiaan dan keadilan sosial, penggunaan lahan untuk lapangan golf memang terkesan kurang berpihak kepada rakyat Indonesia yang masih kekurangan lahan pertanian dan perumahan, sementara ditafsir dari sisi lelakon Wayang Purwa, penggusuran lahan pertanian atau hutan demi membentang lapangan golf lebih mirip sepak terjang angkara murka kaum Kurawa ketimbang budi pekerti adiluhur Pandawa! Maka, penggusuran lapangan golf demi menghadirkan hutan pendidikan langsung terkesan sebaliknya.
Duit
Kebijaksanaan yang dilakukan oleh manajemen lapangan golf Ancol memang sangat mengagumkan bahkan mengharukan sanubari saya! Namun, menurut mazhab bisnis kapitalisme yang menjunjung tinggi uang di atas segala-galanya termasuk kepentingan rakyat, negara, lingkungan hidup bahkan agama, lapangan golf sebenarnya berpotensi jauh lebih menguntungkan dan lebih menggengsikan ketimbang hutan pendidikan. Dalam bahasa dialek China ada istilah sa bo yang terdiri dari bo cwan, bo lui, bo jai: tidak menguntungkan, tidak berduit, dan tidak berguna alias mubazir!
Memang dihitung dengan neraca rugi-laba akuntansi profesional jelas langkah menghutankan lapangan golf bisa saja dikategorikan sa bo alias tidak tiga itu. Akan tetapi, jangan lupa bahwa dalam kehidupan ini tidak semua bisnis harus dikalkulasikan dengan neraca rugi-laba metode akuntansi profesional.
Bahkan di dalam kegiatan bisnis—yang pada hakikatnya merupakan kegiatan sosial karena mustahil dilakukan seorang diri belaka—juga tidak semuanya harus hanya diperhitungkan lewat jalur kalkulasi akuntatif masuk-keluar duit belaka.
Seorang wirausahawan sejati pasti memandang duit bukan sekadar sebagai tujuan akhir, tetapi alat untuk mencapai tujuan yang lebih anggun dan mulia, yakni kesejahteraan bukan hanya diri sendiri, melainkan bersama.
Munafik menyatakan bisnis tidak mengejar profit. Akan tetapi, bukan berarti profit wajib diberhalakan sambil siap mengorbankan apa pun yang dianggap bukan profit atau mengendala profit.
Tanggung jawab sosial
Jangan lupa karena an sich merupakan perilaku sosial, bisnis tidak bisa lepas dari apa yang disebut sebagai tanggung jawab sosial sebagai pertanggungjawaban bisnis terhadap lingkungan sosial, termasuk lingkungan hidup. Tanpa tanggung jawab sosial (TJS), sulit bahkan mustahil insan dan lembaga bisnis mampu bertahan apalagi berjaya di lingkungan kegiatan bisnis masing- masing.
TJS bukan terbatas hanya kegiatan amal sedekah bagi kaum miskin, tetapi tanpa disadari sudah menjadi kewajiban internal yang harus dilaksanakan oleh para bisniswan, seperti pembayaran gaji dan tunjangan kesejahteraan karyawan, membayar pajak kepada pemerintah, mematuhi peraturan dan undang-undang yang berlaku, sampai ke tanggung jawab atas mutu dan harga produk kepada konsumen.
Tanpa menjabarkan TJS-TJS hakiki dan mendasar tersebut, mustahil kegiatan bisnis bisa langgeng terlaksana. Secara eksternal tanpa bersifat kewajiban, TJS bisnis berkembang ke berbagai sikap dan perilaku amal, altruis, kemanusiaan, dan lingkungan hidup. Salah satu teladan penjabaran tanggung jawab sosial bisnis yang benar-benar adiluhur dan adiluhung adalah prakarsa manajemen PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk—sebagai pengelola sekaligus pemilik lapangan golf Ancol—untuk mengalihfungsikannya. Hasilnya adalah hutan pendidikan yang tulus dipersembahkan bagi masa depan kesejahteraan generasi muda bangsa Indonesia!
Apabila cara berpikir yang senantiasa berusaha menghindari keserakahan harta bendawi tersebut dihayati dan dijabarkan bukan hanya terbatas oleh para pelaku bisnis, melainkan juga oleh segenap pemeran kehidupan di bumi Nusantara tercinta ini, kita tidak perlu kerepotan membentuk Pansus, KPK, ICW, atau sejenisnya.
Jaya Suprana Budayawan

Opini Kompas 24 April 2010